Hijrah adalah konsep sentral dalam tradisi Islam. Sentralitas hijrah dapat dilihat pada digunakannya peristiwa hijrah sebagai penanda tahun oleh masyarakat Islam. Hijrah juga menandai “karir” kenabian Nabi Muhammad dalam babak Makiyyah dan Madaniah, pembabakan yang kemudian membagi ayat-ayat dalam Al-Quran berdasarkan ruang-waktu pewahyuannya.
Pemaknaan hijrah sebagai peristiwa historis telah berakhir dengan Fathul Makkah. Sedangkan pemaknaan hijrah sebagai metafora belum final, masih terbuka sebagai arena kontestasi pemaknaan. Keterbukaan “hijrah” sebagai arena kontestasi pemaknaan dalam rujukan metafora bila lengah dapat menggeret pada cognitive bias. Abu Bakar al-Baghdadi, misalnya, menggunakan istilah hijrah untuk mengajak kaum Muslim seluas dunia bergabung dengan Negara Islam Irak dan Syria (ISIS) sebagai kekhalifahan akhir zaman. Di sini termasuk warga negara Indonesia yang tergiur untuk “hijrah” di negeri yang dilabeli sebagai ‘Bumi Syam’ yang mempunyai gema eskatologis.
Dalam hitungan, ada lebih dari 1.000 warga negara Indonesia (WNI) yang memutuskan untuk pergi dan bergabung dengan ISIS. Ada sebagian kecil yang bergabung dengan ISIS di Irak dan Suriah karena mereka memang sudah punya kemampuan tempur saat bergabung dengan kelompok-kelompok teror di Indonesia. Tetapi, sebagian besar WNI lainnya pergi ke sana karena propaganda yang diayunkan oleh ISIS. Mereka datang dari berbagai latarbelakang demografi yang berbeda-beda pula. ISIS yang tahun 2014 dideklarasikan oleh Abu Bakar al-Baghdadi memang sudah hancur tahun 2019. Waktu yang pendek untuk bertahtanya ‘kekhalifahan’ yang penuh dengan darah tertumpah.
Khazanah Nusantara.
Islam dapat dilihat dari dua sisi, yaitu universal dan lokal. Sisi universal dari Islam adalah ajaran yang permanen, tidak boleh berubah dan tidak akan pernah berubah: akidah dan ibadah. Akidah sebagai landasan teologis adalah prinsip utama dalam ajaran Islam yang menjadi kata kunci dari ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Sedangkan ibadah adalah upaya pendekatan seorang Muslim kepada Allah yang telah dibakukan cara dan muatannya.
Jika sisi universal Islam tidak mungkin diubah, sebaliknya untuk sisi lokal Islam, dibuka peluang seluas-luasnya bagi setiap penganut Islam untuk mengembangkan sosialisasi dan internalisasi ajaran Islam ke dalam budaya lokal. Jadilah Islam Nusantara sebagai upaya sosialisasi sekaligus internalisasi akidah dan ibadah Islam melalui pendekatan yang dinamis, kreatif, dan inovatif dalam menjawab perubahan sosial sekaligus perubahan budaya.
Islam menyebar di Nusantara sebagai hasil dari strategi dakwah Islam secara damai dan penuh kasih sayang. Strategi dilaksanakan lewat tiga pilihan, yaitu adaptasi, akomodasi, dan seleksi. Bisa dibayangkan andaikan Islam disebarkan melalui pendekatan yang kaku, dakwah Islam mungkin saja tidak bisa merata ke seantero Nusantara.
Di tengah kemajemukan bangsa Indonesia, proses pengembangan adaptasi dan akomodasi Islam terhadap budaya lokal bukan hal yang sederhana karena mengharuskan implementasi Islam tampil dalam berbagai kearifan lokal. Kearifan lokal dipakai mubalig untuk memperkaya proses pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran Islam.
Islam Nusantara dikembangkan sebagai proses pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran Islam berdasar nilai-nilai universal yang menjadikan Islam di Nusantara membawa pesan perdamaian. Islam Nusantara merupakan sebagian alasan penerimaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila sebagai negeri perjanjian dan perdamaian (dar al-salam).
Pancasila adalah landasan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sedangkan Islam, landasan kehidupan manusia sebagai hamba Allah mewujudkan fungsi ibadah. Pancasila merupakan titik kulminasi nilai-nilai universalitas Islam dalam kehidupan berkemanusiaan. Dengan Islam Nusantara seorang Muslim menghadirkan kedamaian, keadilan, dan kasih sayang kepada seluruh alam semesta.
Namun, yang harus diingat, Islam Nusantara bukanlah agama baru, melainkan wujud karakter Islam yang menjunjung persamaan derajat, rasional, membawa perdamaian, toleransi, moderasi dan kemanusiaan. Karena itulah, ‘memoderasi diri’ bagi eks kombatan atau mereka yang pernah terpapar paham-paham ekstrem bisa dengan menelaah secara mendalam dan bijak terhadap filosofi dan nilai-nilai yang dicitakan Islam Nusantara.
Hijrah Literasi
“Bacalah, dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena, Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Al-Alaq; 1-5)
Ayat inilah yang pertama kali turun, didengarkan manusia agung, Nabi Muhammad SAW. Turunnya wahyu ini sekaligus mengesahkan pelantikan beliau sebagai nabi. Dari ayat ini pula, peradaban Islam menyebar ke seluruh penjuru bumi.
Membaca (iqra`) merupakan proses awal pembelajaran dan pintu ilmu pengetahuan. Siapa yang banyak membaca, wawasan keilmuannya akan meluas, mendalam, dan bijaksana. Etos iqra’ adalah membaca, berpikir kritis dan kreatif, meneliti, dan mengembangkan sains dan teknologi merupakan sendi utama tegaknya peradaban. Dalam istilah sekarang disebut literasi. Literasi sendiri diartikan sebagai kemampuan menulis dan membaca, serta kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk meraih kecakapan dan kearifan hidup.
Dalam sejarah pula kita tahu, perhatian penguasa-penguasa Muslim terhadap buku begitu besar. Dinasti Abbasiyah, misalnya, dalam sejumlah peperangan besar yang dilakoninya berakhir dengan syarat penyerahan buku. Ini misalnya saat perang antara Abbasiyah dan Romawi Timur. Salah satu poin yang diwajibkan sultan Abbasiyah terhadap Byzantium adalah penyerahan naskah-naskah buah tangan astronom Yunani Kuno, Ptolemeus, kepada Baitul Hikmah.
Ilmuwan muallaf asal Prancis, Roger Garaudy, menyebut keunikan dalam peradaban Islam terletak pada kemampuannya untuk meyerap kebudayaan lainnya kemudian disempurnakan dan akhirnya menghasilkan ragam pengetahuan.
Inilah pentingnya bagi umat Islam saat ini untuk kembali mengedepankan kekuatan literasi dengan kembali meraih kejayaan yang meredup. Konsistensi mempelajari al-Quran dan Hadis merupakan kuncinya. Tabir keilmuan yang dahulu terbuka luas harus kembali digali lagi. Teknologi yang sudah berkembang saat ini bisa dimanfaatkan untuk mengejar ketertinggalan umat Muslim. Karena Islam memandang penting kedudukan literasi dalam perjuangan jihad fi sabilillah.
Di awal masa keemasan Islam, buku menjadi kekuatan literasi yang mengagumkan. Kini, era tersebut mulai bergeser ke dunia maya melalui internet. Ini menjadi peluang sekaligus tantangan. Peluang karena gerbang pengetahuan dan dakwah terbuka lebar. Namun, menjadi tantangan bagaimana kekuatan ekosistem baru ini perlu dibarengi bekal agama yang kuat. Meleset sedikit runyam sudah.
Umat Islam, utamanya di Indonesia, memiliki momentum untuk mengembalikan kejayaan itu. Rakyat Indonesia harus bangga karena Indonesia bahkan sudah menjadi kiblat peradaban dunia Islam dan masyarakatnya sudah puluhan tahun bisa hidup damai dalam perbedaan.
Upaya untuk memoderasi paham ekstrem di negeri kita memang sudah cukup banyak dilakukan baik oleh lembaga negara maupun LSM. Di sini misalnya sudah muncul sebuah gerakan berbasis literasi yang menyasar khusus untuk para eksnapiter, yaitu Rumah Daulat Buku (Rudalku). Gerakan unik berbasis literasi ini sebagai representasi ikhtiar untuk kembali membudayakan ‘tradisi ilmiah’ (scientific temper) dengan menggali ajaran Islam yang kaya tradisi keilmuan serta kearifan Nusantara. Tradisi inilah yang melahirkan peradaban yang luhur dalam sejarah pergulatan umat manusia membangun dunia kehidupan, kendati harus bertarung dengan segala bentuk kepicikan dan dogmatisme kala itu.
Peradaban yang membuahkan peradaban adiluhung (tsaqafah al-ulya) pernah mewujud pada masa gemilang peradaban Islam. Pada masa itu, betapa tradisi berpikir ilmiah dan kritis yang berbasis ilmu pengetahuan benar-benar mewarnai kehidupan masyarakat. Segala isu atau kabar harus ada riset (kullu muddaín mumtahan). Lahirlah banyak sosok dalam berbagai bidang seperti Al-Ghazali, Syafi’i, Hambali, Hanafi, Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun, Ibu Thufail, Ibnu Firnis, Ibnu Bajah, Al-Khawarizmi, dan banyak lagi lainnya.
Para ilmuwan ini lebih memilih “jalan sunyi” untuk melakukan riset dan menulis berjilid-jilid kitab. Imam al-Ghazali, misalnya, meletakkan jabatan akademiknya dan lebih memilih menyepi (uzlah) untuk membaca dan menulis. Teladan sikap yang tak mau tampil jumawa menjadi “hero” atas nama solusi atas masalah sosial-politik secara selebrasi dan kolosal. Tak heran, saat itu banyak terbangun majlis ilmu dan lembaga riset.
Dari “peradaban literasi” ini berlaku tradisi dalam mengolah pengetahuan harus dilalui begitu ketat (taftisy). Kita ambil contoh, petualangan Imam Bukhori, periwayat hadit yang terpercaya (tsiqoh) dalam mengumpulkan hadis hingga menyeleksinya. Dia menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk meriwayatkan hadis hingga wafatnya di usia 61 tahun di Samarkand.
Inilah yang sekarang penting diamaliahkan untuk menuntaskan hijrah ke dalam makna dan fungsi yang sesungguhnya. Ternyata makna hijrah yang diselewengkan sejauh ini telah mendorong warga masyarakat yang terhipnotis misalnya pergi ke Suriah untuk jihad. Akhirnya, para returnis Suriah ini yang kini sudah kembali di Bumi Pertiwi sudah cukup banyak yang meluapkan penyesalan dan kesesatan jalan yang telah mereka tempuh. Ini adalah kesadaran yang mumbul dari pengalaman galang-gulung mereka selama di Suriah yang berakhir dengan keperihan dan kepedihan.
Sebelum-sebelumnya kita mengenal hijrahnya eks napiter Haris Amir Falah yang menulis buku berjudul Hijrah dari Radikal kepada Moderat. Di situ ditulis semuanya sebagai rekam jejak perjalanannya. Haris sadar bahwa radikal melahirkan sikap intoleransi dan juga aksi teror. Begitupun contoh hijrahnya Sufyan Tsauri, desertir polisi lalu masuk dalam jaringan teroris kini dia kembali pada habitatnya, yaitu Nahdlatul Ulama. Anaknya bahkan dipondokkan di Pesantren Lirboyo, Kediri. Kembalinya pada ‘induknya’ menjadi ‘pintu keluar’ yang tepat untuk memoderasi diri. Pengakuan Sufyan Tsauri sendiri, ‘deradikalisasi yang tuntas’ adalah melalui NU. Ini adalah ‘aset’ dan ‘potensi’ yang sangat berharga mengembalikan mereka pada pemahaman yang berbasiskan pada wawasan keindonesiaan dan keislaman yang moderat (tawassuth).
Seperti halnya hijrahnya eks returnis Suriah, yaitu Syahrul Munif yang kini mukim di Malang, Jawa Timur. Masa kecil Syahrul dilewati sebagaimana anak-anak dari keluarga ‘muslim tradisional’ pada umumnya dengan mengaji, tahlilan dan shalawatan. Setelah kuliah, Syahrul ‘hijrah’ dengan aktif di Negara Islam Indonesia (NII) dan menjadi kader yang militan. Jadilah benih radikalisme bersemi subur dalam dirinya. Setelah lulus kuliah, Syahrul ‘hijrah’ lagi bergabung dengan Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) dan lalu menjelma menjadi Jamaah Anshorud Daulah (JAD). Semangat jihadnya kian menggebu saat bertemu dengan Abu Jandal yang lalu membawanya berangkat ke Suriah demi menunaikan amaliah jihadnya..
Namun di Suriah, Syahrul terbelejeti oleh fakta keberingasan ISIS yang membuatnya siuman kembali. Kisah perjalanannya ‘tersesat’ hingga menjadi serdadu ISIS membuatnya kini ‘jijik’ pada segala hal yang mewujud radikalisme. Syahrul Munif sadar sesadarnya bahwa bila seseorang sudah terjangkiti paham radikal, maka akan merugikan dirinya sendiri, keluarga, masyarakat, dan negara.
Syahrul kini hendak menghapus kesalahannya itu dengan ikut mengkampanyekan Islam yang ramah, sejuk dan toleran. Ia tak ingin orang lain terkena bujuk rayu kelompok radikal yang hanya menjadikannya bagai ‘kebo dicocok’, hilang nalar, hanya mengikuti doktrin tanpa kritis dan berakhir dengan tindakan yang diluar nalar.
Nah, di balik kisah-kisah itu, ada segunduk hikmah yang bisa direguk sebagai teladan (uswah hasanah) dan pelajaran (i’tibar) berharga bagi kita semua. Di tengah situasi negeri kita yang tengah ‘panen’ paham-paham ekstrem, sel-sel teroris yang masih bersemayam dan bergerilya membangun kekuatan hingga hiruk pikuk dunia medsos dengan hujatan-cacian, saatnya makna hijrah perlu dikembalikan pada ‘fitrah’-nya.
Sihir ekstremisme yang pernah melumatkan banyak orang di negeri ini dan itu akarnya juga bersumber dari akibat kurang baca, sudah seharusnya ditandingi dengan menggalakkan budaya literasi cerdas untuk membentengi masyarakat dari pengaruh radikalisme. Lewat peringatan 1 Muharam 1446 Hijriah ini, literasi harus semakin digemakan dan kita berharap semakin banyak pula amaliyah jihad literasi demi mengikis radikalisasi.
Ulasan Pembaca 3