Hari ini, 22 Juni 2024, Jakarta memperingati hari jadinya yang ke-497.
Terbitnya Undang-Undang No. 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta (UU DKJ) secara legal formal telah mengamputasi kedudukan Kota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara seperti diatur dalam UU No. 29 Tahun 2027, khususnya Pasal 1 butir (6), bahwa kekhususan yang dimiliki oleh Provinsi DKI Jakarta karena kedudukannya sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan kekhususan yang diatur dalam UU DKJ, Pasal 1 butir (2), adalah terkait pelaksanaan fungsi sebagai Pusat Perekonomian Nasional dan Kota Global. Jadi, melalui UU DKJ ini Jakarta dijadikan sebagai pusat perekonomian nasional dan kota global.
Kehadiran UU DKJ ini merupakan respons terhadap keberadaan UU No. 21 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara. Hal itu dinyatakan secara gamblang dalam diktum Menimbang butir C UU DKJ, bahwa terbitnya UU No. 3 Tahun 2022 dan revisinya UU No. 21 Tahun 2023 itu telah mengubah status Provinsi DKI Jakarta sebagaimana diatur dalam UU No. 29 Tahun 2007, sehingga konsekuensi logisnya UU No. 29 Tahun 2007 harus diubah.
Mengacu pada UU DKJ, secara legal formal (de jure) Provinsi Daerah Khusus Jakarta (DKJ) memang bukan menjadi Ibu Kota Negara lagi. Tapi secara de facto DKJ masih tetap menjadi Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena semua kegiatan yang terkait dengan kenegaraan masih terpusat di Jakarta, sampai batas waktu yang kita semua tidak mengetahuinya. Hal itu mengingat rencana Upacara 17 Agustus 2024 di lokasi Ibu Kota Nusantara (IKN) yang baru di Sepaku, Kalimantan Timur, pun masih menjadi tanda tanya: apakah betul Upacara Hari Kemerdekaan RI yang ke-79 tersebut dapat dilaksanakan di lokasi IKN secara penuh? Sudah muncul wacana bahwa upacara tersebut akan dilaksanakan secara hybrid, yaitu Presiden Joko Widodo akan melaksanakan upacara di IKN, namun sebagian pejabat negara yang lain akan melaksanakan upacara dari Jakarta.
Ini menunjukkan bahwa Jakarta secara de facto masih tetap menjadi ibu kota negara, meski secara dejure tidak lagi. Fasilitas-fasilitas yang dapat dipakai untuk melaksanakan kegiatan kenegaraan itu tersedia di Jakarta, sedangkan di lokasi IKN yang baru belum tersedia.
Sulit Mengubah Mindset
Ada beberapa kendala yang membuat tidak mudah untuk menghilangkan peran Kota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara. Pertama, dari segi mindset, atau mungkin lebih tepatnya budaya, tidak mudah bagi warga Jakarta untuk melafalkan istilah DKJ (Daerah Khusus Jakarta) sebagai pengganti DKI (Daerah Khusus Ibukota) Jakarta. Hal itu salah satunya karena yang tahu dan mau tahu soal UU DKJ itu terbatas, dan yang mengetahuinya pun enggan mensosialisasikan karena ada perasaan tidak rela DKI Jakarta berubah menjadi DKJ.
Kedua, masyarakat Jakarta sudah lama mengenal DKJ itu kependekan dari Dewan Kesenian Jakarta. Tidak mudah mengubah mindset atas ucapan DKJ sebagai Dewan Kesenian Jakarta menjadi Daerah Khusus Jakarta. Jadi, warga kebanyakan, termasuk penulis pun, tetap lebih suka mengucapkan DKI Jakarta daripada DKJ. Apalagi ketika berbincang dengan para seniman dan pecinta budaya, mengucapkan DKJ pasti asosiasinya adalah Dewan Kesenian Jakarta, bukan Daerah Khusus Jakarta. Kegiatan sosialisasi terhadap UU DKJ tidak akan secara otomatis mampu mengubah mindset masyarakat menyebut DKI Jakarta menjadi DKJ.
Ketiga, penetapan Jakarta sebagai Pusat Perekonomian Nasional dan Kota Global semakin memperkokoh posisi Jakarta sebagai sentra pertumbuhan ekonomi. Berbagai aktivitas ekonomi berkembang dan tumbuh di Jakarta, termasuk lapangan kerjanya. Ketika DKJ tetap sebagai sumber pertumbuhan ekonomi dan lapangan pekerjaan, maka citra Jakarta sebagai Ibu Kota Negara itu sulit dihapuskan, mengingat Ibu Kota Negara akan selalu identik dengan pusat pertumbuhan ekonomi dan lapangan pekerjaan. Kelak, seandainya jadi pun, orang akan menyebut Ibu Kota Nusantara (IKN) yang di Sepaku itu sebagai pusat pemerintahan saja, tidak dikenal sebagai Ibu Kota Negara.
Berdasarkan penjelasan di atas, de jure Jakarta memang bukan DKI Jakarta lagi, namun de facto tetap sebagai DKI Jakarta. Karenanya, tidak perlu muncul kecemasan mengenai kondisi Kota Jakarta setelah tidak menjadi Ibu Kota Negara lagi. Kondisi Jakarta akan tetap seperti sekarang yang penuh dengan hiruk pikuk dan transportasinya diwarnai dengan kemacetan, serta warganya akan tetap mengais rezeki sampai larut malam. Kafe-kafe yang tumbuh, restoran, maupun tempat hiburan yang ada tidak akan mati karena tetap memiliki pangsa pasar sendiri. Bahkan kelak bila pusat pemerintahannya pindah pun, rapat-rapat koordinasi Kementerian atau Lembaga (K/L) akan dilaksanakan di Jakarta karena fasilitasnya lengkap.
Wajah Transportasi ke Depan
Wajah transportasi Kota Jakarta sepuluh tahun ke depan masih akan seperti saat ini, yaitu macet karena didominasi oleh kendaraan pribadi, baik roda dua maupun roda empat. Berkurangnya tingkat kemacetan sedikit saja karena memang belum ada perpindahan aparatur sipil negara (ASN) secara signifikan ke IKN (Ibu Kota Nusantara) di Sepaku, Kalimantan Timur. Mayoritas ASN masih akan tetap beraktivitas di Kota Jakarta sehingga Jakarta akan tetap macet.
UU DKJ Pasal 24 memberikan kewenangan khusus bidang perhubungan kepada DKJ, baik untuk lalu lintas dan angkutan jalan; pelayaran; dan perkeretaapian. Khusus untuk subbidang lalu lintas dan angkutan jalan meliputi kegiatan: a) pengelolaan terminal penumpang tipe A, tipe B, dan tipe C; b). penerbitan izin usaha uji berkala kendaraan bermotor yang dilakukan oleh badan usaha; c). penyelenggaraan terminal barang; d). akses terhadap data kendaraan bermotor yang melanggar ketentuan jalan berbayar elektronik yang berasal dari data Kepolisian Negara Republik Indonesia dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; e). integrasi pembayaran angkutan umum massal intra dan antarmoda angkutan; f). pemberian subsidi layanan angkutan umum lintas daerah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi secara proporsional; g). pembatasan usia dan jumlah kepemilikan kendaraan bermotor perseorangan; h). pemanfaatan jalan tol untuk pengembangan sarana dan prasarana angkutan umum; i. uji coba dan penerapan teknologi dan inovasi rekayasa lalu lintas; j). pemanfaatan daerah aliran sungai untuk pengembangan jaringan angkutan umum massal di wilayah Provinsi Daerah Khusus Jakarta; dan k). skema pembiayaan alternatif dalam bidang transportasi.
Kewenangan khusus dalam subbidang pelayaran meliputi kegiatan: penerbitan izin usaha angkutan laut bagi badan usaha; dan penerbitan izin usaha angkutan laut pelayaran rakyat bagi orang perseorangan atau badan usaha. Sedangkan kewenangan khusus dalam subbidang perkeretaapian meliputi kegiatan perencanaan, pengaturan dan pengawasan perpotongan di atas dan di bawah jalur kereta api dan persinggungan bangunan dengan jalur kereta api di wilayah Provinsi Daerah Khusus Jakarta dengan berkoordinasi kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan.
Sepintas UU DKJ ini memberikan harapan pada Pemprov DKJ untuk mengelola transportasi perkotaan. Namun dalam kenyataannya, implementasi atau penerapannya bakal tidak mudah. Dalam hal pengelolaan Terminal Tipe A, misalnya, ada UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang mengamanatkan pengelolaan Terminal Tipe A ada pada Pemerintah Pusat.
Dalam hal pemberian subsidi untuk layanan transportasi umum di wilayah Jabodetabek ada UU No. 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian yang mengatur mengenai batas kewenangan masing-masing instansi. Dan dalam hal pembatasan usia kendaraan ada UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (UU LLAJ) yang tidak mengenal pembatasan usia kendaraan. Demikian pula kewenangan khusus untuk menggunakan lajur tol untuk layanan angkutan umum, belum tentu disetujui oleh Direktorat Binamarga atau BUJT (Badan Usaha Jalan Tol). Jadi, pasal tersebut bisa seperti pepesan kosong saja.
Secara sosiologis pembatasan usia kendaraan ini juga sulit diimplementasikan. Pertama, stratifikasi sosial yang amat beragam membuat golongan menengah ke bawah hanya mampu membeli kendaraan bekas yang mungkin melebihi batas usia. Pembatasan usia kendaraan akan menciptakan citra bahwa Kota Jakarta hanya untuk yang mampu saja.
Kedua, di masyarakat banyak tumbuh komunitas penggemar kendaraan tua, baik roda dua maupun empat. Konsekuensi dari pembatasan usia kendaraan tersebut adalah bakal tidak ada lagi komunitas penggemar kendaraan tua, dan itu pasti akan menimbulkan resistensi yang besar. Jadi, Pasal 24 UU DKJ ini indah dibaca, tapi tetap sebagai pepesan kosong saja.
Becermin dari dinamika politik yang ada selama ini, sepertinya kondisi transportasi di Kota Jakarta tidak akan mengalami perubahan signifikan, setelah secara de jure tidak menjadi Ibu Kota Negara lagi. Bahkan mungkin bisa lebih buruk lagi karena secara de facto masih tetap menjadi Ibu Kota Negara, tapi karena secara de jure bukan DKI Jakarta lagi, sehingga intervensi pemerintah pusat untuk pembangunan infrastruktur transportasi di Jakarta makin berkurang.
Ambil contoh saat ini, pemerintah pusat melakukan intervensi pembangunan LRT Jabodebek serta membantu pembangunan MRT tahap I dan II, ke depan mungkin hal seperti itu akan berkurang dan sepenuhnya mengandalkan kemampuan fiskal Pemprov DKJ sendiri. Bila kemampuan fiskal Pemprov DKJ menurun, otomatis kemampuan membangun infrastruktur transportasi serta kemampuan mensubsidi layanan angkutan umum juga akan menurun. Ini yang menyebabkan kondisi layanan angkutan umum ke depan di wilayah DKJ bisa menurun.
Menyadari persoalan yang akan muncul seperti itu, boleh jadi Penjabat (PJ) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono pada masa kepemimpinannya yang singkat itu mendorong percepatan pembangunan LRT Jakarta dari Velodrome ke Manggarai, dengan harapan pada 2025, dengan adanya kepemimpinan yang baru, satu persoalan transportasi sudah mulai terurai.
Masalah de jure sebagai Ibu Kota Negara juga sangat mungkin akan kembali ke Jakarta, tatkala dalam kurun waktu tertentu IKN di Sepaku tidak layak sebagai Ibu Kota Negara. Potensi mengembalikan Jakarta sebagai Ibu Kota Negara itu cukup besar apabila Anies R. Baswedan mendapatkan dukungan dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan memenangkan Pilkada 2024 sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKJ 2025-2029.
Dalam kampanye Pemilihan Presiden 2024 lalu, Anies Baswedan yang salah satunya diusung oleh PKS mengusung tema mengembalikan Jakarta sebagai Ibu Kota Negara. Jika hal itu dapat terwujud, yang diperlukan hanya perubahan UU saja, baik UU No. 21 Tahun 2023 maupun UU No. 2 Tahun 2024. Perubahan itu amat mungkin terjadi kalau dalam Pilkada 2024 nanti Anies Baswedan diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), PKS, dan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), yang mempunya suara banyak di parlemen.
Jadi, semuanya masih serba mungkin. ASN tidak perlu cemas dan aparat ASN di Jakarta pun tidak perlu khawatir bahwa pemasukan dari pajak akan turun. Kita tunggu saja.
Ulasan Pembaca 1