Saya menulis ini dengan hati yang gundah. Saat ini, saya berada di Bali—pulau yang selama ini dijuluki surga tropis, tempat di mana budaya yang kaya beralaskan keindahan alam yang luar biasa. Namun, di balik geliat pariwisata pasca-Covid, saya menyaksikan langsung bagaimana krisis lingkungan terus menggerogoti Bali. Keindahan surgawi pulau yang saya kunjungi sejak kanak-kanak perlahan memudar, digantikan oleh kenyataan pahit tentang polusi, eksploitasi sumber daya, dan kerusakan ekosistem yang terus berlangsung. Bali yang selama ini menjadi destinasi wisata impian, kini menghadapi ancaman yang sangat nyata terhadap kelestariannya dari sektor itu.
Polikrisis Lingkungan
Saya berjalan di sepanjang pantai Kuta tadi pagi. Tetapi bukan hanya pasir putih dan deburan ombak yang saya temukan—melainkan lautan sampah plastik yang terdampar di bibir pantai. Plastik pembungkus makanan dan minuman, kantong kresek, sedotan, dan berbagai jenis sampah lainnya membentuk pemandangan yang menyedihkan. Banyak dari sampah ini berasal dari aktivitas pariwisata, tetapi tidak sedikit juga yang datang dari daerah lain, terbawa arus laut dan bermuara di perairan Bali.
Kalau informasi yang saya terima itu benar, Bali menghasilkan lebih dari 3.800 ton sampah per hari, dan hampir 50% di antaranya tidak terkelola, apalagi terkelola dengan baik. Entah berapa ribu ton sampah di antaranya kemudian bermuara di sungai dan terbawa ke laut. Saat musim hujan tiba, gelombang besar membawa kembali semua sampah itu ke pantai, memperlihatkan dampak nyata dari kebiasaan konsumsi plastik yang berlebihan dan sistem pengelolaan sampah yang masih belum optimal. Upaya pengurangan plastik sekali pakai sudah mulai diterapkan melalui kebijakan pemerintah daerah, tetapi mungkin implementasinya masih belum konsisten, dan kesadaran masyarakat juga belum sepenuhnya terbentuk.
Selain mengotori pantai, sampah plastik juga mengancam kehidupan laut. Hewan-hewan laut, seperti penyu dan ikan, sering kali mengira plastik sebagai makanan, yang berakibat fatal bagi mereka. Mikroplastik yang berasal dari degradasi plastik juga masuk ke rantai makanan, membahayakan kesehatan manusia yang mengonsumsi hasil laut dari perairan sekitar Bali.
Tetapi isu lingkungan di Bali bukanlah sekadar sampah plastik yang membuat saya tersenyum kecut sepanjang jalan pagi tadi. Ada banyak isu lainnya, yang membuat kata polikrisis menyambangi otak saya. Kata yang diperkenalkan oleh filsuf Prancis Edgar Morin itu sangat tepat menggambarkan beragam isu lingkungan yang saling terkait, menambah derajat keparahan satu sama lainnya, hingga solusi menjadi lebih rumit untuk diimplementasikan.
Puluhan tahun yang lalu Bali dikenal dengan sawah terasering yang hijau membentang dan sistem Subak yang menjaga keseimbangan ekologi serta sosial. Kini, kecuali di beberapa lokasi tertentu, pemandangan itu tergantikan oleh deretan vila, resor mewah, dan restoran yang dibangun tanpa kendali. Pariwisata yang berkembang pesat tanpa perencanaan yang matang telah mengubah banyak daerah hijau menjadi kawasan beton yang padat dan tanah yang sesak tak diberi ruang bernafas dan menyerap air.
Krisis air di Bali bukan sekadar prediksi, melainkan kenyataan yang sudah terjadi. Akuifer bawah tanah menyusut drastis, menyebabkan intrusi air laut yang mencemari sumber air tawar. Beberapa daerah di Bali, terutama di selatan, kini mengalami kekurangan air yang mengancam keberlanjutan masyarakat lokal yang bergantung pada pertanian, bahkan untuk kebutuhan minum sekalipun. Sementara itu, hotel-hotel besar dan vila pribadi tetap mengonsumsi air dalam jumlah besar untuk kolam renang dan taman-taman hijau yang harus terus disiram agar tetap indah bagi para wisatawan seperti saya.
Ironisnya, banyak wisatawan yang tidak menyadari betapa besar krisis air yang dihadapi Bali. Mereka menikmati kenyamanan resor mewah tanpa mengetahui bahwa di desa-desa sekitarnya masyarakat harus berjuang mendapatkan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari. Jika eksploitasi air ini terus berlanjut, Bali bisa menghadapi kelangkaan air yang lebih parah dalam beberapa dekade ke depan.
Di tengah perjalanan menuju Ubud kemarin sore, saya sempat terjebak dalam kemacetan yang semakin parah. Jalan-jalan yang dulunya lengang kini dipenuhi kendaraan bermotor, baik milik warga maupun wisatawan yang menyewa skuter. Udara yang seharusnya bersih justru penuh dengan polusi dari asap knalpot. Dan tempat-tempat seperti Canggu, Sanur, dan tentu saja Kuta—di mana saya menginap di minggu ini—kini sudah menganggap kemacetan sebagai kenormalan bahkan di low season seperti sekarang.
Transportasi publik memang nyaris tidak tersedia di Bali, membuat masyarakat dan wisatawan harus bergantung pada kendaraan pribadi. Akibatnya, konsumsi bahan bakar meningkat, emisi karbon melonjak, dan kualitas udara semakin memburuk. Ironisnya, Bali yang dijual sebagai destinasi hijau dan alami justru menderita akibat transportasi buruk yang hingga sekarang belum terkendali.
Banyak wilayah di Bali mengalami peningkatan suhu akibat efek pulau panas perkotaan (urban heat island), di mana panas yang terperangkap di permukaan jalan dan bangunan beton semakin memperburuk kondisi lingkungan. Dan ketika hujan deras memberkati langit, di banyak lokasi kini genangan jadi langganan. Jika tidak segera diatasi dengan kebijakan transportasi berkelanjutan dan infrastruktur hijau, Bali jelas bisa kehilangan daya tariknya sebagai destinasi wisata yang nyaman dan sehat.
Beberapa bulan lalu saya sempat berbincang dengan seorang rekan yang rajin snorkeling di perairan Bali. Dia bertutur bahwa pemandangan terumbu karang yang penuh warna masih tertanam di ingatannya hingga satu dekade lalu. Kini, banyak dari terumbu itu telah memutih atau hancur. Penangkapan ikan dengan cara merusak, polusi dari limbah domestik dan industri, serta perubahan iklim menyebabkan kehancuran ekosistem laut yang dulu begitu kaya.
Bali memang memiliki kawasan konservasi laut, tetapi tekanan dari industri pariwisata dan kurangnya penegakan aturan membuat banyak area terus mengalami degradasi. Wisatawan yang menginjak karang, limbah dari hotel dan restoran yang berakhir di laut, serta pemanasan global yang meningkatkan suhu air laut, semuanya berkontribusi pada kehancuran ini.
Selain itu, keberadaan kapal wisata dan aktivitas rekreasi laut seperti jet ski sering kali mengganggu kehidupan laut dan mempercepat degradasi ekosistem. Tanpa regulasi yang lebih ketat dan kesadaran kolektif dari masyarakat, kerusakan ini akan semakin sulit dipulihkan.
Lantaran kesukaan saya pada suasana pedesaan sejak kecil, saya cenderung menyambangi lokasi-lokasi yang permai dan sunyi ketika berada di Bali. Jadinya, saya melihat langsung bagaimana sawah-sawah yang dulu luas kini berubah menjadi kompleks perumahan dan hotel. Alih fungsi lahan di Bali terjadi secara masif, mengorbankan ruang hijau yang seharusnya menjadi penyangga ekosistem dan penyerap air hujan.
Banyak petani yang saya ajak bicara beberapa tahun belakangan menyatakan bahwa mereka terpaksa menjual tanah mereka karena tekanan ekonomi dan daya tarik harga tanah yang semakin tinggi. Akibatnya, lahan produktif berkurang, keseimbangan ekologi terganggu, dan budaya pertanian yang selama ini menjadi identitas Bali perlahan terkikis. Jika tidak ada kebijakan yang membatasi ekspansi properti secara agresif, Bali benar-benar bisa kehilangan sisa-sisa kehijauan yang dahulu membuatnya begitu istimewa.
Mencari Jalan Kembali ke Surga
Meski situasi tampak suram, Bali masih memiliki harapan. Beberapa inisiatif lingkungan mulai berkembang, dari gerakan anti-plastik, program konservasi laut, hingga upaya revitalisasi sistem subak.
Di tengah keputusasaan, ada berbagai cercah cahaya yang di sini. Gerakan Bye Bye Plastic Bags yang dipelopori Melati dan Isabel Wijsen berhasil mendorong pelarangan plastik sekali pakai di 2023. Sungai Watch menjadi terkenal ke seantero dunia lantaran aktivitas bersih-bersih sungai dan mengubah sampah sungai jadi barang-barang bernilai. Di Desa Trunyan, komunitas adat mempertahankan tradisi Mepantigan—pertarungan lumpur yang mengajarkan kesetaraan manusia dan alam.
Di Pemuteran, kelompok nelayan memasang Bio-Rock—struktur baja untuk regenerasi karang yang dalam setahun dilaporkan tumbuh 5-10 cm. Sementara itu, petani subak di Jatiluwih bersikukuh mempertahankan sistem irigasi warisan leluhur, meski tawaran menjual tanah ke developer begitu menggiurkan. Tetapi jelas, pemerintah daerah, perusahaan, dan masyarakat harus bekerja lebih keras untuk mengelola sampah, membatasi pembangunan yang tidak berkelanjutan, serta memperkuat kebijakan lingkungan yang berpihak pada keberlanjutan.
Upaya-upaya mulia yang saya sebutkan di atas itu, plus sejumlah inisiatif serupa lainnya, bagaimanapun, masih jauh dari memadai. Jelas, Bali memerlukan revolusi kebijakan seperti moratorium pembangunan hotel dan bangunan lain di zona rawan air, restorasi terpadu sungai dan daerah aliran sungai (DAS), pajak lingkungan progresif untuk usaha pariwisata, juga edukasi ekologi berbasis kearifan lokal dalam kurikulum sekolah agar generasi muda dan mendatang Bali bisa kembali ke budaya bahkan peradaban ekologis.
Sebagai pengunjung yang mencintai Bali, saya berharap bahwa pulau ini tidak akan terus terkikis jati dirinya yang mulia seperti yang diajarkan secara indah melalui Tri Hita Karana. Kita semua, baik wisatawan, pemerintah daerah, pelaku industri, maupun masyarakat lokal, memiliki tanggung jawab bersama untuk menjaga Bali tetap lestari. Jika tidak, surga tropis ini mungkin hanya akan menjadi kenangan yang perlahan pudar, digantikan oleh kehancuran yang tak terhindarkan. Semoga tidak demikian, dan Bali bisa kembali menjadi surga di Bumi yang diapresiasi, dirujuk, dan dirindukan semua orang.
Kuta, Bali, 18 Maret 2025 17:17
Bacaan terkait
Bisakah Lingkungan Membaik? Atau Kiamat Lingkungan Makin Dekat?
Generasi Muda dan Krisis Iklim: Kami yang Cemas dan Marah
Selamat Ulang Tahun Jakarta, Semoga Wargamu Bebas dari Polusi Udara
Ulasan Pembaca 1