Tata kelola minyak dan gas (migas) Indonesia yang berusia lebih dari satu abad ternyata penuh dinamika. Inilah yang melatarbelakangani saya melakukan penelitian ini. Tata kelola migas Indonesia dibentuk oleh gelombang pasang-surut resource nationalism. Saat gelombang pasang, tata kelola didesain sangat nasionalis. Saat gelombang surut, tata kelola didesain lebih terbuka terhadap mekanisme pasar.
Ini terlihat ketika Indonesia mendesain tata kelola migasnya, satu setengah dekade setelah Indonesia merdeka. Indischje Mijnwet 1899 dicabut, sistem konsesi warisan kolonial ditinggalkan. Indonesia mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 44 Tahun 1960 dan UU No. 8 Tahun 1971 yang memberikan Kuasa Pertambangan kepada Pertamina untuk memonopoli pengusahaan migas dari hulu hingga hilir. Asing dan swasta hanya boleh bertindak sebagai kontraktor Pertamina melalui perjanjian bagi hasil atau PSC (Production Sharing Contract).
Dalam literatur, tata kelola ini disebut sebagai NOC-dominated model atau penguasaan negara melalui BUMN, yang sejalan dengan resource nationalism. Dalam administrasi publik, dominasi negara dalam alokasi sumber daya publik in line dengan paradigma Weberian dalam tradisi Rechtsstaat.
Tata kelola ini dirombak pascareformasi ketika Indonesia menempuh program-program penyesuaian struktural (Structural Adjustment Programs/SAPs), termasuk reformasi sektor energi. NOC-dominated model dianggap menyediakan ruang perburuan rente, korupsi, patronase, dan inefisiensi yang merusak perekonomian.
UU No. 8 Tahun 1971 tentang Pertamina dirombak dengan UU Migas yang baru. Pengesahan UU No. 22 Tahun 2001 mengakhiri era monopoli Pertamina sekaligus menandai gelombang surut resource nationalism. Indonesia pindah ke Separation of powers model yang memisahkan fungsi kebijakan, regulasi, dan komersial. Pertamina hanya menjalankan fungsi operator, sementara fungsi regulator diambil alih oleh badan independen yang bernama BP Migas. Pemisahan fungsi wasit dan pemain adalah reformasi kelembagaan khas kapitalisme regulasi atau NPM (New Public Management) dalam paradigma administrasi publik. Dalam literatur tata kelola perminyakan, model pemisahan fungsi dikembangkan oleh Norwegia yang dianggap sebagai kerangka reformasi kelembagaan terbaik untuk mengatasi sektor perminyakan yang sakit.
Resource nationalism mengalami daur ulang seiring kenaikan harga minyak dunia pada paruh kedua dekade 2000-an. Gerakan publik, yang menjelma dalam jihad konstitusi, menuntut dominasi asing dibatasi dan penguasaan negara dilakukan melalui BUMN seperti Pertamina. Puncak dari gelombang pasang resource nationalism terjadi ketika Mahkamah Konstitusi membubarkan BP Migas pada 2012 dan menyatakan tata kelola pemisahan fungsi inkonstitusional.
Pemerintah lalu membentuk organ transisi bernama SKK Migas (Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi), yang secara organisasi di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Ini menandai peralihan dari desain Separation of powers model ke Ministry-dominated model. Menteri menjalankan fungsi kebijakan sekaligus regulator dan prinsipal kontrak melalui SKK Migas. Meski bersifat sementara, desain ini bertahan lebih dari satu dekade karena parlemen belum mengesahkan revisi UU Migas yang baru.
Tarikan resource nationalism dan liberalisasi mewarnai dinamika tata kelola migas Indonesia. Saat resource nationalism menguat, Indonesia menyerahkan kendali pengelolaan sumber daya alam (SDA) migas kepada BUMN. Saat BUMN terjerat rantai inefisiensi dan korupsi, Indonesia mengendurkan tata kelolanya dengan memberi ruang lebih besar kepada swasta. Ini menimbulkan pertanyaan, tata kelola seperti apa yang mampu mengakomodasi kepentingan negara, kepentingan modal, dan kepentingan masyarakat sebagai alamat dan tujuan tata kelola?
Dari berbagai desain tata kelola yang pernah diadopsi Indonesia, desain mana yang mempunyai kinerja terbaik, baik terhadap industri maupun pembangunan?
Empat kerangka teori digunakan untuk menjelaskan tata kelola migas Indonesia, yaitu good governance, petroleum governance, resource nationalism, dan resource curse. Dengan kerangka teori sebagai deduksi untuk melihat realitas, paradigma yang digunakan penelitian ini adalah pos-positivis, dengan metode penelitian kualitatif. Sumber data penelitian ini berasal dari data primer dan sekunder. Data primer digali dari wawancara mendalam dan FGD dengan para stakeholder kunci. Data sekunder digali dari dokumen-dokumen statistik yang terbit dalam rentang tahun 1880-2023. Data ini diperlukan untuk melihat kinerja setiap periode tata kelola berdasarkan empat indikator, yaitu (1) kinerja teknis dan operasional; (2), kontribusi ekonomi, (3) partisipasi NOC, dan (4) manfaat sosial.
Hasil penelitian menunjukkan, ditinjau dari kinerja teknis, produksi minyak selama enam dekade era konsesi rata-rata hanya 100 ribu BOPD (Biaya Operasional Pendidikan Daerah). Produksi minyak naik menjadi 483 ribu BOPD selama periode Kontrak Karya. Pada periode UU Pertamina yang berlaku selama tahun 1971 sampai 2001, produksi minyak mencapai puncaknya, yaitu 1,34 juta BOPD. Produksi minyak lalu turun menjadi 927 ribu BOPD selama periode 2002 sampai 2012 dan 755 ribu BOPD selama periode 2012 sampai 2022.
Penurunan produksi minyak tertolong dengan kenaikan produksi gas bumi yang naik rata-rata 11% setiap tahun selama periode 1976 sampai 2001, tetapi turun 0,4% sejak periode 2002-2022. Cadangan minyak juga turun, dari 11,6 miliar barel pada 1980 menjadi 5,1 miliar barel pada 2001 dan 2,1 miliar barel pada 2022. Cadangan gas naik, dari 28,2 TCF pada 1980 menjadi 91,8 TCF pada 2001, lalu turun menjadi 41,6 TCF pada 2022.
Dari segi kontribusi ekonomi, migas menyumbang 6,4% PDB selama periode 1900 sampai 1960, 17,3% selama periode 1960 sampai 2001, lalu turun menjadi 4,4% selama periode 2002 sampai 2022. Selama Orde Baru, migas menyumbang rata-rata 18% PDB. Terhadap penerimaan negara, migas menyumbang rata-rata 11,7% selama periode 1900 sampai 1960, 33,5% selama periode 1960 sampai 2001, dan 16,7% selama periode 2002 sampai 2022.
Partisipasi NOC dihitung setelah dekade 1960-an ketika Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara dibentuk. Selama periode 1969 sampai 2001, partisipasi Pertamina terhadap produksi minyak rata-rata hanya 6%, lalu naik menjadi 14% selama periode 2002 sampai 2012, dan 24,8% selama periode 2012 sampai 2022.
Partisipasi Pertamina terhadap produksi gas bumi juga naik, dari 15% selama periode 2002 sampai 2012 menjadi 21,7% selama periode 2012 sampai 2022. Anomali terlihat di sini. Di era UU Pertamina, partisipasi Pertamina dalam produksi justru lebih rendah dibanding di era UU Migas. Ini terjadi karena demam resource nationalism. Tuntutan legitimasi publik terhadap kebijakan populistik telah mendorong pengarusutamaan Pertamina dalam alih kelola blok-blok migas terminasi. Ini adalah produk dari afirmasi pemerintah, bukan hasil dari mekanisme pasar. Ini adalah buah dari tindakan NWS (Neo-Weberian State), bukan NPM (New Public Management).
Dari sisi manfaat sosial, ukuran utamanya adalah kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan. Uang minyak berkontribusi dalam pengentasan kemiskinan melalui belanja sektor pertanian, pendidikan, dan kesehatan. Ini terjadi terutama di dua dekade pertama Orde Baru, ketika uang minyak menjelma menjadi ribuan puskesmas, ribuan SD Inpres, dan pembangunan sektor pertanian yang membuat Indonesia meraih swasembada beras.
Kebijakan alokasi anggaran yang efektif membuat uang minyak berjasa dalam pemberantasan buta huruf, peningkatan usia harapan hidup, dan ketahanan pangan yang pada gilirannya mengentaskan kemiskinan dan memotong ketimpangan. Indonesia berhasil mengentaskan kemiskinan, dari 40,1% pada 1976 menjadi 9,5% pada 2022. Orde Baru memangkas angka kemiskinan rata-rata 3,8% setiap tahun, sementara Orde Reformasi hanya 3,6% setiap tahun.
Selama Orde Baru, gini ratio turun rata-rata 1,2% setiap tahun. Setelah reformasi (1999-2022), gini ratio naik rata-rata 1% setiap tahun. Salah satu penyebab kenaikan gini ratio adalah belanja subsidi BBM yang tidak tepat sasaran. Selama Orde Baru, subsidi BBM menelan anggaran sebesar Rp55 triliun. Ini adalah 20,3% dari total penerimaan migas sebesar Rp270,8 triliun. Uang minyak menyisakan ruang fiskal untuk mengongkosi pembangunan sektor pertanian, pendidikan, dan kesehatan.
Pascareformasi, uang minyak tergerus untuk membayar subsidi BBM. Selama periode 1999 sampai 2022, subsidi BBM mencapai Rp2.578 triliun. Ini adalah 68% dari total penerimaan migas sebesar Rp3.790 triliun untuk periode yang sama. Meski punya andil dalam mengendalikan inflasi, subsidi BBM lebih banyak dinikmati kelas menengah atas. Akibatnya, kinerja pengentasan kemiskinan melambat dan gini ratio meningkat.
Berdasarkan indikator kinerja, periode UU Pertamina, dengan desain kelembagaan NOC-dominated model dan rezim fiskal PSC, menandai puncak industri migas nasional. Periode setelah itu menandai kemundurannya.
Ditambah enam kriteria lain, yaitu konstitusionalitas, good governance, stabilitas, simplisitas dan fleksibilitas, partisipatoris, dan sustainabilitas, penelitian ini mengusulkan dua model desain kelembagaan, yaitu (1) NOC-dominted model dengan dua NOC dan (2) NOC-dominated model dengan single NOC.
Opsi dua NOC terdiri dari BUMN Migas non-operator dan BUMN Migas operator. Ini seperti pola Norwegia dan Brasil yang membentuk Petoro dan Statoil serta Petrobras dan Petrosal. NOC non-operator bisa dibentuk baru atau dengan merombak status SKK Migas menjadi NOC non-operator. Sementara NOC operator adalah Pertamina di bawah subholding PHE (Pertamina Hulu Energi). Opsi NOC-dominated model dengan single NOC mengandaikan peleburan sumber daya SKK Migas ke Pertamina dan pembentukan satu subholding baru yang membidangi manajamen kontraktor.
Jika opsi ini dipilih, Pertamina dapat dirombak menjadi Non-Listed Public Company untuk menaikkan aspek good governance. Dilihat dari aspek governansi, opsi NOC-dominated model dengan dua NOC dapat menjadi pilihan yang paling feasibel dan mengakomodasi kepentingan multi-stakeholder.
Fitur yang perlu ditambahkan dalam dua model ini adalah kemudahan bisnis, penyederhanaan perizinan, serta pembentukan Petroleum Fund Management untuk menampung dana minyak sebagai tabungan jangka panjang dalam rangka mendukung program intensifikasi, konservasi, dan diversifikasi energi.
Dalam desain fiskal, PSC perlu ditambah dengan instrumen fiskal progresif yang disebut dengan sliding scale. Parameter skala geser bisa ditetapkan berdasarkan produksi, biaya, dan profitabilitas. Semakin besar produksi, semakin besar split untuk negara. Semakin kecil produksi, semakin besar split untuk kontraktor. Semakin efisien kontraktor dalam biaya, semakin besar split yang bisa dibagi. Saat keuntungan meningkat, host country berhak atas keuntungan lebih. Pada saat profitabilitas turun, pemerintah berbagi beban dengan mengurangi bagiannya.
Penelitian ini mempunyai implikasi teoretis dan praktis. Secara teoretis, reformasi kelembagaan ala NPM, yang tertuang dalam desain pemisahan fungsi di sektor minyak, terbukti gagal. Kegagalan ini menambah daftar panjang kritik atas kegagalan NPM.
Secara praktis, penelitian ini berimplikasi terhadap perubahan organisasi jika diadaptasi ke dalam kebijakan, yaitu (1) pembubaran SKK Migas, statusnya dirombak menjadi BUMN non-operator (2) penambahan status Pertamina sebagai Non-Listed Public Company (NLPC), dan (3) pembentukan organisasi baru: Petroleum Fund Management.
Tulisan ini merupakan ringkasan disertasi yang disampaikan penulis pada sidang promosi doktor bidang Ilmu Administrasi, Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia (UI), Selasa, 2 Juli 2024. Disertasinya berjudul “Rekonstruksi Desain Kelembagaan dan Fiskal Hulu Migas Indonesia: Moderasi Kepentingan Multi-stakeholder dalam Paradigma Administrasi Publik”.
Ulasan Pembaca 1