Sabtu, 17 Mei 2025
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
Jakarta Book Review (JBR)
  • Beranda
  • Resensi
  • Berita
    • Berita Utama
    • Berita Buku
  • Kolom
  • Pegiat Buku
  • Ringkasan
  • Kirim Resensi
  • Beranda
  • Resensi
  • Berita
    • Berita Utama
    • Berita Buku
  • Kolom
  • Pegiat Buku
  • Ringkasan
  • Kirim Resensi
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
Jakarta Book Review (JBR)

Apakah Fikih (Tambang) Memadai?

Perdebatan fikih tambang hanya debat kusir ideologis? Orang tidak paham pertambangan, kok, bicara hukum tambang.

Oleh Zezen Zaenal Mutaqin
8 Juli 2024
di Kolom
A A
Fikih tambang

Sumber foto: Unair

Pada masa pra-modern, setidaknya ada tiga institusi dalam hukum Islam: fatwa, hukm, dan tassaruf al-imam ala al-ra’iyah.

Fatwa adalah pendapat ulama hasil ijitihadnya atas satu persoalan. Hukm atau hukum adalah putusan Qadi atau hakim atas satu persoalan ketika mereka dituntut untuk memutuskan atau perkara. Tassaruf adalah public policy atau semacam kebijakan publik pemerintah.

Fatwa pada dirinya sendiri tidak mengikat karena hanya opini. Hukum itu mengikat setidaknya pada para pihak yang berperkara karena merupakan perintah putusan pengadilan. Tassaruf adalah kebijakan yang diambil pemerintah karena dasarnya kemaslahatan (kebaikan) umum, dengan ketentuan tidak bertentangan dengan norma al-Quran.

Fikih pada masa lalu lahir dalam putaran tiga pelembagaan itu.

Kita juga harus memahami bahwa fikih setidaknya mengandung dua unsur dasar: asumsi-asumsi faktual dan normativitas hukum.

BACA JUGA:

Paus Fransiskus: Antara Keberanian, Kasih, dan Visi Masa Depan

Perginya Pengusung Agama yang Ekologis Penuh Kasih [Obituari Paus Fransiskus]

JEDI Knight Farhan Helmy and a Story of Innovative Financing for the Disability and Elderly

Sains: Antara Harapan dan Batasan

Sederhananya begini: ketika ulama atau Qadi menghadapi masalah, sebelum membuat formulasi hukum, ia harus memahami isu hukumnya. Isu hukum itu meniscayakan ia mengerti faktualitasnya. Salah memahami fakta, maka keliru pula merumuskan formulasi hukum.

Buat kawan yang kuliah hukum di Amerika, logika ini begitu familiar. Sebagai informasi saja, di Amerika sekarang tidak ada sarjana S1/bachelor untuk bidang hukum. Untuk masuk di law school mahasiswa harus menyelesaikan S1 di bidang apa pun: sosial politik, insinyur, kesehatan, psikologi dan lain-lain. Lantas mendaftar program JD (Juris Doctor) atau LL.M (Magister hukum).

Kenapa demikian? Salah satu alasannya karena para mahasiswa ketika mengambil program studi hukum itu akan fokus pada bidang yang ia pahami.

Kalau S1 jurusan ilmu olahraga, dia akan mengambil sport law, yang S1 teknik perminyakan mungkin akan ambil petroleum law, dan lain sebagainya.

Tak aneh fakultas hukum menawarkan banyak sekali program. Tapi yang mendasari itu semua adalah logika sederhana: untuk menjadi lawyer yang baik mahasiswa harus menguasai dua hal: asumsi faktual pada bidang spesifiknya dan norma atau aturan hukumnya. Mustahil dia menjadi lawyer ahli kontrak perminyakan kalau tidak paham seluk belum perminyakan.

Sekarang bayangkan kondisi faktual pada masa pra-modern. Masyarakat bergerak relatif lambat. Peranan dan pranata sosial relatif sederhana. Jumlah penduduk relatif sedikit. Teknologi di semua bidang tak serumit sekarang.

Gambaran ini lagi-lagi bisa dilihat dari tumbuhnya norma dan aturan. Pada seratus tahun sejarah Amerika, keseluruhan aturan di Amerika mungkin bisa diringkas dalam satu kompedium aturan yang tidak terlalu tebal. Tapi untuk seratus atau dua ratus tahun berikutnya, seluruh aturan yang tertulis itu mungkin harus ditampung di sebuah perpustakaan yang cukup besar. Anda bisa melihat evolusi ini di perpustakaan fakultas hukum.

Rafles, dalam History of Jawa, mencatat pada tahun 1700, penduduk Batavia atau Jakarta hanya 20.072 orang yang tinggal di dalam kota, dan 32.478 orang yang tinggal di pinggiran kota. Penduduk Jabodetabek kurang lebih 55.000 orang. Sekarang ada sekitar 20 juta lebih tinggal di wilayah itu.

Apa artinya? Kompleksitas masyarakat, dan juga kompleksitas hukum dan norma, pada masa lalu dengan sekarang jelas sangat jauh berbeda. Aturan untuk 50 ribu orang yang rata-rata petani (homogen dari sisi profesi) jauh berbeda dengan aturan untuk kompleksitas 20 juta orang.

Ini baru dari sisi jumlah demografi. Bayangkan dalam benak anda kompleksitas yang lain.

Itulah kenapa seorang fakih pada masa lalu bisa menyelesaikan banyak persoalan yang dihadapinya. Kompleksitas dan dinamika yang relatif sederhana, lamban dan homogen, memungkinkan asumsi faktual dicerna olehnya. Memungkinkan pula ia memformulasikan norma dan aturan hukumnya. Fikih pra-modern dilahirkan dalam alam yang relatif tidak serumit sekarang.

Apakah artinya fikih sekarang tidak lagi relevan? Tidak juga demikian. Poin saya sederhana: fakih (ahli fikih) zaman sekarang harus pula mengasumsikan memahami asumsi faktual yang jauh lebih komplek sebelum menawarkan formulasi norma/hukum. Lebih jauh kita bisa bertanya apakah kompleksitas yang begitu rumit sekarang bisa difoto dan dipahami oleh memori seseorang? Mungkin saatnya kita membuat fikih kolektif melalui ijtihad kolektif dan tidak lagi bersandar pada opini hukum orang perorangan.

Contoh fikih tambang menjadi menarik. Saya tidak tertarik masuk ke isu itu karena saya tahu diri saya tidak tahu sama sekali seluk beluk pertambangan, selain dari bacaan awam semata. Mining adalah industri moderen yang sangat rumit dan kompleks. Memang ada fikih rikaz dan ma’din dalam literatur fikih klasik, tapi faktualitasnya jauh sekali berbeda. Pertambangan sekarang adalah produk modernitas yang cukup rumit. Saking rumitnya kampus seperti Institut Teknologi Bandung (ITB) buka jurusan Pertambangan di mana mahasiswa harus belajar 5 tahun untuk menguasai dasar-dasarnya.

Yang saya khawatir, perdebatan fikih tambang yang muncul belakangan hanyalah debat kusir ideologis semata karena pemahaman asumsi-asumsi faktualnya tidak terpenuhi. Sederhananya: orang tidak paham pertambangan, kok, bicara hukum tambang.

Karena demikian, biasanya argumen yang muncul adalah argumen panasea bagi kompleksitas dunia modern: maslahat. Maslahat menjadi kata ajimat yang terlalu diamplifikasi. Apa-apa maslahat. Berlebihnya penggunaan argumen maslahat, menurut saya, menunjukan ketidakpahaman faktualitas persoalan yang kompleks dan rumit ini. Kompleksitas itu direduksi semata pada asumsi kemaslahatan.

Lantas apa itu maslahat? Siapa yang mendefinisikan dan apa ukurannya? Bisakah definisi maslahat bertolakbelakang satu sama lain? Mungkinkah maslahat menurut satu kelompok, karena ukurannya kepentingan ekonomi, justru dianggap madharat oleh orang yang melihat dari sisi lain, misalnya dari sisi kerusakan lingkungan?

Demikian catatan singkat saya.

Baca Juga

Ulil, Tambang Batubara, dan Krisis Iklim

Setelah NU Dapat Konsesi Tambang

Bahaya Ormas Agama Cawe-Cawe Main Tambang

Topik: agama dan lingkunganfikih tambang
SendShareTweetShare
Sebelumnya

Perlunya Mereformasi Ulang Tata Kelola Migas Nasional

Selanjutnya

Hibernasi Radikalisme

Zezen Zaenal Mutaqin

Zezen Zaenal Mutaqin

Pengajar di Indonesian International Islamic University (UIII), Depok. Meraih Ph.D dari UCLA School of Law, California.

TULISAN TERKAIT

Paus Fransiskus: Antara Keberanian, Kasih, dan Visi Masa Depan

Paus Fransiskus: Antara Keberanian, Kasih, dan Visi Masa Depan

22 April 2025
Perginya Pengusung Agama yang Ekologis Penuh Kasih [Obituari Paus Fransiskus]

Perginya Pengusung Agama yang Ekologis Penuh Kasih [Obituari Paus Fransiskus]

22 April 2025
Ksatria JEDI Bernama Farhan Helmy dan Sepenggal Kisah tentang Pembiayaan Inovatif untuk Disabilitas dan Lansia

JEDI Knight Farhan Helmy and a Story of Innovative Financing for the Disability and Elderly

21 April 2025
Sains: Antara Harapan dan Batasan

Sains: Antara Harapan dan Batasan

17 April 2025
Selanjutnya
Selanjutnya
Hibernasi Radikalisme

Hibernasi Radikalisme

Ulasan Pembaca 3

  1. Ping-balik: Fikih Ekologi Ulil dan Deep Ecology - Jakarta Book Review (JBR)
  2. Ping-balik: Tak Sekadar Teriakan “How Dare You!” Memahami Perjuangan Greta Thunberg Secara Lebih Komprehensif - Jakarta Book Review (JBR)
  3. Ping-balik: "Puasa Diet" Ulil dan Hidup Sehat - Jakarta Book Review (JBR)

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Mengupayakan Keadilan di Bumi  [Timbangan atas Buku “Just Earth” Tony Juniper ]

Mengupayakan Keadilan di Bumi [Timbangan atas Buku “Just Earth” Tony Juniper ]

23 April 2025
Paus Fransiskus: Antara Keberanian, Kasih, dan Visi Masa Depan

Paus Fransiskus: Antara Keberanian, Kasih, dan Visi Masa Depan

22 April 2025
Perginya Pengusung Agama yang Ekologis Penuh Kasih [Obituari Paus Fransiskus]

Perginya Pengusung Agama yang Ekologis Penuh Kasih [Obituari Paus Fransiskus]

22 April 2025
PELAN TAPI SUKSES; FILOSOFI KUNGKANG MIRIP “OJO KESUSU”

PELAN TAPI SUKSES; FILOSOFI KUNGKANG MIRIP “OJO KESUSU”

21 April 2025
menemukan cinta

PELUKAN HANGAT BAGI YANG “TERSESAT”, PENAT, DAN INGIN MENEMUKAN CINTA

21 April 2025
Ksatria JEDI Bernama Farhan Helmy dan Sepenggal Kisah tentang Pembiayaan Inovatif untuk Disabilitas dan Lansia

JEDI Knight Farhan Helmy and a Story of Innovative Financing for the Disability and Elderly

21 April 2025

© 2024 Jakarta Book Review (JBR) | Kurator Buku Bermutu

  • Tentang
  • Redaksi
  • Iklan
  • Kebijakan Privasi
  • Kontak
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
  • Masuk
  • Beranda
  • Resensi
  • Berita
    • Berita Utama
    • Berita Buku
  • Kolom
  • Pegiat Buku
  • Ringkasan
  • Kirim Resensi

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In