Kamis lalu, saya menghadiri acara MAARIF HOUSE, sebuah forum diskusi ringan dengan topik khusus yang dihadiri oleh peserta terbatas. Hajatan ini diampu oleh Maarif Institute di bilangan Tebet, Jakarta Selatan. Tema yang diangkat dalam pertemuan perdana itu agak berat, yaitu “Agama, Krisis Lingkungan, dan HAM: Izin Tambang untuk Ormas, Masalah atau Maslahah?” Banyak narasumber keren dengan berbagai latar belakang; pegiat organisasi masyarakat sipil, pengusaha, ormas keagamaan, dosen, dan peneliti.
Saya berjumpa dengan Kiai Ulil Abshar-Abdalla, cendikiawan NU yang populer dengan berbagai gagasan yang kerap menimbulkan perdebatan lanjutan. Dari siang hingga waktu maghrib, Kiai Ulil nampak lebih segar, baik dari sisi pemikiran hingga tampilan fisiknya. Kali ini saya tidak akan menulis tentang sisi pemikirannya terkait fikih tambang. Terlalu berat bagi saya untuk merangkumnya dalam bentuk tulisan. Saya akan menuliskan sosok Kiai Ulil dari sudut pandang lain, yaitu sisi spiritualitas dalam laku keseharian hidupnya.
Selama kurang lebih 4,5 jam berdiskusi, saya tidak melihat Kiai Ulil mencicipi makanan dan minuman yang tersaji. Air mineral, teh, makanan ringan, nasi kotak dibiarkan utuh. Karena penasaran, akhirnya saya memberanikan diri untuk bertanya. Dia menjelaskan dengan rileks bahwa selama hampir satu tahun ini ia melakoni ”puasa diet”. Saya kaget, bertanya di dalam hati: “waduh teori puasa apa lagi nih?” Puasa itu telah memangkas berat badannya hingga hilang 15 kg secara perlahan.
Baginya, puasa diet adalah gabungan antara puasa ala Nabi Daud (sehari puasa sehari tidak) dan puasa Senin-Kamis. Durasi waktu dan tata caranya sama seperti puasa biasa. Tapi, karena dia tidak ingin berpuasa di setiap hari Ahad, maka implikasi dari penggabungan itu terkadang harus berpuasa selama dua hari berturut-turut. Bisa Senin-Selasa atau Kamis-Jumat. Jadi, puasa diet hanyalah istilah biasa saja. Ia bukan ajaran baru tanpa landasan fikih.
Membangun Budaya Hidup Sehat
Kiai Ulil merasa begitu prihatin dengan sejumlah fakta tentang banyaknya kiai-kiai muda yang mudah sakit, lalu meninggal dunia di usia muda. Baginya, problem kesehatan ini bisa dicegah dengan berbagai aktivitas yang mudah, murah, dan menyenangkan. Saat ini ia giat mempromosikan program hidup sehat khusus untuk para kiai. Praktiknya sederhana, memperbanyak jalan kaki, mengubah pola makan yang lebih sehat dan berpuasa. Pola itu sudah dipraktikkan dengan baik oleh Kiai Mustafa Bisri (Gus Mus) mertuanya. Di usianya yang sudah berkepala 8, Gus Mus mampu menjalankan ritual umroh secara sempurna, tanpa bantuan kursi roda yang dibantu orang lain.
Selain Gus Mus, saya menjumpai Kiai Husein Muhammad dari Perguruan FAHMINA Cirebon dan Kiai Hasan Abdullah Sahal dari Gontor Ponorogo. Keduanya telah membangun pola hidup sederhana namun sehat, seperti olah ringan secara rutin alias jalan kaki pagi, rajin berpuasa, mengatur pola makan dengan asupan yang terukur, namun cukup kandungan nutrisi dan gizinya. Porsi makanan yang disantap jauh dari kesan mewah, berukuran jumbo, berbumbu ekstrim dan berlemak. Prinsipnya, makanan itu sekadar cukup untuk menopang tubuh agar tetap kuat beribadah.
Saya mengenal Kiai Hasan Abdullah Sahal sejak tahun 1981, ketika nyantri di Pondok Gontor. Dugaan saya dulu, Kiai Hasan tidak bisa naik sepeda motor. Pasalnya, beliau pergi ke mana-mana selalu berjalan kaki. Baik saat hendak mengajar atau berkeliling pondok untuk melihat kehidupan para santri. Sekarang, setelah puluhan tahun, saya baru menyadari bahwa pilihan berjalan kaki itu telah berbuah pada kehidupan yang jauh lebih sehat di kemudian waktu. Sekarang, beliau masih tetap sehat dan bugar di usia yang hampir 80 tahun.
Dalam hal kesehatan, saya percaya pada pepatah kuno “you are what you eat”. Konon, slogan ini ditulis oleh Anthelme Brillat-Savarin, dalam bukunya Physiologie du Goût (1826). Dia menulis, “Tell me what you eat and I will tell you what you are”. Dalam pepatah Melayu ada istilah “sesaat di bibir, seumur hidup di pinggul”. Kedua pepatah ini memberi pesan bahwa segala jenis makanan yang kita konsumsi akan berdampak pada kualitas kesehatan kita di kemudian waktu.
Meski bukan dokter, juga bukan peramal yang mampu membaca takdir yang akan menimpa diri, saya yakin bahwa penyakit itu bisa dicegah, dengan berupaya membangun kualitas hidup agar bisa menjadi lebih baik. Soal takdir kematian, biarlah malaikat itu datang menjemput nyawa tanpa rasa sakit. Amin.