Semalam saya dan keluarga berefleksi bersama dan anak saya bilang, “this is probably the way God protects you.”
Saya sendiri melihat keikutsertaan saya dalam proses pencalonan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini sebagai ‘eksperimen politik’. Meski saya sadar sejak awal bahwa kans saya tidak besar, saya sangat serius. mulai dari menyiapkan berkas, mendaftar, menulis paper, hingga mengikuti semua tes yang demikian melelahkan —lelah hayati dan rohani.
Mesti saya akui bahwa proses tes berjalan relatif baik. Misalnya di tes tertulis, penyusunan soal dan formasinya bagus. Soal-soalnya tidak pilihan ganda, tidak menjebak, bersifat menggali pendapat. Memang ada soal yang secara fair akan memetakan pilihan/sikap politis dan bisa jadi seperti “saringan”. Misalnya pandangan tentang pelemahan KPK. Saya jawab apa adanya. Itu mengapa saya pikir saya sudah akan tersingkir di awal. Ternyata tidak —saya lolos.
Lanjut ke tahap berikut: Critical assessment. Ini yang melelahkan. Tes dua hari, pelaksana tes adalah konsultan psikologi. Sehari full “dihajar” dengan assessment psikologis yg memang melelahkan pikiran, dari pagi sampai malam. Hari berikutnya interaksi dalam kelompok: paparan, debat, leaderless group discussion, game (yang serius), dan diakhiri wawancara dengan psikolog selama 2,5 jam.
Harus saya akui, tes ini sangat serius. Tujuannya: memetakan apakah ada ‘traits’ untuk mampu menjabat di tingkat nasional. Karena selama tes saya apa adanya, nyolot dalam diskusi, debat, ditanya psikolog malah saya tanya balik, saya menduga saya terhenti di situ. Eh, ternyata saya lolos lagi.
Tahap berikut adalah tes kesehatan: raga dan jiwa di RSPAD. Saya alhamdulillah dinyatakan sehat raganya, meski saya yakin jiwa terguncang melihat kekacauan republik . Tapi kata dokter, kesimpulannya: bisa menjalankan tugas memimpin KPK jika terpilih. Catatan: RSPAD ini yang bertanggung jawab meloloskan para calon presiden kemarin. Jadi, saya bercanda ke dokternya, “saya mau tahu yg dianggap tidak mampu itu seperti apa.” Dia ketawa…
Setelah tes kesehatan, sampailah pada tahap terakhir: wawancara. Dilakukan secara terbuka, dihadiri publik, di gedung III Sekretaris Negara. Yang mewawancara 9 panitia seleksi plus 2 orang pakar: Dadang Trisasongko dan Taufiqurrachman Ruki. Pertanyaannya langsung: pandangan tentang Jokowi, apakah 02 atau 03, TPN atau TKN, setuju atau tidak KPK dilemahkan, apa strategi jika terpilih, pandangan tentang korupsi parpol, duit selama ini dari mana, rekening apa saja, klarifikasi transfer mencurigakan.
Saya jawab semuanya. Pandangan saya tentang Jokowi, pilihan politik saya, pandangan saya tentang pelemahan KPK, strategi saya jika terpilih (penguatan pencegahan; mulai dari kebijakan dan perencanaan pembangunan serta penguatan kapasitas dan integritas KPK), perlunya parpol membuka catatan keuangan, saya jelaskan semua sumber pendapatan.
Intinya, semua saya jawab langsung, lugas, tuntas, apa adanya. Tidak ada jawaban normatif, berbelit-belit. Usai wawancara, saya mbatin: this is it. Mungkin “perjalanan” saya akan berakhir di sini. Mengapa? Mungkin karena saya dilihat terlalu blak-blakan apa adanya. Mungkin karena terbaca tidak mau kompromi. Mungkin karena strategi pemberantasan korupsi yang saya ajukan dinilai terlalu idealis. Bisa jadi juga mungkin dianggap tidak ‘kompatibel’ dengan pendekatan pemberantasan korupsi yang akan diambil ke depan.
Atau, mungkin saya dianggap tidak kompeten—profil saya tidak cocok memimpin KPK. Tapi apa pun itu, saya tahu, saya mungkin ‘outlier‘ dari antara yang diwawancara. Jadi, ketika diumumkan dan nama saya tidak ada dalam list 10 nama untuk diajukan presiden ke DPR, saya tidak terkejut sama sekali. Proses pencarian capim KPK sudah berakhir bagi saya. To be fair, menurut saya, proses ini berjalan relatif baik. Tidak sempurna, tetapi not bad.
Saya dua kali jadi pansel: pansel pemilihan komisioner KIP (Komisi Informasi Pusat), dan direksi BPJS kesehatan. Proses capim KPK ini jauh lebih rigid. Pansel tidak sempurna, seperti kritik banyak orang, itu jelas. Mana ada yang sempurna. Tapi saya tahu pansel sudah bekerja keras dan berusaha semaksimal mungkin mencari orang-orang terbaik, meski pada akhirnya mungkin tidak bisa lepas dari kompromi politik. Apa pun itu, saya sangat menghargai kerja keras pansel. Terima kasih atas dukungan dan doa rekan-rekan selama ini.
2 Oktober 2024
Ulasan Pembaca 1