Perang dingin adalah episode yang paling menegangkan dalam sejarah umat manusia. Perseteruan antara blok Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan blok Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet telah membawa planet ini ke berbagai pertikaian bersenjata. Kedua blok tersebut juga bersaing mengembangkan teknologi ruang angkasa (space technology), yang pada akhirnya mereka gunakan untuk kepentingan militer dan intelijen.
Keberhasilan Uni Soviet meluncurkan wahana luar angkasa berawak pertama dan kesuksesan Amerika Serikat mendaratkan wahana berawak ke Bulan telah membangkitkan optimisme di pihak swasta bahwa ekspedisi ke ruang angkasa bisa juga menjadi peluang bisnis. Masuknya swasta ke industri ini dimulai dengan OTRAG dari Jerman pada tahun 1975, kemudian disusul Space Services, Arianespace, dan tentu saja SpaceX akhirnya bertekad untuk mengembangkan industri ini. Korporasi akhirnya berperan semakin dominan di space industry.
Menurut list Forbes.com secara real-time per hari ini (22 Juli 2024), Elon Musk adalah orang terkaya di dunia saat ini, dan meninggalkan pesaing terdekatnya seperti Jeff Bezos dan Bernard Arnault. Sejak awal berkarir sebagai pengusaha, Elon Musk sudah mempromosikan gagasan “Occupy Mars”, paling tidak dari tahun 2001. Bahkan, salah satu tujuan pendirian SpaceX oleh Musk memang adalah “mengkolonisasi planet Mars”.
SpaceX mengembangkan kapsul “Dragon 2” untuk membawa astronot ke luar angkasa dan mengembangkan roket “Falcon” untuk keperluan tersebut. Simulasi internal SpaceX memprediksi bahwa roket mereka lebih kuat 3.5 kali dari roket Saturn V milik NASA yang dikembangkan oleh Werner van Braun. Namun, mengapa planet Mars dipertimbangkan oleh Elon Musk dan timnya di SpaceX untuk dikolonisasi?
Ternyata ada beberapa faktor yang memang mendorong Elon Musk dan SpaceX untuk mengembangkan program kolonisasi planet Mars tersebut. Planet Mars diketahui jaraknya dianggap tidak terlalu jauh dengan bumi, yaitu sekitar 225 juta kilometer. Menurut NASA, dengan teknologi yang ada saat ini, diperlukan 9 bulan untuk perjalanan ke planet merah tersebut.
Selain itu, planet Mars memiliki tanah dan atmosfer. Berbeda dengan planet Jupiter, misalnya, yang benar-benar terdiri dari gumpalan gas. Yang menarik, ditemukan bekas aliran air di permukaan planet Mars, sehingga menumbuhkan optimisme bagi ilmuwan untuk prospek pengembangan koloni. Faktor pendorong yang juga penting adalah feasibilitas planet Mars karena planet lain yang dekat dengan Bumi, memiliki lingkungan dan iklim yang terlalu ekstrem. Sebagai contoh, planet Merkurius suhunya terlalu ekstrem karena dekat dengan matahari, dan planet venus punya masalah efek rumah kaca yang masif, maupun hujan asam.
Faktor terpenting dari pertimbangan Musk dan timnya adalah perkembangan kajian space biology yang sudah maju. Berbagai eksperimen dilakukan untuk mengetahui apakah makhluk hidup secara umum, tidak hanya manusia, bisa bertahan di luar angkasa atau tidak. Pakar mikrobiologi, misalnya, sudah mencoba membiakkan mikroba di luar angkasa. Kemudian, Uni Soviet dan Prancis sudah menjadi pionir sebagai bangsa pertama yang mengirim anjing dan kucing ke luar angkasa. Hasil penelitian ini sudah banyak dipublikasikan di berbagai jurnal ilmiah. Namun, tentu saja selain faktor pendukung, ada juga faktor penghambat dari ambisi Musk tersebut. Hambatannya apa saja?
Ternyata, faktor penghambatnya bisa dibilang sangat berat dan sangat sulit diatasi dengan teknologi yang ada. Yang pertama dari semua, atmosfer planet Mars jauh lebih tipis dibandingkan Bumi. Oleh karena itu, dimungkinkan lebih “prone” dengan tumbukan meteor. Planet Bumi yang atmosfernya tebal saja rutin menghadapi tumbukan meteor, apalagi Mars. Jika tumbukan meteor adalah event rutin di sana, maka diperlukan teknologi deterrence seperti membangun Iron Dome. Ini akan menjadi tantangan Engineering yang ‘raksasa’ dan terlalu sulit untuk diselesaikan.
Kemudian, gravitasi Mars jauh lebih lemah dari bumi. Konsekuensinya, astronot harus olahraga secara rutin di sana karena gravitasi yang sangat lemah. Gravitasi yang lemah juga mempersulit pengembangan transportasi, infrastruktur, dan bangunan pemukiman koloni. Lalu, sumber air sangat terbatas, kalau tidak dibilang tidak ada sama sekali dan belum diketahui secara pasti keberadaannya.
Selain itu, atmosfernya tidak akomodatif untuk kehidupan seperti di planet Bumi karena sangat dominan karbon dioksida yang beracun bagi manusia, dan keberadaan oksigen sangat tidak signifikan di atmosfernya. Bahkan walaupun komposisi atmosfer Mars disamakan dengan Bumi yang melimpah oksigennya, manusia tetap akan tidak bisa bernafas karena atmosfernya terlalu tipis. Selanjutnya, sumber energi belum dieksplorasi. Belum diketahui apakah ada sumber energi seperti minyak dan gas, maupun nuklir di Mars. Bisa jadi di tahap awal kolonisasi akan terlalu tergantung dengan panel surya, dan dimungkinkan itu tidak cukup.
Satu hal yang cukup memprihatinkan adalah, walau sudah ada riset ekstensif mengenai kemampuan manusia untuk bertahan hidup di luar angkasa, mayoritas mutlak hal itu dilakukan di bumi. Riset serupa misalnya dilakukan di ISS atau wahana ruang angkasa yang lain, namun ini tidak sepenuhnya representatif untuk menjadi proksi kolonisasi planet lain. Misalnya, apakah gangguan kesehatan yang benar-benar akan terjadi sewaktu proses kolonisasi Mars dimulai, itu sesuatu yang belum bisa diketahui secara pasti.
Terakhir, dan mungkin ini yang paling penting, menurut seri podcast “Economic Explained” yang populer di Youtube, secara tekno-ekonomi, kolonisasi planet Mars akan memakan biaya yang tidak akan pernah bisa dibayar siapa pun, dengan instrumen investasi apa pun, jika menggunakan teknologi yang ada sekarang. Podcast tersebut hanya mengamplifikasi keprihatinan beberapa pakar yang mengkaji masalah ini seperti Robert Zubrin, Calyton Knappenberger, dan Dastagiri M.B.
Setelah menimbang semua faktor pendukung dan penghambat, saya berpendapat ambisi Elon Musk adalah sesuatu yang harus kita apresiasi. Sebab, tanpa ambisi seperti ini, perkembangan sains dan teknologi akan stagnan. Jika SpaceX dan NASA suatu saat mengirim wahana ruang angkasa berawak ke planet Mars, untuk melakukan penelitian seperti yang pernah dilakukan di bulan, maka hal tersebut dipastikan akan mendorong perkembangan sains dan teknologi ke depan.
Namun, perkembangan sains dan teknologi yang terkini nampaknya masih jauh panggang dari api untuk memenuhi ambisinya mengkolonisasi Mars. Walau mengirimkan wahana berawak untuk penelitian di planet Mars bisa saja dilakukan ‘in our life time”, namun untuk membangun koloni di planet merah tersebut akan perlu waktu yang jauh lebih lama lagi.
Terakhir, dunia ini masih ada banyak masalah yang mesti diselesaikan: dari perubahan iklim, perang, masalah kesehatan, maupun berbagai masalah lain yang dilaporkan dalam “Sustainable Development Goals” dari PBB. Permasalahan ini harus dibereskan terlebih dahulu. Jangan sampai jauh di masa depan nanti, ketika Mars berhasil dikolonisasi umat manusia, masalah-masalah tersebut masih ada dan hanya dipindah belaka ke dunia baru.