Dalam epos mitologi Yunani, Dewa Apollo adalah dewa ilmu pengetahuan dan kecerdasan. Corak Apollonian melambangkan rasionalitas, intelektualitas, dan akal sehat. Sementara, sebaliknya, peradaban Yunani memiliki mitos Dewa Dionysius sebagai dewa anggur, pesta, dan kesuburan. Sesuatu yang melambangkan hasrat, kharisma, dan gairah. Dalam penilaian umum, kalangan intelektual Indonesia menggambarkan sosok Sukarno adalah sosok yang berkarakter Dionysian saja. Buku ini hendak menggugatnya dengan mengelaborasi pikiran dan intelektualitas dari Sukarno yang melambangkan rasionalitas, ketajaman analitik, dan terutama berpijak pada kekuatan analisis ekonomi-politiknya.
Denggan alasan tersebut di atas, dengan sangat baik buku ini menjelaskan daya intelektual Sukarno; mulai dari metode berpikirnya, yaitu metode kritis, yang merelasikan subjek (kaum Marhaen) dengan realitas sosialnya sebagai kondisi objektif yang membatasi dan memberdayakan aktivitas sosialnya hingga realisasi, eksperimentasi politik sebagai praksisnya.
Banyak dijumpai dalam buku ini referensi yang digunakan Sukarno untuk mengembangkan konsepnya dalam menemukan subjek dan relasi-relasi realitas sosialnya, yang menegaskan kembali daya intelektual Sukarno. Pada fase praktis, juga pada fase pembentukan konsep, Sukarno menggunakan dialektika-historis, memahami realitas dan negasinya, menjebol dan membangun, membuat sintesa-sintesanya, sejak muda hingga saat era Demokrasi Terpimpin.
Penggunaan metode materialisme historis, bukan filsafat materialisme yang anti-Tuhan, yang bermakna alam pikiran yang masuk dalam sejarah masyarakat karena terbawa oleh corak produksi pada tahap setiap sejarah (halaman 30), menjadi dasar analisis Sukarno dalam melihat realitas kaum Marhaen yang hidup pada sistem kapitalisme, kolonialisme, dan imperialisme.
Buku ini melihat jelas benang merah kerja intelektual Sukarno. Dimulai dari metode kritis sejak pembentukan konsep Marhaen, Marhaenisme, Marhaenis, dengan sosio-nasionalisme sebagai basis material dan sosio-demokrasi yang keduanya berfungsi sebagai metode pembebasan yang dipraktikkan dengan berbagai relevansinya hingga akhir hayat Sukarno.
Yang membuat buku ini menarik adalah ketika Airlangga Pribadi, penulisnya, membahas tentang makna Marhaen dan Marhaenisme. Secara jeli dia melihat bagaimana uraian Sukarno tidak hanya selesai dengan penjelasan soal dirinya bertemu petani Kang Marhaen, namun dengan memperlihatkan kekuatan imajinasi sosialnya yang berhasil memperlihatkan bagaimana analisis tersebut berhubungan dengan corak tatanan kapitalis-imperialisme. Baik di negara-negara metropolis seperti Inggris dan Belanda serta negeri-negeri jajahan seperti India dan Hindia Belanda, yang corak struktural tersebut menentukan subjek-subjek politik penggerak revolusi yang mampu memerankan peran agensinya. Inilah yang selama ini hilang dari pemahaman terhadap Sukarno dalam studi-studi tentang kajian analitik pemikiran Sukarno.
Pada tahap konsepsi dijelaskan dengan sangat baik sosio-nasionalisme, yang dimulai dari pandangan intelektual saat itu tentang pro-kontra nasionalisme (digambarkan konsep-konsep nasional saat itu dari berbagai pandangan), cara pandang Sukarno hingga terbentuk konsep nasonalisme dengan sosio-nasionalisme yang terkait erat dengan Internasionalisme sebagai negasi kosmopolitan yang individual dan meletakkan kemerdekaan Indonesia untuk mencari kemerdekaan dunia dan umat manusia serta kesetaraan bangsa-bangsa di hadapan internasional (halaman 178).
Demikian juga konsep sosio-demokrasi, yang tidak hanya berdemokrasi pada politik namun juga ekonomi, suatu kritik atas demokrasi liberal. Pun konsep Ratu Adil yang bukan sebagai sosok otoritatif (jadi cemooh kaum demokrat liberal sebagai warisan feudalisme) melainkan sebagai penafsiran kritis melalui pembalikan dari makna pasif menunggu Ratu Adil menjadi aktif pengejawantahan kehendak rakyat (Ratu Adil) sebagai partai politik yang menghentikan kapitalisme dan imperalisme (halaman 283).
Diksi-diksi seperti “perjumpaan”, “pertarungan”, “persandingan”, aliansi, dan entitas-entitas banyak dijumpai dalam buku ini, yang menandakan penggunaan metode kritis dan dialektika dengan menampilkan kekuatan-kekuatan dan entitas yang saling berelasi. Marhaen dan Marhaenisme bukanlah sebuah konsepsi sosial yang bebas pertarungan kekuasaan dan benturan dialektika kepentingan (halaman 43), misalnya, menjadi contoh ciri umum buku ini dalam pembahasannya.
Tidak hanya aliansi-aliansi berdasarkan kelas yang dimiskinkan, namun juga peran perempuan ditampilkan dalam buku ini saat menyinggung “Marhaen dan Marhaeni” dan “Sarinah”.
Praksis, Eskperimentasi Politik: Demokrasi Terpimpin.
Setelah konsep metode perjuangan (sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi) terwujud, buku ini kemudian menjelaskan praktiknya. Berangkat dari prakondisi dimulainya era Demokrasi Terpimpin seperti manuver politik ekstra parlementer, yang melakukan aliansi dengan militer untuk melemahkan pemerintah yang berujung pada Pemberontakan PRRI/Permesta serta intervensi politik dari negara-negara Demokrasi Liberal Dunia Pertama, khususnya Amerika untuk mengembalikan pengaruhnya pascadekolonisasi dalam suasana Perang Dingin (halaman 329).
Sukarno memainkan kabinet 4 kaki untuk memperkuat persatuan nasional seperti idenya sejak muda sebagai lanjutan dari gagasan sosio-demokrasi (halaman 323). Ketika itu Indonesia menghadapi years of challenge (tahun-tahun penuh tantangan) yang mengindikasikan munculnya elemen-elemen yang membangun hubungan dengan nekolim (halaman 333) agar republik tetap menuju masyarakat tanpa eksploitasi manusia atas manusia.
Progresivitas politik pada masa Demokrasi Terpimpin juga dipaparkan, seperti rumusan Rencana Pembangunan Semesta Delapan Tahun, yang melikuidasi susunan masyarakat kolonial, juga program Land Reform dan UUPA tahun 1960 yang memutuskan petani dan rakyat pada hubungan sosial dalam susunan masyarakat kolonial dan feudalisme (halaman 343). Selain itu, juga seputar Ganjang Malaysia, “Go to Hell with Your Aid!“, perebutan kembali Papua Barat, pembentukan NEFOS. Keterbatasan praktik Demokrasi Terpimpin juga dibahas , misalnya ketika momentum Demokrasi Terpimpin tersebut dimanfaatkan oleh sebagian kalangan militer untuk kepentingan politik dan kekuatan militer yang melemahkan supremasi sipil (halaman 351).
Tidak ketinggalan buku ini juga mengulas pembentukan religiusitas dan spiritualitas Sukarno berikut tokoh-tokoh yang memengaruhinya; dimulai dari sang ayah Sukarno yang mengenalkan filsafat Hindu Tat Twam Asi, perjumpan dengan Tjokroaminoto, RM Panji Sosrokartono, Ahmad Hasan, Haji Agus Salim serta Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsy (Habib Ali Kwitang. Kemudian juga hubungan rekonsiliatif agama dan negara, selain pembahasan yang terkenal dari Sukarno: Api Islam yang terinspirasi dari tokoh Islam Modernis Sayyid Amir Ali.
Buku ini ditutup dengan pembahasan Pancasila sebagai pemadatan Ajaran Merahnya Bung Karno di mana Sukarno hanya menggali realitas di masyarakat, merenungkannya dalam posisi pembelaan atas ketertindasan dari kaum Marhaen, kemudian menjad narasi pembebasan seperti pada sub-judul buku ini: “Narasi Pembebasan ala Indonesia” yang wataknya praksis!
Garis ketetapan menuju tujuan keadilan sosial hanya bisa dicapai apabila dalam perjalanannya demokrasi di Indonesia dikemudikan oleh kekuatan kaum Marhaen, dan tidak dipimpin oleh kepentingan kaum Borjuis (halaman 338) sebagai sebuah komitmen. Terlihat jelas benang merah tradisi politik liberasi sebagai instrumen pembebasan rakyat tertindas dari belenggu struktural menjadi komitmen Sukarno melalui konsep dan praksis dengan menempuh jalan sosialisme ala Indonesia menjadikan Sukarno sebagai intelektual dan politisi radikal revolusioner sebagaimana alasan buku ini dibuat.
Catatan-catatan kritis yang perlu diberikan adalah masih relatif jarangnya elaborasi untuk menyandingkan pikiran emansipatif dari Sukarno di antara berbagai intelektual-intelektual Dunia Ketiga seperti Frantz Fanon, Kwame Nkrumah, Jawaharlal Nehru maupun Ho Chi Minh, dan seterusnya. Hal ini merupakan ranah eksplorasi intelektual yang penting dan perlu dielaborasi mendalam seiring maraknya kajian soal dekolonisasi serta tanggapan dialektik dari berbagai pandangan intelektual Dunia Ketiga masa lalu sebagai bentuk resistensi dan kritik kontemporer terhadap bekerjanya tatanan sistemik kapitalisme-neoliberalisme.
Buku ini, dengan kata pengantar oleh puteri Sukarno sendiri, yaitu Megawati Soekarnoputri, berhasil menceritakan munculnya sebuah konsep hingga praksisnya pada relasi-relasi realitas sosialnya. Selain itu, referensi yang digunakan pada buku ini dapat digunaka untuk studi lanjutan untuk memahami buku ini atau untuk topik lain. Meskipun pada beberapa bab (3, 4, 6, 8, dan 10) ditulis pada jurnal atau media lain pada rentang waktu 2020-2022, namun tidak mengurangi keterkaitan dan kesinambungan alur pemikiran penulisan buku yang terbit pada Mei 2023 lalu.
Sangat menarik dan bermanfaat. Selamat membaca dan berpetualang menikmati alur konsep dan praksis “Merahnya Ajaran Bung Karno”!
Identitas Buku
Judul: Merahnya Ajaran Bung Karno: Narasi Pembebasan Ala Indonesia
Penulis: Airlangga Pribadi Kusman
Penerbit: GDN, cetakan pertama Mei 2023,
Tebal: 509 halaman