Pada 20 Oktober, Prabowo Subianto resmi memegang tampuk kekuasaan di negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah meraih kemenangan gemilang dalam pemilihan presiden pada Februari lalu. Hubungan pribadinya dengan mantan diktator Suharto, dan perannya dalam penculikan para aktivis politik, pernah menjadikannya simbol masa lalu yang penuh kekerasan yang seharusnya ditinggalkan oleh demokrasi. Namun, Prabowo justru menjadi tokoh penting dalam lanskap politik Indonesia setelah transisi demokrasi pada tahun 1998.
Prabowo nyaris memenangkan kursi kepresidenan pada tahun 2014 dan 2019. Kedua kali ia kalah dari Joko Widodo (Jokowi), yang pada saat itu secara luas dikreditkan dengan menyelamatkan Indonesia dari momok kepresidenan Prabowo. Jauh dari menjadi penyelamat demokrasi, Jokowi terbukti menjadi penyabot.
Dengan gaya populis klasik, Jokowi menggunakan popularitasnya yang luar biasa untuk membongkar pengawasan terhadap kekuasaan eksekutif demi mengimplementasikan visi pembangunannya. Untuk mengamankan kekayaan politik keluarganya, Jokowi memasangkan putranya sebagai calon wakil presiden Prabowo pada pemilu 2024, dan menggunakan seluruh kekuasaannya untuk merekayasa kemenangan bagi orang yang pada awalnya akan dikalahkannya.
Penggunaan kekuasaan negara yang kebablasan oleh presiden yang sedang menjabat untuk merusak persaingan pemilu yang adil demi keuntungan pribadi ini telah membuat salah satu negara demokrasi Gelombang Ketiga yang paling penting di dunia terhuyung-huyung di tepi otoritarianisme yang kompetitif–sistem di mana lembaga-lembaga demokratis tetap utuh tetapi rentan terhadap penyalahgunaan petahana yang sistematis.
Apa yang akan dilakukan Prabowo dengan lembaga-lembaga yang telah rusak yang ia warisi? Pandangannya tentang ketidakberesan pemilu dan pemerintahan perwakilan sudah sangat dikenal. Sejak terpilih, Prabowo telah mengambil langkah-langkah untuk meminimalisasi oposisi politik dan mengakomodasi kepentingan koalisinya yang sulit diatur. Bagaimana demokrasi di bawah presiden baru ini akan bergantung pada apakah tuntutan untuk mengelola para elite Indonesia yang terpecah-pecah akan membuat Prabowo menjadi wasit politik yang taktis atau justru mendorongnya untuk memperketat cengkeraman pribadinya pada kekuasaan.
Satu Dekade Pembongkaran Demokrasi
Bagi Jokowi, meruntuhkan demokrasi, pada awalnya, merupakan mekanisme untuk bertahan hidup. Meskipun statusnya sebagai orang luar membantunya meraih kemenangan pada tahun 2014, status tersebut juga menghambat kemampuannya untuk memerintah. Pada masa jabatan pertamanya, ia menghadapi perlawanan di parlemen dari kelompok-kelompok oposisi dan bahkan dari partainya sendiri, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Kelompok-kelompok Islam konservatif juga mengancam akan menggoyahkan pemerintahannya dengan memobilisasi serangkaian protes besar-besaran di jalanan.
Jokowi mengumpulkan sekelompok politikus era Soeharto yang membantunya membuat elite politik, sosial, dan agama di Indonesia tunduk melalui perpaduan antara ancaman dan insentif. Patronase telah lama menjadi perekat politik koalisi di Indonesia yang demokratis; namun penggunaan paksaan oleh Jokowi untuk mengatur para penentangnya tak ada bandingannya pada periode pasca-Suharto.
Pada awal masa jabatan keduanya di tahun 2019, Jokowi yang lebih percaya diri menegaskan bahwa ia siap menggunakan semua alat yang dimilikinya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang cepat melalui infrastruktur berskala besar dan deregulasi yang mendalam. Korban-korban penting dari kampanye ini, termasuk pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sangat populer dan dianggap Jokowi sebagai penghalang investasi, dan secara bersamaan menjadi alat yang berguna untuk mendisiplinkan para elite politik yang sulit diatur.
Penindasan dengan kekerasan terhadap kelompok-kelompok Islamis juga semakin meningkat dengan pembunuhan di luar hukum terhadap para anggotanya, dan pembubaran atas tuduhan terorisme yang dibuat-buat. Terakhir, ia mendorong pengesahan undang-undang yang luas (Omnibus Law) untuk mengurangi perlindungan tenaga kerja, melonggarkan perlindungan lingkungan, melonggarkan pembatasan investasi asing, dan mempercepat pembebasan lahan oleh pemerintah.
Popularitas Jokowi yang sangat tinggi sangat penting dalam memungkinkan implementasi langkah-langkah kontroversial ini. Dengan menjaga inflasi tetap rendah dan memperluas program kesejahteraan sosial selama pandemi COVID-19, Jokowi berhasil mempertahankan peringkat persetujuan yang tinggi. Langkah-langkah ini bisa dibilang membuat masyarakat Indonesia melihat diri mereka sebagai pemangku kepentingan dalam kepresidenannya dan lebih bersedia memaklumi tindakan-tindakan politik yang melampaui batas demi stabilitas ekonomi.
Jokowi memanfaatkan mandat yang luar biasa ini untuk secara sistematis menghilangkan batasan-batasan kekuasaan. Aliansi strategis dengan Prabowo, yang ia tunjuk sebagai Menteri Pertahanan, membawa Partai Gerindra ke dalam koalisi Jokowi, memberinya kendali hampir total atas parlemen, dan melemahkan akuntabilitas horisontal. Penunjukan loyalis pada pos-pos kunci penegakan hukum mengubah aparat keamanan menjadi alat untuk meredam perbedaan pendapat dalam masyarakat sipil, melemahkan mekanisme akuntabilitas vertikal.
Melanggar Garis Merah Pemilu
Terlepas dari kemunduran-kemunduran ini selama satu dekade terakhir, pemilu di Indonesia sebagian besar dianggap bebas, adil, dan kompetitif, yang membedakan sistem politik Indonesia dari rezim-rezim hibrida dan negara-negara otoriter yang sedang naik daun di seluruh dunia. Hal ini berubah ketika Jokowi mulai membengkokkan lembaga-lembaga dan melanggar norma-norma pemilu demi keuntungan pribadinya.
Memancing cara untuk tetap menjabat, Jokowi pertama-tama berusaha mengubah konstitusi untuk mendapatkan masa jabatan presiden yang ketiga. Dia juga bermain-main dengan ide untuk menunda pemilihan presiden 2024. Kedua proposal tersebut gagal mendapatkan dukungan dari publik dan akhirnya diblokir oleh partainya sendiri, PDI-P. Namun, bertekad untuk mempertahankan kekuasaannya, Jokowi menyatakan niatnya untuk ikut campur dalam pemilu demi memengaruhi pilihan penggantinya pada pemilu 2024.
Prabowo menawarkan solusi yang saling menguntungkan dengan mengajukan putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden. Dukungan Jokowi akan meningkatkan elektabilitas Prabowo dan memiliki seorang putra sebagai wakil presiden akan memungkinkan Jokowi mempertahankan pengaruhnya setelah tidak menjabat lagi. Pemerintah provinsi dan kota di seluruh Indonesia dipenuhi oleh tokoh-tokoh dinasti. Namun, upaya membangun dinasti kepresidenan ini mengarah pada peningkatan pola intervensi pemilu yang belum pernah terjadi sebelumnya di Indonesia yang demokratis.
Koneksi pribadi Jokowi di lembaga peradilan membantu mengamankan pencalonan Gibran, yang masih terlalu muda untuk mencalonkan diri. Mahkamah Konstitusi, yang dikepalai oleh adik ipar Jokowi, menciptakan celah hukum di menit-menit terakhir yang membuka jalan bagi pria berusia tiga puluh enam tahun ini untuk bergabung dengan Prabowo. Sebuah sinyal definitif dukungan dari Jokowi menyatukan basis pemilih Prabowo yang berkomitmen dengan para pendukung Jokowi. Hal ini memberikan Prabowo keunggulan dua digit dalam persaingan tiga arah, membuatnya sangat mungkin untuk memenangkan pemilihan di putaran kedua. Namun, pertaruhannya terlalu besar bagi Jokowi untuk membiarkan segala sesuatunya berjalan begitu saja.
Presiden yang akan habis masa jabatannya ini mengerahkan seluruh sumber daya negara yang dimilikinya untuk mendorong Prabowo dan Gibran melewati angka 50 persen yang akan mencegah limpasan suara. Ia menggelontorkan dana kesejahteraan (bantuan sosial) ke daerah-daerah yang kaya akan suara untuk menggalang dukungan bagi pasangan ini. Yang lebih mengkhawatirkan, ia menggunakan kendali atas lembaga-lembaga pemaksa, khususnya polisi dan Komisi Pemberantasan Korupsi, untuk mengintimidasi para pejabat lokal, yang mengumpulkan suara yang diperlukan untuk memberikan kemenangan telak.
Meski proses pemungutan suara dan penghitungan suara sebagian besar bebas dari intervensi, campur tangan yang berlebihan dalam proses pra-pemilu oleh presiden yang sedang menjabat, melalui kombinasi uang tunai dan paksaan, mengaburkan batas antara pemilu yang demokratis dan yang tidak demokratis.
Upaya-upaya untuk melemahkan daya saing pemilu terus berlanjut bahkan setelah pemilihan presiden. Hal ini termasuk intimidasi terhadap para pemimpin senior PDI-P, yang secara terbuka mengkritik proses pemilu dan menuntut investigasi atas kekalahan calon presiden mereka yang mengejutkan di kubu tradisional partai tersebut. Jokowi kemudian mengalihkan perhatiannya ke pemilihan kepala daerah 2024 yang akan berlangsung di seluruh Indonesia pada bulan November. Politik daerah adalah sumber dari para pemimpin nasional, yang dapat membuktikan kredensial pemerintahan mereka untuk memenangkan popularitas yang luas, seperti yang pernah dilakukan Jokowi. Ia gagal mendapatkan nominasi untuk putra keduanya dalam sebuah pemilihan penting, namun berhasil menggagalkan kampanye saingan lamanya, Anies Baswedan.
Setelah kalah dalam pemilihan presiden 2024, Anies kemudian mencoba untuk kembali mencalonkan diri dalam pemilihan gubernur Jakarta. Dia secara luas diprediksi akan menang karena popularitasnya yang luar biasa selama masa jabatan pertamanya. Dalam situasi normal, partai-partai akan berbondong-bondong mencalonkan kandidat seperti itu, dan pada awalnya tiga partai besar mengumumkan niat mereka untuk mendukungnya. Namun, intimidasi dan kooptasi terhadap para ketua partai politik oleh istana kepresidenan membuat dukungan tersebut terkikis dan membuat Anies gagal mendapatkan nominasi untuk mengikuti pemilihan. Intervensi untuk menghalangi petahana yang sangat populer untuk mengikuti pemilu ini merupakan serangan mematikan terhadap daya saing pemilu di Indonesia yang demokratis.
Prabowo Berkuasa
Prabowo mewarisi demokrasi yang jauh lebih lemah daripada demokrasi yang ia perjuangkan sepuluh tahun yang lalu. Apa yang akan ia lakukan dengan lembaga-lembaga yang sekarang ada di tangannya?
Menentang reputasinya yang agresif, Prabowo menampilkan sosok yang lebih tenang dan lebih kalem ketika menjabat sebagai menteri, yang menandakan bahwa ia dapat menjadi seorang negarawan yang cakap. Citra yang lebih lembut ini berkontribusi pada kemenangannya sebagai presiden. Ia juga menunjukkan sisi pragmatis dengan menyeimbangkan kepentingan Jokowi dengan kepentingannya sendiri untuk memastikan transisi kekuasaan yang lancar.
Namun, kesuksesan elektoral tidak mengubah keraguan Prabowo terhadap sistem pemerintahan perwakilan. Bahkan setelah kemenangannya sebagai presiden, ia mengakui bahwa ia merasa proses demokrasi melelahkan, berantakan, dan mahal. Dia telah secara eksplisit menyatakan ketidaksukaannya terhadap oposisi politik, menggambarkannya sebagai fitur demokrasi Barat yang bertentangan dengan kegemaran orang Indonesia akan “kolaborasi”, terlepas dari kenyataan bahwa sebagian besar orang Indonesia berpikir bahwa oposisi sangat penting untuk tata kelola pemerintahan yang baik. Pesan ini disampaikan sekali lagi dalam pidato kepresidenan perdananya, ketika ia mengatakan bahwa ia mendukung demokrasi namun bersikeras bahwa demokrasi harus tetap “santun”.
Rekam jejak Prabowo mencerminkan pandangan-pandangan ini. Pada tahun 2014, Prabowo memimpin koalisi oposisi yang meloloskan undang-undang untuk membatalkan pemilihan langsung bagi para pemimpin daerah–tetapi undang-undang tersebut ditolak oleh presiden yang akan habis masa jabatannya, Susilo Bambang Yudhoyono, yang mengkhawatirkan warisan demokrasinya. Setelah bergabung dengan koalisi Jokowi pada tahun 2019, Partai Gerindra yang dipimpin Prabowo berperan penting menyusun agenda legislatif yang bersifat regresif, termasuk KUHP baru yang berisi hukuman penjara bagi penghinaan terhadap presiden.
Komposisi kabinet baru Prabowo mencerminkan keinginannya untuk mewujudkan demokrasi dengan sedikit oposisi. Dia telah memasukkan delapan dari sembilan partai parlemen ke dalam koalisinya dan memperluas jumlah kementerian dan lembaga pemerintah dari tiga puluh empat menjadi lima puluh tiga, menawarkan sebagian besar partai untuk mendapatkan bagian. Mantan personel polisi dan militer yang berkontribusi pada kemenangannya juga diberi penghargaan yang sama dengan posisi-posisi penting dalam kabinet.
Kabinet yang terlalu besar menimbulkan risiko yang jelas bagi koherensi dan efisiensi pembuatan kebijakan. Mengelola tuntutan-tuntutan yang saling bersaing dari para anggota kabinet yang terpecah belah juga akan menjadi tantangan utama. Hanya satu partai, PDI-P, yang masih berada di luar koalisinya. Namun, Prabowo sangat ingin menarik partai ini dan menyingkirkan semua oposisi di parlemen.
Penunjukan kabinet Prabowo juga menandakan prioritas awalnya. Penunjukan kembali tujuh belas pejabat era Jokowi, termasuk polisi dan kejaksaan agung, menunjukkan bahwa Prabowo ingin menghormati janji-janji yang dibuat kepada presiden yang akan lengser. Namun, ada juga kemungkinan bahwa Prabowo berusaha untuk menjauhkan diri dari para sekutunya dari pendahulunya yang suka ikut campur dengan menjadi pelindung mereka, setidaknya untuk saat ini.
Mempertahankan Menteri Keuangan Sri Mulyani, meskipun berselisih dengannya selama menjabat sebagai menteri pertahanan, tentu saja dimaksudkan untuk menenangkan kekhawatiran para investor internasional. Hal ini sangat penting untuk agenda pemerintahan Prabowo yang ambisius, yang mencakup tingkat pertumbuhan delapan persen, swasembada pangan dan bahan bakar nabati, serta program makan siang gratis untuk anak-anak sekolah.
Penunjukan mantan sekretaris pribadinya, Sugiono, untuk menduduki jabatan menteri luar negeri yang sangat prestisius, yang biasanya diperuntukkan bagi para diplomat profesional, menandakan niat Prabowo untuk memainkan peran langsung dalam mengelola hubungan internasional Indonesia.
Penunjukan kembali Tito Karnavian sebagai menteri dalam negeri yang cukup mengejutkan mengindikasikan bahwa rencana untuk mengurangi pemilihan kepala daerah secara langsung dapat dihidupkan kembali dalam beberapa bentuk. Tito telah berulang kali berkampanye untuk mengakhiri pemilihan wali kota dan gubernur secara langsung di daerah-daerah yang kurang berkembang di Indonesia, dan mempertanyakan kedewasaan demokrasi para pemilih di sana. Di masa lalu, Prabowo telah menyatakan keinginannya untuk kembali ke konstitusi asli Indonesia, yang akan mengakhiri pemilihan presiden secara langsung. Kemenangannya baru-baru ini di jajak pendapat mungkin telah mengubah pikirannya, tetapi minatnya mungkin akan kembali muncul jika peluangnya untuk terpilih kembali di tahun 2029 terlihat meredup.
Sumber Kemunduran dan Ketahanan
Seperti halnya Jokowi, Prabowo juga akan menghadapi kendala seberapa jauh ia dapat memengaruhi lembaga-lembaga negara sesuai keinginannya. Pertama, meskipun pengadilan di Indonesia saat ini jauh lebih lemah dibandingkan sepuluh tahun yang lalu, para hakim yang independen masih dapat membuat keputusan yang demokratis. Beberapa bulan lalu, pengadilan yang sama, yang merekayasa keputusan yang sesuai dengan rencana dinasti Jokowi, tiba-tiba memutuskan untuk menentang presiden dan menolak putra kedua dan bahkan putra Jokowi yang lebih muda untuk mencalonkan diri dalam pemilihan umum daerah.
Tekanan masyarakat sipil juga merupakan pengawasan kritis terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang mengerikan. Era Jokowi menjadi saksi kembalinya protes massa, yang skalanya mirip dengan yang terjadi pada akhir tahun 1990-an, yang mendorong Suharto turun dari kekuasaan. Sebagian besar demonstrasi selama masa jabatan Jokowi dengan cepat ditindas; namun “budaya” politik oposisi dalam masyarakat sipil dan di kampus-kampus tetap ada.
Reputasi otoriter Prabowo dapat memperkuat gerakan-gerakan ini. Namun, kepeduliannya untuk menjaga citra internasionalnya, serta keinginannya untuk memperluas profil global Indonesia, dapat membuat presiden yang akan datang lebih responsif terhadap para pemrotes.
Akhirnya, seperti yang telah dipelajari oleh Jokowi, kepentingan elite yang saling bersaing tetap menjadi benteng untuk melawan personalisasi kekuasaan dan kebangkitan para calon otokrat. Jokowi berharap untuk menghapus batas masa jabatan presiden, seperti yang dilakukan oleh Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan atau Presiden Rusia Vladimir Putin; namun Jokowi terhambat oleh sifat demokrasi multipartai di Indonesia, di mana tidak ada satu partai pun yang mendominasi, dan membangun koalisi adalah hal yang biasa.
Sementara para elite Indonesia yang rapuh menawarkan perlindungan terhadap perebutan kekuasaan secara personal, bentuk-bentuk penyimpangan demokrasi lainnya telah dan akan terus mendapat dukungan yang signifikan dari partai-partai di parlemen. Demokrasi Indonesia lahir di tengah krisis ekonomi yang menghancurkan dan keresahan sosial yang meluas. Dengan keberlangsungan hidup negara yang terancam, para elite politik pada saat itu membuat konsesi demokratis yang besar. Ironisnya, keberhasilan langkah-langkah ini dan stabilitas selama dua dekade yang terjadi setelahnya membuat para demokrat yang enggan ini untuk mempertimbangkan bahwa mereka tidak perlu melangkah terlalu jauh. Beberapa reformasi demokratis sedang dalam proses di parlemen baru, termasuk rancangan undang-undang yang membatasi kebebasan media, perluasan peran militer, peningkatan kekuasaan polisi, dan restrukturisasi peradilan.
Catatan Prabowo menunjukkan bahwa dia, mungkin lebih dari politikus lainnya, menganut pandangan untuk mengendalikan demokrasi kembali ke batas-batas yang dapat diterima. Kemampuannya menemukan titik temu dengan para elite di parlemen mungkin merupakan kabar baik bagi pemerintahannya, namun merupakan kabar buruk bagi masa depan demokrasi Indonesia.
Catatan: Naskah ini ditulis bareng Eve Warburton, peneliti Coral Bell School of Asia Pacific Affairs di Australian National University. Klik naskah orisinil di sini: https://carnegieendowment.org/research/2024/10/prabowos-indonesia-inheriting-democracy-at-dusk?lang=en
Bacaan terkait
Analisis Margaret Scott: Demokrasi Dikorupsi
Analisis Nadirsyah Hosen: Kabinet Prabowo yang Gemuk dan Akomodatif
Analisis Denny JA: Skenario Terbaik Indonesia dari Presiden Prabowo
Analisis Denny JA: Jokowi dan Prabowo: Hubungan Unik dalam Politik Indonesia
Analisis Yanuar Nugroho: Tentang Kabinet Merah Putih nan Jumbo
Ulasan Pembaca 1