Tragedi yang Membuka Mata
Beberapa waktu lalu dunia dikejutkan lantaran pembunuhan CEO UnitedHealthcare, Brian Thompson. Kejadian pada pagi hari tanggal 4 Desember 2024 di New York City itu bukan hanya tragis, tetapi juga menciptakan gelombang perdebatan yang tak terduga di media sosial, dan disusul menjadi topik diskusi panel di berbagai media massa. Banyak komentar di dunia maya tampak tidak fokus pada hilangnya nyawa seorang manusia atau mengutuk pelaku pembunuhan, tetapi justru malah membela Luigi Mangione, yang dituduh sebagai sang pembunuh.
Fenomena ini membuka ruang diskusi yang lebih luas tentang praktik bisnis di industri asuransi kesehatan, terutama di Amerika Serikat, dan bagaimana kegagalan dalam memenuhi kebutuhan dasar masyarakat bisa memicu frustrasi yang begitu mendalam. Sebagai pendukung gerakan tanggung jawab sosial perusahaan sejak tiga dekade lalu, saya merasa perlu memberikan pandangan atas kejadian ini dan apa yang bisa kita pelajari darinya.
Reaksi di media sosial yang cenderung mendukung pelaku, meski tentu saja tidak bisa dibenarkan, memberikan cerminan atas sentimen publik terhadap industri asuransi kesehatan di Amerika Serikat. Banyak orang merasa bahwa perusahaan asuransi besar, termasuk UnitedHealthcare Group, induk dari UnitedHealthcare, telah menjadi simbol keserakahan dan ketidakpedulian terhadap kebutuhan masyarakat. Di tahun 2023, UnitedHealthcare Group mendapatkan pemasukan US$324 miliar alias mendekati Rp5.190 triliun. Keuntungan yang dihasilkannya adalah US$22 miliar atau Rp352,5 triliun. UnitedHealthcare menjadi perhatian banyak pihak sejak lama lantaran secara ia menolak 32% klaim di tahun 2023. Sementara rerata di AS adalah 16%, atau separuh dari penolakan oleh perusahaan itu.
Banyak komentar bahkan menyebut bahwa pelaku hanya bertindak atas rasa frustrasi yang bertahun-tahun terpendam akibat ketidakadilan dalam sistem asuransi kesehatan. Dan, rasa frustrasi itu tidak menghinggapi hanya sedikit orang, karena konon ratusan ribu orang setiap tahunnya menjadi bangkrut atau mendekati kebangkrutan lantaran sakit dan tidak mendapatkan tanggungan yang seharusnya mereka peroleh. Saya tidak mendukung kekerasan dalam bentuk apa pun, tetapi agaknya penting untuk memahami akar permasalahan ini dan mengambil pelajaran darinya.
Mangione yang dituduh sebagai pembunuh sang CEO sendiri sudah diketahui mengeluarkan pernyataan tertulis, yang akhirnya bisa dibaca publik atas kerja investigatif dari jurnalis Ken Klippenstein. Manifesto tersebut nadanya jauh lebih terkendali dibandingkan pernyataan palsu yang banyak beredar di beragam media sosial sebelumnya. Buat Mangione, masa untuk memberikan penyadaran sudah lewat, lantaran perubahan ternyata tak terjadi karena permainan kekuasaan.
“To the Feds, I’ll keep this short, because I do respect what you do for our country. To save you a lengthy investigation, I state plainly that I wasn’t working with anyone. This was fairly trivial: some elementary social engineering, basic CAD, a lot of patience. The spiral notebook, if present, has some straggling notes and To Do lists that illuminate the gist of it. My tech is pretty locked down because I work in engineering so probably not much info there. I do apologize for any strife of traumas but it had to be done. Frankly, these parasites simply had it coming. A reminder: the US has the #1 most expensive healthcare system in the world, yet we rank roughly #42 in life expectancy. United is the [indecipherable] largest company in the US by market cap, behind only Apple, Google, Walmart. It has grown and grown, but as our life expectancy? No the reality is, these [indecipherable] have simply gotten too powerful, and they continue to abuse our country for immense profit because the American public has allwed them to get away with it. Obviously the problem is more complex, but I do not have space, and frankly I do not pretend to be the most qualified person to lay out the full argument. But many have illuminated the corruption and greed (e.g.: Rosenthal, Moore), decades ago and the problems simply remain. It is not an issue of awareness at this point, but clearly power games at play. Evidently I am the first to face it with such brutal honesty.”
Kebencian yang Bisa Dipahami
Industri asuransi kesehatan di Amerika Serikat telah lama menjadi sorotan karena praktik yang dianggap tidak etis dan memberatkan masyarakat. Sebagai negara maju, Amerika Serikat memiliki biaya kesehatan yang sangat tinggi, tetapi akses terhadap layanan kesehatan yang layak masih menjadi tantangan besar. Di bawah sistem ini, perusahaan asuransi berperan sebagai perantara yang menentukan apakah seseorang bisa mendapatkan perawatan medis yang mereka butuhkan. Sayangnya, fokus perusahaan sering kali lebih kepada keuntungan finansial daripada pelayanan. Itu adalah pesan yang bisa jelas dibaca dari buku terkenal—dan semakin terkenal setelah peristiwa ini—Delay Deny Defend: Why Insurance Companies don’t Pay Claims and What You Can Do about, karya pakar asuransi dari Universitas Rutger, Profesor Jay Feinman, di tahun 2010 lampau.
Praktik delay atau menunda pembayaran klaim sudah membuat jantung pasien dan keluarganya berdegup lebih kencang, atau mungkin melemah. Tetapi deny atau lebih tegasnya, denial of care—penolakan klaim atas alasan teknis atau administratif—jelas membuat banyak pasien dan keluarganya menjadi terpojok. Banyak pasien mengeluhkan bahwa klaim mereka ditolak untuk layanan yang bahkan direkomendasikan oleh dokter mereka sendiri. Dan karenanya, banyak dokter yang juga bersuara keras terhadap industri asuransi kesehatan di AS.
Banyak laporan tentang perusahaan asuransi yang dengan sengaja memperumit proses klaim, sehingga pasien akhirnya menyerah dan membayar sendiri biaya yang sangat mahal. Bagi individu dengan kondisi medis kronis, situasi ini menjadi lebih buruk, karena mereka kerap merasa diperlakukan sebagai beban finansial oleh sistem yang seharusnya membantu mereka. Sementara, maut mungkin ada di hadapan mereka, dan tak ada jalan lain yang bisa ditempuh selain membayar biaya yang kerap memberatkan. Ketika pasien, keluarganya, atau organisasi pembela keadilan kesehatan menuntut perusahaan, perusahaan-perusahaan itu melakukan defend dengan mengerahkan para pengacara korporat yang mahal dan berkoneksi luas, sampai-sampai para penuntut merasa lebih baik tidak meneruskan tuntutan.
Buku itu menjadi kembali banyak dibeli lantaran selongsong peluru yang ditemukan di tempat kejadian perkara mengingatkan orang pada judulnya. Tiga selongsong itu bertuliskan masing-masing: Delay, Deny, Depose. Alih-alih Defend, yang ditulis di situ adalah depose, atau praktik menyingkirkan klaim sama sekali, atau bahkan menyingkirkan pekerja industri yang tak bersedia mematuhi perintah penyingkiran itu. Jadi, ini adalah tindakan aktif yang dilakukan oleh perusahaan asuransi agar tuntutan tidak berulang, tanpa menunggu adanya tuntutan hukum. Beberapa whistleblower dari industri asuransi telah tampil di berbagai berita dan membenarkan adanya praktik tersebut.
Praktik lain yang sering dikritik adalah premi yang terus meningkat tanpa diimbangi dengan kualitas layanan. Kenaikan biaya premi ini semakin memberatkan masyarakat kelas menengah dan bawah, sementara mereka yang tidak mampu membayar premi sering tidak memiliki akses sama sekali ke asuransi kesehatan. Akibatnya, mereka terjebak dalam lingkaran utang medis yang menghancurkan stabilitas finansial keluarga. Ini semua dijelaskan di antaranya dalam film dokumenter Sicko karya Michael Moore, yang namanya disebut dalam manifesto Mangione. Yang sangat menarik, Moore kemudian mengeluarkan pernyataan setelah banyak pihak menuntutnya bersuara. Pernyataannya diberi judul: A Manifesto Against For-Profit Health Insurance Companies—by Michael Moore. Di situ bisa dibaca:
“It’s not often that my work gets a killer five-star review from an actual killer. And thus, my phone has been ringing off the hook which is bad news because my phone doesn’t have a hook. Emails are pouring in. Text messages. Requests from many in the media. The messages all sound something like this:
“Luigi mentioned you in his manifesto. That people should listen to you. Will you come on our show, or talk to our reporter and tell them that you condemn murder!?”
Hmmm. Do I condemn murder? That’s an odd question. In Fahrenheit 9/11, I condemned the murder of hundreds of thousands of innocent Iraqi people and the senseless murder of our own American soldiers at the hands of our American government. In Bowling for Columbine, I condemned the murder of 50,000 Americans every year at the hands of our gun industry and our politicians who do nothing to stop it.
….
And now the press is calling me to ask, “Why are people angry, Mike? Do you condemn murder, Mike?”
Yes, I condemn murder, and that’s why I condemn America’s broken, vile, rapacious, bloodthirsty, unethical, immoral health care industry and I condemn every one of the CEOs who are in charge of it and I condemn every politician who takes their money and keeps this system going instead of tearing it up, ripping it apart, and throwing it all away. We need to replace this system with something sane, something caring and loving — something that keeps people alive.”
Dari sudut pandang Kapitalisme tradisional, mungkin mereka akan berargumen bahwa praktik ini diperlukan untuk menjaga keberlangsungan bisnis. Namun, pendekatan seperti ini jelas tidak sejalan dengan prinsip tanggung jawab sosial perusahaan dan keberlanjutan bisnis modern yang menekankan pentingnya keseimbangan antara keuntungan dan dampak positif terhadap masyarakat. Pada pendekatan Kapitalisme Pemangku Kepentingan (Stakeholder Capitalism), perusahaan mendapatkan keuntungan untuk pemegang sahamnya bukan dengan merugikan pemangku kepentingan lainnya, melainkan dengan membawa beragam manfaat buat mereka. Sebagai penasihat dalam keberlanjutan perusahaan, saya selalu percaya bahwa perusahaan memiliki tanggung jawab untuk melayani kebutuhan dasar masyarakat, terutama ketika mereka beroperasi di sektor yang menyangkut nyawa manusia.
Tugas Memperbaiki Bisnis
Tragedi pembunuhan ini, dan reaksi publik yang mengikutinya, memberikan pelajaran penting bagi industri asuransi kesehatan, bukan hanya di Amerika Serikat tetapi juga di seluruh dunia. Pelajaran pentingnya, sampai batas-batas tertentu, juga bisa diambil oleh perusahaan-perusahaan di industri lainnya. Perusahaan asuransi secara khusus, dan perusahaan lainnya secara umum, memang harus segera berbenah, melakukan perubahan mendasar jika ingin memulihkan kepercayaan masyarakat dan menghindari potensi krisis sosial yang lebih besar di masa depan. Berikut adalah beberapa rekomendasi yang saya percaya bisa membantu:
Pertama, transparansi harus menjadi pilar utama dalam operasional perusahaan asuransi. Proses klaim, penetapan premi, dan keputusan untuk menyetujui atau menolak layanan harus jelas dan mudah dipahami oleh masyarakat sejak awal. Dengan keterbukaan ini, perusahaan dapat membangun hubungan yang lebih baik dengan pelanggan mereka.
Kedua, perusahaan harus mengadopsi pendekatan berbasis manfaat untuk pasien, bukan hanya memperhatikan angka keuntungan. Ini berarti bahwa kebutuhan kesehatan pasien harus menjadi prioritas, dan setiap keputusan bisnis harus didasarkan pada dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat. Ini sepantasnya menjadi pernyataan purpose dari perusahaan asuransi kesehatan, dan benar-benar ditegakkan dalam praktik. Misalnya, mempercepat proses klaim atau memberikan dukungan finansial kepada pasien yang benar-benar membutuhkan.
Ketiga, regulasi pemerintah harus diperkuat untuk mengawasi industri ini. Regulasi ini tidak hanya harus memastikan bahwa perusahaan asuransi mematuhi standar hukum dan etika secara umum, tetapi juga memberikan insentif bagi perusahaan yang menunjukkan komitmen nyata terhadap keberlanjutan sosial.
Keempat, penting untuk meningkatkan literasi keuangan sekaligus literasi kesehatan masyarakat. Banyak orang tidak sepenuhnya memahami cara kerja asuransi kesehatan, sehingga mereka sering kali merasa terjebak dalam sistem yang kompleks dan tidak berpihak pada mereka. Banyak di antara mereka merasa membayar dengan tertib setiap bulan kemudian merasa tertipu ketika mendapati klaimnya ditolak. Untuk menghindari kejadian dan persepsi seperti ini, perusahaan asuransi dan pemerintah harus bekerja sama untuk memberikan edukasi yang jelas dan mudah diakses.
Akhirnya, bagi industri lain, tragedi ini harus menjadi peringatan bahwa kelalaian dalam memenuhi kebutuhan dan harapan masyarakat dapat berujung pada konsekuensi yang serius. Dunia bisnis, terutama di era modern ini, tidak dapat lagi mengabaikan tanggung jawab sosial mereka. Reputasi perusahaan benar-benar perlu dibedakan dengan pencitraan jangka pendek, karena sesungguhnya jauh lebih terkait dengan bagaimana mereka dipandang sebagai bagian dari solusi untuk masalah sosial yang ada. Perusahaan yang menjadi bagian dari masalah akan mengalami kemerosotan bahkan kehilangan reputasi, sementara yang menjadi bagian dari solusi akan bisa mendapatkan dukungan dari seluruh pemangku kepentingannya.
Saya berharap tragedi ini, meski sangat menyakitkan, dapat menjadi pemicu perubahan yang lebih baik, baik di industri asuransi kesehatan maupun di sektor lainnya. Sebagai bagian dari masyarakat global, kita tidak bisa lagi menerima praktik bisnis yang mengorbankan kebutuhan dasar manusia demi keuntungan. Dengan arah dan kecepatan perubahan yang tepat, saya percaya kita bisa menciptakan sistem yang lebih adil dan manusiawi, di mana pertumbuhan bisnis benar-benar sejalan dengan dampak bersih positif yang mereka berikan bagi dunia. Membunuh CEO itu (mungkin) gampang, tapi yang kita benar-benar butuhkan adalah memperbaiki bisnis. Dan ini adalah tugas yang jauh lebih kompleks.
Bacaan terkait
Perusahaan, Bertanggungjawablah atas Seluruh Dampakmu
Menyedekahkan Harta, Mendinginkan Langit
Menjadi Pemimpin, Menjadi Kekuatan untuk Kebaikan