Rabu, 17 September 2025
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
Jakarta Book Review (JBR)
  • Beranda
  • Resensi
  • Berita
  • Pegiat
  • Ringkasan
  • Kirim Resensi
  • Beranda
  • Resensi
  • Berita
  • Pegiat
  • Ringkasan
  • Kirim Resensi
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
Jakarta Book Review (JBR)

Mengupayakan Keadilan di Bumi [Timbangan atas Buku “Just Earth” Tony Juniper ]

Social justice and environmental sustainability are indeed two sides of the same precious coin. Begitu kata Jonathon Porritt tentang buku ini.

Oleh Jalal
23 April 2025
di Resensi
A A

Membaca Juniper di Hari Bumi 2025

Krisis ekologi yang kita hadapi saat ini sesungguhnya bukanlah masalah lingkungan semata, melainkan juga refleksi atas ketidakadilan sosial dan ekonomi global. Tony Juniper—mantan petinggi Friends of the Earth International—dalam buku terbarunya, Just Earth: How a Fairer World Will Save the Planet, menegaskan bahwa kondisi tak ideal yang sekarang sedang kita hadapi sebagian besar disebabkan oleh ketidakmampuan kita menyelaraskan kebutuhan delapan miliar manusia dengan kapasitas planet yang terbatas.

Pemanasan global, kepunahan massal spesies, deforestasi, serta polusi plastik adalah beberapa manifestasi nyata dari tekanan yang terus meningkat terhadap Bumi.  Karenanya, kita berada di ambang krisis multidimensi yang solusi parsialnya tidak lagi memadai. Kesadaran akan urgensi ini harus menjadi prioritas bersama karena pilihan yang kita buat hari ini akan menentukan nasib umat manusia selama ratusan atau bahkan ribuan tahun mendatang.

Transformasi sistemik menuju sistem energi terbarukan, ekonomi sirkular, dan regenerasi alam adalah keniscayaan bila umat manusia ingin selamat—demikian keyakinan para pakar. Namun, tantangan terbesar datang dari fakta bahwa sistem ekonomi dan politik saat ini sesungguhnya dirancang untuk mendukung pertumbuhan tanpa batas, yang jelas mengabaikan konsekuensi jangka panjangnya.

Di dalam Just Earth, Juniper menggambarkan industri fast fashion telah menciptakan gunungan limbah yang tersebar di berbagai negara berkembang, seperti Chile dan Ghana. Di Atacama Desert, Chile, citra satelit menunjukkan area seluas beberapa kilometer persegi yang tertutup gunungan pakaian bekas yang diimpor dari negara maju. Ini tidak hanya mencerminkan besaran masalah konsumsi berlebihan tetapi juga dampak ekologis yang merusak bagi komunitas lokal. Dalam konteks ini, penting bagi kita untuk memahami bahwa setiap produk yang kita beli sesungguhnya memiliki jejak ekologis yang melampaui batas geografis.

BACA JUGA:

Slow Productivity, Cara Baru Menikmati Pekerjaan

Autocracy Inc: Buku yang Menggambarkan Rusaknya Demokrasi

Bullshit Jobs: Sebuah Buku untuk Mengenal Pekerjaan yang Sia-Sia

Menemukan Alasan Hidup dari Buku “Semoga Kamu Bisa Tersenyum Hari ini”

Juniper juga menyoroti bagaimana krisis iklim semakin memperburuk ketidaksetaraan global. Negara-negara berkembang, yang jelas-jelas berkontribusi lebih sedikit terhadap emisi karbon, sering kali menjadi korban utama dari dampak perubahan iklim. Maldives, sebuah negara kepulauan kecil yang hanya memiliki luas daratan sekitar 298 kilometer persegi, sangat rentan terhadap kenaikan permukaan laut. Dengan populasi hanya sekitar 557.000 jiwa yang tersebar di 200 pulau berpenghuni, Maldives yang emisinya sangatlah kecil menghadapi ancaman eksistensial jika suhu global naik lebih dari 1,5 derajat Celsius. Jelas, solusi untuk masalah ini tidak hanya bergantung pada mitigasi teknis tetapi juga pada solidaritas global untuk mendukung negara-negara yang paling terdampak.

Dalam konteks tersebut, batas-batas planetari (planetary boundaries) bukan hanya angka abstrak, tetapi adalah parameter yang harus kita hormati demi kelangsungan hidup umat manusia. Konsep keadilan planetari yang diangkat Juniper menekankan bahwa keberlanjutan mustahil dicapai tanpa memperbaiki kondisi ketimpangan sosial. Buku baru ini mengajak kita semua untuk melihat Bumi sebagai satu kesatuan yang saling terhubung, di mana tindakan individu maupun kolektif memiliki dampak langsung terhadap ekosistem global. Dengan pendekatan keadilan planetari, Juniper menawarkan kepada kita semua bagaimana membangun dunia yang lebih adil dan berkelanjutan.

Hari Bumi 2025 yang jatuh pada 22 April kemarin adalah momentum yang tepat untuk melakukan refleksi mendalam atas apa yang telah terjadi, dan memutuskan langkah konkret yang perlu dilakukan untuk keselamatan kita semua. Karena itulah saya memutuskan untuk menyelesaikan membaca buku Juniper ini, lalu menuliskan kesan saya atasnya. Dalam satu dekade terakhir, kita telah menyaksikan dampak nyata kenaikan suhu global, hilangnya keanekaragaman hayati, dan ketidaksetaraan yang semakin lebar akibat eksploitasi sumber daya alam. Hari Bumi seharusnya menjadi peluang kolektif untuk mulai mengambil tindakan nyata, baik dalam kebijakan publik, strategi korporasi, maupun tindakan individu yang membawa kepada keselamatan bersama.  Disiplin eksekusinya menuntut kita semua agar memerlakukan setiap hari sebagai Hari Bumi.

Ketimpangan Sosial dan Keruntuhan Ekologis

Kalau harus meringkas isi buku ini dalam beberapa kalimat saja, mungkin hasilny adalah: “Kita sedang berada di persimpangan jalan yang benar-benar genting. Di satu sisi, kemajuan teknologi dan ekonomi telah membawa kemakmuran yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi sebagian umat manusia. Di sisi lain, kemajuan yang sama telah mendorong Bumi kita ke ambang bencana ekologis. Suhu Bumi memanas, keanekaragaman hayati merosot tajam, polusi mencekik daratan dan lautan kita, dan sumber daya alam terkuras dengan kecepatan yang mengkhawatirkan.

Selama beberapa dekade, kita telah diperingatkan tentang tabrakan yang akan datang antara tuntutan manusia yang terus meningkat dan kapasitas terbatas sistem kehidupan Bumi. Namun, kita sering kali gagal memahami inti permasalahan yang sebenarnya karena ini bukan sekadar masalah lingkungan, melainkan masalah keadilan sosial yang mendalam.

Juniper berargumen dengan kuat bahwa krisis lingkungan tidak dapat dipisahkan dari ketimpangan sosial yang merajalela di dunia kita. Upaya untuk mengatasi perubahan iklim atau hilangnya keanekaragaman hayati secara terpisah, tanpa secara bersamaan menangani kesenjangan kekayaan, kekuasaan, dan peluang, pada akhirnya akan gagal. Mengapa? Karena ketidaksetaraan itu sendiri adalah penghalang utama kemajuan lingkungan.  Dengan cermat Juniper membedah bagaimana berbagai bentuk ketidaksetaraan—ekonomi, ras, gender, generasi, dan akses terhadap sumber daya—secara sistematis memperburuk kerusakan lingkungan, selain menghambat solusi yang efektif.

Pertama, dampak kerusakan lingkungan tidak dirasakan secara merata. Komunitas berpenghasilan rendah, masyarakat adat, kelompok minoritas, dan perempuan sering kali menanggung beban terberat dari polusi, perubahan iklim, dan hilangnya akses ke ruang terbuka hijau yang sehat. Mereka cenderung tinggal di wilayah berpolusi tinggi, di daerah bencana iklim seperti banjir dan kekeringan, dan di tempat dengan sedikit taman atau kawasan alami untuk dinikmati. Ironisnya, kelompok-kelompok yang paling rentan ini sering kali adalah yang paling sedikit kontribusinya terhadap masalah lingkungan.

Kedua, ketidaksetaraan konsumsi sangat mencolok. Segelintir orang terkaya di dunia—yaitu 1% teratas—bertanggung jawab atas emisi karbon dua kali lipat lebih banyak dibandingkan gabungan 50% termiskin umat manusia. Rata-rata warga negara di negara kaya mengonsumsi sumber daya alam berkali-kali lipat lebih banyak daripada warga negara di negara miskin.

Pola konsumsi yang tidak berkelanjutan ini, yang didorong oleh model ekonomi yang terobsesi dengan pertumbuhan GDP tanpa batas, menghabiskan sumber daya Bumi kita yang terbatas.  Jelas, tidak ada cukup sumber daya Bumi bagi delapan miliar orang kalau mereka hidup dengan gaya hidup konsumtif tinggi yang dinikmati oleh minoritas orang kaya. Bahkan, sekarang pun konsumsi telah mencapai 1,75 kali yang bisa disediakan Bumi secara berkelanjutan.

Ketiga, ketidaksetaraan memicu konsumsi yang lebih tinggi melalui apa yang disebut sebagai kecemasan status. Dalam masyarakat yang lebih timpang, orang lebih cenderung merasa perlu untuk tampil bersaing dengan membeli barang-barang mewah dan simbol status lainnya untuk menunjukkan posisi sosial mereka. Siklus konsumsi yang didorong oleh kecemasan ini tidak hanya boros sumber daya, tetapi juga merongrong kohesi sosial di antara warga masyarakat, dan menggerus kesejahteraan psikologis. Mental menjadi lelah karena persaingan menonjolkan status.

Keempat, ketidaksetaraan secara aktif menghambat kebijakan lingkungan yang efektif. Berulang kali, proposal untuk mengurangi polusi atau melindungi alam dilemahkan atau dibatalkan atas nama melindungi kelompok berpenghasilan rendah dari potensi kenaikan biaya. Narasi pilihan palsu antara lingkungan dan ekonomi ini sering kali dimanfaatkan oleh kepentingan oligarkh dan politisi populis untuk memecah belah masyarakat dan mempertahankan status quo yang tidak berkelanjutan. Selain itu, negosiasi global sering kali macet karena kesenjangan antara negara-negara kaya—yang secara historis menyebabkan sebagian besar masalah—dan negara-negara miskin yang menuntut keadilan dan dukungan finansial untuk transisi.

Kelima, ketidaksetaraan kekuasaan berarti bahwa suara-suara mereka yang paling terkena dampak—masyarakat adat yang melindungi hutan mereka, komunitas yang tinggal di sebelah kilang minyak, atau generasi muda yang akan mewarisi planet yang sangat terdegradasi—sering kali tidak didengar dalam pengambilan keputusan.

Solusi Menurut Juniper

Walaupun analisis yang dilakukan di awal bukunya sangat bermanfaat, Juniper tidak menghabiskan lembar-lembar bukunya hanya mendiagnosa masalah. Dia menawarkan peta jalan menuju masa depan yang lebih baik—sebuah transisi yang adil yang intinya adalah pengakuan bahwa keadilan dan keberlanjutan bukanlah tujuan yang terpisah, melainkan dua sisi dari mata uang yang sama. Kita tidak bisa memiliki yang satu tanpa yang lain. Agenda transisi yang adil ini, seperti yang digariskan dalam buku ini, melibatkan perubahan sistemik di berbagai tingkatan.

Fundamental bagi transisi ini adalah pergeseran dalam cara kita mengukur kemajuan. Kita perlu melampaui obsesi terhadap GDP, yang hanya mengukur aktivitas ekonomi tanpa memperhitungkan kerusakan lingkungan atau distribusi pendapatan. Berbagai indikator alternatif seperti Genuine Progress Index (GPI) atau Happy Planet Index (HPI), yang menggabungkan kesejahteraan manusia, kesehatan ekologis, dan kesetaraan, harus diadopsi untuk memandu kebijakan menuju tujuan yang benar-benar mencerminkan kemajuan masyarakat. Ekonomi harus bertujuan untuk memungkinkan semua orang hidup memuaskan, dalam batas-batas lingkungan, bukan sekadar tumbuh tanpa henti.

Peran bisnis juga harus bertransformasi. Perusahaan perlu bergerak melampaui tujuan tunggal memaksimalkan keuntungan bagi pemegang saham dan merangkul tujuan yang lebih luas untuk menciptakan nilai atau manfaat sosial dan lingkungan jangka panjang. Bisnis berbasis tujuan mulian ini mengintegrasikan keberlanjutan ke dalam strategi inti, memastikan bahwa profitabilitas menjadi sarana untuk mencapai dampak positif, bukan menjadi tujuan itu sendiri. Tata kelola perusahaan harus mencerminkan hal ini, termasuk dengan membatasi kesenjangan gaji eksekutif atau memasukkan suara pemangku kepentingan yang lebih luas, seperti perwakilan generasi muda atau masyarakat adat, ke dalam pengambilan keputusan di ruang-ruang dewan direksi.

Tentu transisi ini membutuhkan investasi finansial yang luar biasa besar, dan karenanya sistem keuangan harus disesuaikan. Investasi perlu dialihkan secara masif dari industri ekstraktif dan polutif ke dalam solusi terbarukan, regeneratif, dan sirkular. Bank, dana pensiun, dan perusahaan asuransi memiliki peran penting dalam mendorong perubahan ini, tidak hanya melalui keputusan investasi mereka tetapi juga dengan menggunakan pengaruh mereka untuk menuntut kebijakan pemerintah yang mendukung keberlanjutan. Mengingat risiko sistemik yang ditimbulkan oleh perubahan iklim dan kerusakan lingkungan terhadap stabilitas keuangan itu sendiri, keuangan berkelanjutan jelas bukan hanya masalah etika, tetapi terutama adalah kehati-hatian finansial dan bisnis.

Untuk mendanai investasi publik yang diperlukan dalam infrastruktur hijau, layanan sosial, dan dukungan bagi komunitas yang terkena dampak transisi, reformasi pajak yang progresif sangatlah penting. Ini termasuk mengenakan pajak yang lebih adil atas kekayaan dan pendapatan dari modal, bukan hanya pendapatan dari upah yang selama ini menjadi bentuk utama pajak. Menutup celah pajak yang memungkinkan penghindaran dan penggelapan pajak oleh individu dan perusahaan kaya juga dapat menghasilkan pendapatan luar biasa besar bagi negara.

Selain itu, insentif pajak untuk tabungan, seperti rekening pensiun, dapat ditargetkan ulang untuk menyalurkan modal swasta ke dalam investasi hijau dan berkelanjutan. Kekhawatiran bahwa pajak yang lebih tinggi terhadap orang kaya akan menyebabkan pelarian modal sering kali dibesar-besarkan, karena menurut Junipe stabilitas sosial dan kualitas hidup juga merupakan faktor penting dalam keputusan lokasi di mana modal diinvestasikan.

Pada saat yang sama, subsidi yang saat ini mendukung praktik-praktik berbahaya harus dialihkan. Subsidi bahan bakar fosil global, misalnya, mencapai triliunan dolar setiap tahunnya dan menghasilkan polusi dan perubahan iklim. Mengakhiri subsidi ini dan menerapkan polluter pays principle melalui pajak karbon atau mekanisme serupa dapat menghasilkan pendapatan sekaligus mendorong inovasi bersih. Pendapatan ini dapat digunakan untuk mendanai solusi iklim, mendukung rumah tangga berpenghasilan rendah, atau berkontribusi pada dana loss and damage iklim internasional. Demikian pula, subsidi pertanian harus dialihkan dari model industri intensif ke praktik regeneratif yang mendukung kesehatan tanah, keanekaragaman hayati, dan ketahanan pangan.

Transisi industri yang tak terhindarkan—seperti pergeseran dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan atau dari pertanian intensif ke praktik regeneratif—harus dikelola secara adil untuk memastikan bahwa pekerja dan komunitas tidak tertinggal. Rencana transisi sektoral yang komprehensif diperlukan, termasuk investasi dalam pelatihan ulang, pengembangan keterampilan hijau, dukungan pendapatan, dan penciptaan lapangan kerja berkualitas di ekonomi baru. Tanpa dukungan semacam itu, resistensi terhadap perubahan yang diperlukan bakal terus berlanjut, memperlambat kemajuan.

Mendorong pola konsumsi yang lebih berkelanjutan juga memerlukan intervensi kebijakan. Struktur harga yang adil, seperti tarif berjenjang untuk utilitas penting seperti air dan energi, dapat memberi penghargaan pada penggunaan yang hemat sambil mencegah konsumsi berlebihan. Ini harus dilengkapi dengan dukungan untuk efisiensi energi dan air bagi rumah tangga berpenghasilan rendah. Pajak atas barang-barang mewah yang sangat boros atau polutif, seperti jet pribadi atau beragam barang sekali pakai, dapat dipertimbangkan untuk mengekang konsumsi yang paling berlebihan dan menghasilkan pendapatan untuk tujuan sosial dan lingkungan.

Seperti ditegaskan di awal buku ini, yang mendasari banyak masalah adalah ketidakseimbangan kekuasaan yang memungkinkan kerusakan lingkungan terus berlanjut. Menegakkan hak asasi manusia universal atas lingkungan yang bersih dan sehat, seperti yang diakui oleh Majelis Umum PBB, sangatlah penting. Ini berarti memberdayakan komunitas yang terkena dampak, masyarakat adat, dan kelompok-kelompok yang terpinggirkan untuk menuntut keadilan, baik melalui pengadilan, partisipasi politik, maupun protes damai. Hak untuk protes itu sendiri harus dilindungi, bukan dibatasi. Dan protes-protes yang terbukti memiliki dasar yang kuat harus didukung dan ditindaklanjuti dengan penyelesaian yang hakiki.

Kepentingan generasi mendatang juga harus secara eksplisit dilindungi dalam hukum dan pengambilan keputusan. Kerangka hukum seperti undang-undang yang melindungi kesejahteraan generasi mendatang yang diperkenalkan di Wales memberikan contoh bagaimana pemerintah sesungguhnya dapat diwajibkan untuk mempertimbangkan dampak jangka panjang dari tindakan mereka.

Terakhir, mengatasi tantangan kompleks ini membutuhkan pendekatan kebijakan yang terintegrasi dan pemikiran sistem. Masalah lingkungan, sosial, dan ekonomi sesungguhnya saling terkait erat. Dan Juniper menunjukkan bahwa solusi yang mencari sinergi, daripada trade-off—misalnya, program ruang hijau perkotaan yang meningkatkan kesehatan, keanekaragaman hayati, dan kohesi sosial sekaligus—cenderung paling efektif dan berkelanjutan, walaupun perumusannya bukanlah yang paling mudah.

Menimbang Just Earth

Pesan utama buku ini adalah panggilan mendesak untuk melihat krisis kita dengan kacamata baru. Ini bukan hanya tentang menyelamatkan burung atau pohon; ini tentang menyelamatkan diri kita sendiri dengan membangun masyarakat yang lebih adil dan setara. Tantangannya sangat besar, setara dengan mobilisasi masa perang. Namun, tidak seperti perang yang menghancurkan kehidupan, transisi ini menawarkan peluang luar biasa untuk masa depan yang lebih sehat, lebih tangguh, dan lebih memuaskan bagi semua orang.

Jalan ke depan membutuhkan perubahan tidak hanya dalam kebijakan, tetapi juga dalam pola pikir kita—dalam ekonomi, politik, budaya, dan bahkan filosofi kita. Kita perlu bergerak melampaui model pertumbuhan yang ketinggalan zaman dan merangkul apa yang oleh Juniper, di penghujung bukunya, disebut sebagai Thrivalism—sebuah visi di mana manusia dan alam berkembang bersama. Ini membutuhkan tindakan di semua tingkatan, dari individu yang membuat pilihan konsumsi yang sadar hingga perusahaan yang mengadopsi tujuan sosial; dan dari pemerintah yang menerapkan kebijakan yang adil hingga gerakan global yang menuntut perubahan sistemik.

“Just Earth powerfully reminds us that social justice and environmental sustainability are indeed two sides of the same precious coin.” Demikian pernyataan Jonathon Porritt, salah satu pemikir isu-isu keberlanjutan paling handal, ketika mengomentari buku ini. Buat saya, itu adalah alasan terpenting mengapa buku ini memang layak dibaca oleh semua orang. Salah satu kekuatan utama buku ini adalah narasi yang mudah dipahami namun tetap berbasis data. Juniper berhasil menyajikan kompleksitas isu global seperti perubahan iklim, ketimpangan sosial, dan kepunahan massal ke dalam bahasa yang dapat diakses oleh pembaca awam.

Namun, saya juga menemukan beberapa ruang untuk perbaikan. Pertama, meski Juniper menawarkan banyak solusi praktis, beberapa di antaranya tampak kurang detail dalam hal implementasi. Ide transisi ke ekonomi sirkularnya masih memerlukan penjelasan lebih lanjut tentang mekanisme kebijakan dan regulasi yang diperlukan untuk mendukungnya. Akan lebih baik lagi bila detail itu juga bisa berlaku di negara-negara berkembang.

Kedua, saya juga merasa masih kurangnya penekanan pada peran teknologi dalam mitigasi krisis ekologi. Meskipun Juniper menyinggung inovasi hijau, diskusi tentang potensi teknologi seperti sistem energi terbarukan yang paling mutakhir masih terbatas. Topik ini penting karena teknologi dapat menjadi alat penting dalam mencapai tujuan keberlanjutan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Namun, secara keseluruhan, ruang perbaikan itu tidak mengurangi nilai buku ini sebagai referensi penting dalam diskusi tentang keadilan lingkungan, sosial, dan ekonomi. Saya sepenuhnya setuju dengan analisis dan solusi yang ditawarkan Juniper, walau masih gundah dengan peluang keberhasilannya. Semoga Hari Bumi 2026 tahun depan akan membuktikan bahwa kegundahan yang saya rasakan sekarang sesungguhnya tidaklah cukup beralasan.

Bacaan terkait

Bisakah Demokrasi Menyelamatkan Kita dari Krisis Iklim?

Meregang Nyawa Ditikam Panas Mentari

Donald Trump dan Ancaman Krisis Iklim

Agar Ketidakberlanjutan Perusahaan Tidak Berlanjut

Mewujudkan Transisi Energi (yang Katanya Harus) Berkeadilan

Topik: Hari Bumikrisis ekologiperubahan iklimTony Juniper
SendShareTweetShare
Sebelumnya

Paus Fransiskus: Antara Keberanian, Kasih, dan Visi Masa Depan

Selanjutnya

Memahami Karbon, Meregenerasi Kehidupan

Jalal

Jalal

Provokator Keberlanjutan, ESG and CSR Strategist, dan penggila buku, film, dan duren. Pengarang buku "Mengurai Benang Kusut Indonesia: Jokowinomics di Bawah Cengkeraman Korporasi" (2020).

TULISAN TERKAIT

Slow Productivity, Cara Baru Menikmati Pekerjaan

Slow Productivity, Cara Baru Menikmati Pekerjaan

16 September 2025
Autocracy Inc: Buku yang Menggambarkan Rusaknya Demokrasi

Autocracy Inc: Buku yang Menggambarkan Rusaknya Demokrasi

1 September 2025
Bullshit Jobs: Sebuah Buku untuk Mengenal Pekerjaan yang Sia-Sia

Bullshit Jobs: Sebuah Buku untuk Mengenal Pekerjaan yang Sia-Sia

27 Agustus 2025
Menemukan Alasan Hidup dari Buku “Semoga Kamu Bisa Tersenyum Hari ini”

Menemukan Alasan Hidup dari Buku “Semoga Kamu Bisa Tersenyum Hari ini”

22 Agustus 2025
Selanjutnya
Selanjutnya
Memahami Karbon, Meregenerasi Kehidupan

Memahami Karbon, Meregenerasi Kehidupan

Ulasan Pembaca 1

  1. Avatar suryana says:
    5 bulan yang lalu

    Ketika Galileo Galilei menunjuk langit dan berkata bahwa bumi bukan pusat semesta, dunia menolaknya. Ia membawa bukti, observasi, dan logika — tetapi di hadapan keyakinan lama, bukti sering kali tak berdaya. Galileo akhirnya dihukum, dipaksa bungkam, meski kebenaran yang ia bawa perlahan-lahan tetap menang di medan waktu.

    Hari ini, kita kembali berdiri di persimpangan yang sama, tetapi medan perjuangan kita bukan lagi soal letak bumi di alam semesta. Medan kita adalah nasib bumi itu sendiri.

    Kajian ilmiah dari berbagai penjuru, seperti dalam buku Just Earth yang diungkap mas jalal, telah menunjukkan bahwa daya dukung planet ini terus menurun. Kita kehilangan hutan, meracuni lautan, mencairkan es di kutub dan mengikis keanekaragaman hayati. Namun, seperti masa Galileo, banyak manusia tetap percaya bahwa bumi “baik-baik saja.” Mereka berpegang pada kenyamanan lama, menolak perubahan yang menuntut pengorbanan.

    Pelajaran dari Galileo jelas: kebenaran ilmiah tidak selalu langsung diterima. Membuka mata orang terhadap realitas baru butuh keberanian, ketekunan, dan kesabaran. Kita tidak bisa menyerah hanya karena suara kita kecil di tengah hiruk-pikuk dunia yang memilih menutup telinga.

    Galileo juga mengajarkan bahwa kebenaran butuh dikomunikasikan dengan bijaksana. Dalam perjuangan menyelamatkan bumi, data dan angka saja tidak cukup. Kita harus menuturkan kisah, membangun empati, dan menghadirkan masa depan yang bisa dirasakan — bukan sekadar ditakuti.

    Namun, ada satu perbedaan besar antara zaman Galileo dan saat ini
    Dulu, dunia bisa menunggu berabad-abad untuk menerima kenyataan bahwa bumi mengelilingi matahari. Hari ini, apakah kita tidak punya kemewahan waktu itu. Krisis ekologis terus bergerak cepat dan penundaan hanya akan memperdalam luka planet ini.

    Karena itu, dari Galileo kita belajar bahwa memperjuangkan kebenaran ilmiah bukan soal keyakinan siapa yang menang lebih cepat, tapi soal siapa yang bertahan lebih gigih. Untuk bumi, untuk kehidupan, kita harus menjadi Galileo masa kini — bersuara, bertindak, dan tidak menyerah, bahkan ketika dunia tampak enggan mendengar.

    Balas

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Slow Productivity, Cara Baru Menikmati Pekerjaan

Slow Productivity, Cara Baru Menikmati Pekerjaan

16 September 2025
Cover buku dan film La tresse

Buku “La tresse” Karya Laetitia Colombani akan Diterjemahkan ke Bahasa Indonesia

15 September 2025
Buku “The Anxious Generation” Sudah 75 Minggu Menempati New York Times Bestseller

Buku “The Anxious Generation” Sudah 75 Minggu Menempati New York Times Bestseller

11 September 2025
Ringkasan Habit is Power: Jika Ingin Sukses Hindari 14 Kebiasaan Buruk Ini

Ringkasan Habit is Power: Jika Ingin Sukses Hindari 14 Kebiasaan Buruk Ini

10 September 2025
Ciri Publik Melek Politik, Peminat Buku Politik Makin Tinggi

Ciri Publik Melek Politik, Peminat Buku Politik Makin Tinggi

4 September 2025
AJI Jakarta Buka Konseling Jurnalis Peliput Aksi Massa

AJI Jakarta Buka Konseling Jurnalis Peliput Aksi Massa

2 September 2025

© 2025 Jakarta Book Review (JBR) | Kurator Buku Bermutu

  • Tentang
  • Redaksi
  • Iklan
  • Kebijakan Privasi
  • Kontak
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
  • Masuk
  • Beranda
  • Resensi
  • Berita
  • Pegiat
  • Ringkasan
  • Kirim Resensi

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In