Ketika membaca halaman-halaman kasus buku ini, berbagai memori berkelebat di kepala. Musim panas 2018 saya berada di Jerman selama seminggu, dan pada siang pertama di Hamburg, suhu yang terbaca adalah 40 derajat Celsius. Tetapi, informasi tambahannya juga menyatakan real feel 45 derajat Celsius. Ketika saya melawat ke Koln untuk mengunjungi masjid di sana, saya harus behenti beberapa puluh menit di taman kota yang asri. Utamanya bukan untuk menikmati pemandangan yang indah, namun lantaran merasa perlu beristirahat gegara panas mentari yang benar-benar menikam kepala—seperti gambaran pada sebuah lagu Iwan Fals.
Tahun lalu, saya berada di Singapura ketika tetiba merasakan aspal yang melunak. Beberapa ratus meter kemudian, sandal kesayangan saya—dari merek yang terkenal sangat tangguh untuk petualangan luar ruangan—yang sudah menemani berkunjung ke banyak tempat selama bertahun-tahun akhirnya menyerah. Dia patah lantaran panas yang mulai melelehkan aspal, dan saya harus tertatih menepi lalu membeli sandal seadanya yang bisa ditemukan.
Buku The Heat Will Kill You First karya Jeff Goodell yang terbit pertama tahun 2023 ini—sementara saya membeli dan membaca versi paperback keluaran 2024—tidak dibuka dengan kasus-kasus itu, melainkan dengan penjelasan tentang pentingnya suhu yang stabil bagi kehidupan di Bumi. Kehidupan manusia telah berkembang dalam apa yang disebut sebagai Goldilocks Zone, kondisi di mana suhu tidak terlalu panas maupun terlalu dingin, memungkinkan peradaban berkembang. Namun, perubahan iklim akibat aktivitas manusia telah mulai mengganggu keseimbangan ini, membawa ancaman panas ekstrem yang berpotensi membahayakan kehidupan.
Goodell menyoroti bagaimana gelombang panas semakin sering terjadi dan semakin parah, menyebabkan berbagai dampak terhadap kesehatan manusia, lingkungan, dan ekonomi global.
Setelah pembukaan itu, Goodell menggambarkan dampak gelombang panas yang terjadi di berbagai belahan dunia. Dia membahas penelitian ilmiah tentang bagaimana suhu ekstrem dapat berpengaruh pada tubuh manusia. Tubuh kita bekerja keras untuk mempertahankan suhu internal sekitar 37 derajat Celsius. Jika suhu eksternal terlalu tinggi, tubuh kehilangan kemampuannya untuk mendinginkan diri, yang dapat menyebabkan kelelahan, stroke panas, hingga kematian.
Kondisi ini semakin diperparah oleh peningkatan kelembapan, yang menghambat proses pendinginan alami melalui keringat. Goodell menggambarkan kisah tragis sebuah keluarga muda dan pekerja migram yang meninggal akibat panas ekstrem, menyoroti bagaimana kelompok rentan seperti lansia dan pekerja luar ruangan menghadapi risiko lebih besar.
Goodell lalu menyoroti sejarah ilmiah dalam memahami panas dan hubungannya dengan perubahan iklim. Dia menelusuri bagaimana para ilmuwan mulai memahami peran karbon dioksida dalam memerangkap panas di atmosfer, serta bagaimana revolusi industri mempercepat pemanasan global. Sejarah juga mencatat berbagai peristiwa kepunahan massal akibat lonjakan suhu ekstrem, termasuk peristiwa pada akhir periode Permian yang membunuh sebagian besar spesies di Bumi. Peristiwa tersebut menjadi pengingat bahwa peningkatan suhu yang ekstrem bukan hanya menyebabkan ketidaknyamanan, tetapi juga memiliki konsekuensi eksistensial bagi kehidupan di planet ini.
Dalam salah satu bagian yang membuat saya paling berefleksi, Goodell membahas dampak panas terhadap perkotaan. Kota-kota besar, dengan luasnya permukaan beton dan aspal, bertindak sebagai heat islands, di mana suhu jauh lebih tinggi dibandingkan daerah sekitarnya. Dia memberikan contoh Paris, di mana upaya untuk melestarikan arsitektur bersejarah sering kali bertentangan dengan kebutuhan untuk merenovasi bangunan agar lebih tahan terhadap panas. Di kota-kota seperti Miami dan Dhaka, ancaman panas menjadi lebih serius karena kombinasi kenaikan permukaan laut dan urbanisasi yang cepat. Beberapa kota telah mencoba mengatasi masalah ini dengan menanam lebih banyak pohon, melengkapi atap dengan tanaman perdu, dan mengembangkan teknologi pendinginan yang lebih efisien.
Goodell juga membahas peran ekonomi dalam krisis panas ini. Gelombang panas dapat merusak pertanian, mengurangi hasil panen, dan memperburuk kelangkaan air. Dalam industri, panas ekstrem menyebabkan kegagalan infrastruktur, seperti pembangkit listrik yang tidak mampu beroperasi dalam suhu tinggi. Sementara itu, ketidaksetaraan ekonomi memperburuk dampaknya—lantaran orang-orang kaya dapat mengandalkan pendingin udara, sementara mereka yang miskin sering kali harus menghadapi panas tanpa perlindungan apa pun. Hal ini memunculkan pertanyaan etika tentang akses ke solusi mitigasi perubahan iklim dan tanggung jawab perusahaan besar dalam menanggulangi krisis yang mereka bantu ciptakan.
Dalam bagian yang lebih filosofis, Goodell merenungkan bagaimana panas mengubah cara kita memahami dunia dan kehidupan kita. Di beberapa daerah, perubahan iklim telah memaksa orang untuk bermigrasi, meninggalkan tanah asal yang tidak lagi bisa ditinggali. Dia menyoroti bagaimana panas telah memengaruhi budaya dan tradisi di berbagai tempat, termasuk bagaimana masyarakat harus beradaptasi dengan gaya hidup baru yang lebih tahan terhadap suhu ekstrem. Perubahan ini bukan hanya fisik, tetapi juga sosial dan psikologis—membentuk kembali cara manusia berinteraksi dengan lingkungan dan satu sama lain.
Goodell kemudian membahas bagaimana sains telah berkembang dalam memahami dampak perubahan iklim. Salah satu bidang yang mendapat perhatian khusus adalah extreme event attribution, yang mencoba menghubungkan kejadian cuaca ekstrem dengan perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia. Dia menceritakan bagaimana sekelompok ilmuwan, termasuk Friederike Otto dan Peter Stott, telah mengembangkan metode statistik dan model iklim yang dapat menunjukkan bahwa perubahan iklim telah meningkatkan kemungkinan terjadinya gelombang panas secara signifikan. Metode ini semakin penting karena dapat membantu menuntut pertanggungjawaban perusahaan bahan bakar fosil dan pemerintah yang gagal bertindak terhadap krisis iklim.
Respons global terhadap panas ekstrem kemudian mendapatkan perhatian buku ini. Beberapa negara telah mulai beradaptasi dengan mengembangkan kebijakan mitigasi yang inovatif, seperti kota-kota yang menciptakan zona perlindungan dari panas atau menerapkan kebijakan kerja fleksibel untuk melindungi pekerja dari paparan suhu tinggi. Namun, di kebanyakan tempat, upaya ini masih sangat terbatas, dan ketidakpedulian politik serta ekonomi sering kali menjadi penghalang dalam mengambil langkah konkret. Goodell mengritik ketergantungan dunia terhadap pendingin udara yang, meski dapat membantu melindungi orang dari panas, akhirnya justru memperburuk krisis iklim karena konsumsi energi yang tinggi.
Buku ini berakhir dengan refleksi tentang masa depan. Goodell menekankan bahwa kita belum benar-benar keluar dari Goldilocks Zone, tetapi kita semakin mendekati batasnya. Jika kita tidak segera mengambil tindakan untuk mengurangi emisi karbon dan beradaptasi dengan panas yang meningkat, seluruh umat manusia bisa menghadapi konsekuensi yang jauh lebih buruk dibandingkan kondisi sekarang. Namun, tak sekadar menunjukkan dampak mengerikan, Goodell juga menyampaikan harapan bahwa dengan inovasi, kerja sama global, dan perubahan sosial, kita masih memiliki kesempatan untuk mencegah bencana yang lebih besar. Dia mengingatkan pembaca bahwa panas bukan sekadar fenomena cuaca, tetapi juga refleksi dari bagaimana kita memperlakukan planet ini dan satu sama lain.
Kekuatan karya Goodell ini jelas terletak pada kombinasi antara penelitian ilmiah yang kuat, gaya penulisan yang menarik, serta urgensi topik yang disajikan. Buku ini mampu menjelaskan konsep ilmiah yang kompleks dengan cara yang mudah dipahami. Goodell menggunakan pendekatan naratif yang kaya dengan contoh nyata dan kisah personal—termasuk kisah cintanya sendiri—sehingga pembaca dapat merasakan langsung dampak perubahan iklim terhadap kehidupan sehari-hari. Dengan kekuatan itu, tidaklah mengherankan apabila buku ini mendapatkan nilai rerata 4,7 dalam skala 5 dari 1.646 pembacanya di situs Amazon.
Buku ini juga sangat baik dalam penyampaian data untuk mendukung argumennya. Goodell tidak hanya mengandalkan teori atau opini pribadi, tetapi merujuk pada penelitian terbaru, laporan ilmiah, dan wawancara dengan para ahli. Dengan begitu, walau sesunguhnya pesannya mengerikan, buku ini jauh dari kesan alarmis, tetapi memiliki dasar ilmiah yang kuat dalam menggambarkan ancaman nyata dari panas ekstrem terhadap kehidupan manusia, ekosistem, dan ekonomi global.
“Meticulously researched yet thoroughly readable, this is at once a portrait of a heat-disrupted world and a primer for how to prepare for it.” Begitu kata pengarang terkemuka Amitav Ghosh soal buku ini, yang saya setujui sepenuhnya. Secara sangat piawai, Goodell memang mampu menjahit sains, politik, ekonomi, dan relasi sosial untuk menunjukkan bahwa dampak panas ekstrem bukan hanya masalah lingkungan, tetapi juga berkaitan erat dengan ketidakadilan sosial dan kebijakan global. Buku ini menyoroti bagaimana kelompok rentan, seperti pekerja luar ruangan dan masyarakat berpenghasilan rendah, lebih terdampak oleh suhu ekstrem, sementara negara dan korporasi kaya sering kali menghindari tanggung jawab.
Gaya penulisan yang penuh empati dan refleksi juga menjadi keunggulan buku ini. Goodell tidak hanya menyajikan fakta, tetapi juga menggugah emosi pembaca dengan kisah-kisah nyata yang menggambarkan tragedi dan daya tahan manusia dalam menghadapi panas yang mematikan. Hal ini membuat Heat tidak hanya informatif, tetapi juga memotivasi pembaca untuk memahami betapa mendesaknya masalah ini dan mendorong tindakan nyata untuk mengatasi perubahan iklim.
Kalau ada hal yang menurut hemat saya bisa diperbaiki dari buku ini, sifatnya sangatlah teknis, yaitu soal penyajian data. Meskipun Goodell menyajikan banyak statistik dan hasil penelitian, banyak di antaranya disampaikan dalam bentuk narasi tanpa tabel atau grafik yang membantu visualisasi. Penggunaan infografis atau peta, mungkin dalam edisi mendatang, bisa membantu jenis pembaca tertentu untuk lebih cepat memahami pola kenaikan suhu, distribusi dampak panas, dan hubungan antara perubahan iklim dan migrasi manusia. Saya sendiri menikmati cara Goodell menarasikan data dengan ciamik.
Buku ini adalah peringatan keras tentang bahaya yang dihadapi manusia akibat perubahan iklim yang dipicu oleh panas ekstrem. Setelah pada buku sebelumnya, The Water Will Come: Rising Seas, and the Remaking of the Civilized World, Goodell menjelaskan bagaimana dampak kenaikan muka air laut akan sangat mengubah wajah dunia, kini ia mengajak pembaca untuk melihat panas bukan sekadar sebagai fenomena cuaca, tetapi sebagai kekuatan yang dapat membentuk peradaban baru, baik atau buruk, bagi umat manusia. Kedua buku tersebut mengingatkan kita bahwa masa depan masih dapat diubah—tetapi hanya jika kita bertindak sekarang. Dan karenanya saya mengajak semua yang peduli pada kehidupan yang lebih baik untuk membaca Goodell dan bertindak sesuai pesan-pesannya.
Bacaan terkait
Bisakah Demokrasi Menyelamatkan Kita dari Krisis Iklim?
Jurus Dewa Mabok Trump di Perubahan Iklim
Ulil, Tambang Batubara, dan Krisis Iklim
Ulasan Pembaca 2