Tulisan saya tentang isu-isu lingkungan di Bali, Trouble in Paradise: Krisis Lingkungan di Pulau Dewata, memperoleh cukup banyak respons dari pembaca. Saya ingin menuliskan lanjutan tulisan tersebut yang lebih berfokus pada isu-isu sosial. Namun, saya membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menyelesaikannya, terutama karena saya perlu membaca banyak laporan sebelum bisa menuliskan secara utuh. Yang masih melekat di kepala saya adalah sebuah isu lingkungan khusus yang saya saksikan langsung, yaitu limbah pangan. Lantaran saya tinggal di Kuta selama satu minggu, dan setiap hari diguyur hujan, maka bau dari sisa-sisa makanan yang mulai membusuk dari tempat sampah hotel dan restoran setiap kali berjalan pagi dan sore bisa saya deteksi. Kenangan atas bau tak sedap itu, juga karena hari ini, 30 Maret, diperingati sebagai International Day of Zero Waste, membuat saya memutuskan untuk menuliskan soal limbah pangan ini.
Masalah Global dan Nasional
Isu kehilangan dan pemborosan pangan (food loss and waste) telah muncul sebagai tantangan global yang mendesak dengan dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi yang luas. Secara global, sekitar sepertiga hingga 40 persen dari semua makanan yang diproduksi untuk konsumsi manusia tidak pernah dimakan, dan akhirnya terbuang menjadi limbah. Pada tahun 2022 saja, sekitar 1,05 miliar ton makanan terbuang di seluruh dunia.
Konsekuensi lingkungan dari pemborosan ini sangat mendalam, dengan kehilangan dan pemborosan makanan menyumbang 8-10 persen dari total emisi gas rumah kaca global, sekitar empat kali lipat total emisi dari sektor penerbangan—yang kerap menjadi sumber mempermalukan orang yang kerap bepergian dengan pesawat. Selain itu, produksi makanan yang pada akhirnya hilang atau terbuang merupakan pemborosan besar-besaran sumber daya alam. Sebuah artikel yang saya baca di masa lalu menyatakan bahwa tanah seluas lebih dari daratan Tiongkok digunakan untuk memproduksi makanan yang tidak akan dimakan siapa pun.
Indonesia menghadapi tantangan signifikan dengan kehilangan dan pemborosan makanan, dengan beberapa hasil riset yang menunjukkan bahwa negara ini adalah produsen terbesar kedua secara global, hanya setelah Arab Saudi. Tingkat kehilangan dan pemborosan makanan di Indonesia cukup tinggi, naik dari 115 ke 184 kilogram per kapita per tahun antara tahun 2000 dan 2019. Pada tahun 2018, limbah makanan mencakup 44 persen dari total limbah yang dihasilkan di negeri ini.
Secara total, diperkirakan Indonesia menghasilkan antara 23 hingga 48 juta ton limbah makanan setiap tahun pada kurun waktu yang sama, jumlah yang sesungguhnya cukup untuk memberi makan 61 hingga 125 juta orang. Selain itu, tingkat pemborosan setinggi ini memiliki konsekuensi lingkungan yang signifikan, dengan total emisi dari limbah makanan selama periode yang sama diperkirakan mencapai 1.702,9 juta ton CO2 setara, rata-rata 7,29 persen dari total emisi gas rumah kaca Indonesia.
Bali sebagai Fokus
Bali, surga tropis yang memikat jutaan wisatawan setiap tahunnya, menghadapi tantangan serius yang tentu saja tak pernah terlihat dalam brosur-brosur pariwisata: krisis limbah pangan. Dalam industri perhotelan, restoran, dan katering, masalah ini bukan sekadar statistik, melainkan ancaman nyata bukan saja untuk perusahaan-perusahaan di sektor itu, tapi juga bagi keberlanjutan lingkungan, ekonomi lokal, dan reputasi pulau sebagai destinasi wisata premium. Bali perlu menempatkan dirinya berada di garis depan pertempuran melawan limbah pangan, dengan sektor pariwisatanya menjadi kontributor utama, untuk keberlanjutan pariwisatanya sendiri dan kehidupan seluruh masyarakatnya.
Sektor perhotelan di Bali menghasilkan limbah organik dalam jumlah besar, dengan beberapa properti menghasilkan lebih dari 70 persen limbah organik dari total limbah mereka. Dalam konteks hotel-hotel besar, ini berarti rata-rata 2,5 liter limbah padat per tempat tidur per hari, di mana sekitar 31,2 persen merupakan limbah dapur, termasuk sisa makanan. Beberapa sumber yang saya baca menyatakan bahwa pola konsumsi turis cenderung menghasilkan dua kali lipat limbah dibanding penduduk lokal, dan ini menciptakan tekanan luar biasa pada sistem pengelolaan limbah yang sudah kewalahan.
Dampak lingkungan dari limbah makanan ini sangat signifikan. Di tempat pembuangan akhir seperti TPA Suwung, tumpukan limbah organik yang membusuk menghasilkan metana, gas rumah kaca yang sekitar 25 kali lebih kuat daripada karbon dioksida dalam mempercepat pemanasan global. Pembakaran spontan di tempat pembuangan akhir ini—yang terjadi misalnya pada Oktober 2023 dan Juli 2024 lalu—tidak hanya melepaskan racun berbahaya tetapi juga menyebabkan evakuasi massal warga sekitar. Lebih buruk lagi, banyak limbah yang tak tertangani dengan baik berakhir di sungai dan laut, mengancam kehidupan laut dan, bersama-sama dengan sampah lainnya dari lokasi lain termasuk Pulau Jawa, merusak reputasi Bali sebagai destinasi wisata alami yang bersih.
Namun, di balik tantangan ini terdapat peluang besar untuk inovasi dan efisiensi—sebagaimana yang dengan mudah saya temukan di berbagai laporan. Beberapa hotel di Bali telah membuktikan bahwa investasi dalam pengelolaan limbah makanan dapat menghasilkan penghematan signifikan. Empat hotel Hyatt di Bali, misalnya, melaporkan telah berhasil menghemat lebih dari US$340.000 dalam sembilan bulan melalui implementasi teknologi pemantauan limbah makanan dan mendapatkan sertifikasi The PLEDGE on Food Waste. Beberapa studi menunjukkan bahwa program pengurangan limbah makanan sering kali memberikan pengembalian investasi hingga 14 kali lipat dari biaya awalnya.
Solusi praktis untuk mengatasi limbah makanan di Bali bervariasi dari strategi penjualan diskon hingga adopsi teknologi maju. Penjualan diskon yang strategis dapat membantu mengurangi stok makanan yang akan kadaluwarsa. Untuk hotel dan restoran, ‘akan kadaluwarsa’ sebetulnya bisa berarti makanan yang masih sangat layak, namun tak bisa lagi dijual kepada konsumen utamanya, yang menginginkan kualitas tertinggi. Maka, di Bali saya menemukan beberapa hotel mendiskon berbagai kue dan roti setelah pukul 18 atau 19 malam.
Sementara, program donasi makanan yang dikelola dengan baik dapat menyelamatkan ribuan porsi makanan yang layak dikonsumsi setiap harinya. Organisasi seperti Scholars of Sustenance Indonesia dan FoodCycle Indonesia telah aktif mengumpulkan dan mendistribusikan surplus makanan kepada masyarakat yang membutuhkan. Ini, buat saya, sangat mengharukan mengingat quadruple win yang diperoleh. Hotel, restoran, dan ketering bisa menyelesaikan masalah limbahnya dengan baik dan murah, dan mungkin beroleh reputasi yang tinggi dalam pengelolaan lingkungan; organisasi yang mengumpulkan dan mendistribusikan bisa mencapai misinya dan mendapatkan keuntungan yang bisa direinvestasikan lebih jauh; penerima makanan bisa diringankan beban hidupnya; dan dampak bagi lingkungan bisa diminimalkan.
Teknologi biogas menawarkan solusi lain yang menjanjikan. Proses pencernaan anaerobik dapat mengubah limbah makanan menjadi energi terbarukan yang dapat digunakan untuk memasak, memanaskan air, atau bahkan menghasilkan listrik. Beberapa hotel di Bali telah mengadopsi teknologi ini, membuktikan bahwa investasi awal yang signifikan dapat menghasilkan manfaat jangka panjang dalam bentuk penghematan biaya pembuangan limbah dan potensi kemandirian energi. BRIN, lembaga riset nasional Indonesia, dilaporkan sedang mengembangkan teknologi biogas berbasis limbah makanan yang dapat direplikasi di berbagai skala usaha. Namun, sebetulnya, berbagai teknologi terapan untuk gasifikasi ini sebetulnya sudah banyak tersedia.
Komposting, metode yang lebih tradisional namun tetap efektif, juga kembali mendapatkan perhatian di kalangan bisnis perhotelan dan restoran. Transformasi limbah makanan menjadi pupuk organik tidak hanya mengurangi volume limbah yang harus dibuang tetapi juga menghasilkan produk bernilai tambah untuk kebun dan pertanian lokal. Usaha komposting skala kecil hingga besar mulai bermunculan di seluruh Bali, menunjukkan potensi nyata dari pendekatan ini.
Apa lagi yang Harus Dilakukan?
Pemerintah daerah dan nasional harus mengambil langkah-langkah penting. Kini sudah ada peta jalan pengurangan limbah makanan nasional bertujuan untuk mengurangi limbah makanan sebesar 75 persen pada tahun 2045, sementara regulasi baru sedang disiapkan untuk menciptakan kerangka kerja komprehensif melibatkan berbagai institusi pemerintah. Inisiatif seperti GRASP 2030, yang dipimpin oleh IBCSD, bertujuan mengurangi limbah makanan sebesar 50 persen pada tahun 2030, sesuai dengan Target 12.3 dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Tetapi, tentu saja, target itu perlu benar-benar ditindaklanjuti dengan sumber daya dan program nyata yang terus dipantau untuk memastikan pencapaiannya.
Pendidikan dan kesadaran publik memainkan peran krusial dalam upaya ini. Kampanye Gerakan Selamatkan Pangan yang diluncurkan oleh Badan Pangan Nasional di tahun lalu bertujuan meningkatkan kesadaran tentang pentingnya mengurangi limbah makanan. Konsumen diajak untuk lebih sadar akan kebiasaan makan mereka, memesan porsi yang lebih realistis di restoran, dan membawa pulang sisa makanan. Praktik penyimpanan makanan yang benar di rumah juga ditekankan untuk memperpanjang umur simpan produk pangan. Ini membutuhkan komitmen jangka panjang, karena perubahan perilaku mustahil bisa dicapai kalau “gerakan” direduksi menjadi sekadar jargon dan seremoni.
Kolaborasi antara berbagai pemangku kepentingan menjadi kunci keberhasilan. Hotel, restoran, dan perusahaan katering didorong untuk melakukan audit limbah makanan secara rutin untuk memahami jenis dan jumlah makanan yang terbuang di berbagai tahap operasional mereka. Implementasi strategi proaktif untuk mengurangi limbah makanan di sumbernya melibatkan peningkatan sistem manajemen inventaris, kontrol porsi yang akurat, dan perencanaan menu yang lebih baik sesuai dengan permintaan pelanggan. Saya menyatakan bahwa ini adalah salah satu bagian paling penting dari tanggung jawab perusahaan di sektor ini.
Pemerintah juga memiliki peran penting dalam mendukung transformasi ini melalui insentif finansial dan regulasi yang mendukung. Investasi dalam infrastruktur yang diperlukan untuk donasi makanan, produksi biogas, dan komposting pada tingkat bisnis dan komunitas sangat diperlukan—dan sangat perlu masuk ke dalam peta jalan keuangan berkelanjutan tahap ketiga (2026-2030). Fasilitasi kemitraan antara sektor perhotelan, bank makanan, organisasi pengelolaan limbah, dan komunitas pertanian lokal dapat mempercepat adopsi solusi berkelanjutan.
Konsumen, sebagai bagian integral dari rantai pasokan makanan, juga memiliki tanggung jawab besar. Kesadaran akan dampak limbah makanan terhadap lingkungan, sosial, dan ekonomi harus ditingkatkan. Melalui perencanaan makan yang lebih baik dan kebiasaan belanja yang bijaksana, konsumen dapat berkontribusi signifikan pada pengurangan limbah makanan. Implementasi sistem kompos di rumah juga dapat menjadi solusi praktis untuk mengelola sisa makanan secara individu.
Kembali ke Bali
Saya telah menunjukkan bahwa limbah makanan di sektor perhotelan, restoran, dan katering, termasuk di Bali, adalah tantangan besar dengan implikasi yang signifikan. Namun, berbagai solusi yang sudah dikenal sesungguhnya menawarkan cara komprehensif untuk mengelola limbah makanan secara efektif. Manfaat dari solusi-solusi ini bersifat multifaset, termasuk pengurangan emisi gas rumah kaca, penurunan ketergantungan pada tempat pembuangan akhir, penghematan biaya bagi bisnis, peningkatan ketahanan pangan bagi populasi rentan, dan penciptaan sumber daya berharga seperti energi terbarukan, dan regenerasi lahan-lahan pertanian dan pekarangan.
Untuk mencapai pengurangan limbah makanan yang berarti dan berkelanjutan, diperlukan upaya kolaboratif dari semua pemangku kepentingan di Bali. Pemerintah Bali, industri perhotelan, dan konsumen harus bekerja sama untuk membuka jalan menuju sektor perhotelan yang lebih berkelanjutan dan bertanggung jawab. Pendekatan ini menghargai sumber daya pangan, meminimalkan limbah, dan berkontribusi pada kesejahteraan jangka panjang pulau dan komunitasnya.
Bali jelas memiliki kesempatan unik untuk menjadi contoh global dalam pengelolaan limbah pangan. Dengan kombinasi kebijakan yang tepat, investasi strategis, dan partisipasi aktif dari semua pihak, pulau ini dapat mengubah tantangan limbah pangan menjadi peluang untuk inovasi dan pembangunan berkelanjutan. Momentum ini harus dimanfaatkan sepenuhnya, karena keberhasilan dalam mengelola limbah ini tidak hanya akan menguntungkan Bali tetapi juga dapat menjadi model bagi destinasi wisata lain di seluruh dunia.
Langkah-langkah yang diambil sekarang akan menentukan apakah Bali dapat mempertahankan pesona alamnya sambil mempertahankan harmoni sosial dan pertumbuhan ekonominya yang bergantung pada pariwisata hingga masa mendatang. Ini bukanlah pilihan antara lingkungan, sosial atau ekonomi, tetapi bagaimana menciptakan sinergi di antara ketiganya melalui pengelolaan limbah pangan yang cerdas dan berkelanjutan. Semua mata tertuju pada Bali, dan saya benar-benar mendoakan agar Bali bisa sukses menangani permasalahan ini. Saya membayangkan bahwa suatu saat nanti, saya dan seluruh orang yang berkunjung ke Bali tak pernah perlu lagi mencium bau dari limbah pangan yang mulai membusuk, melainkan hanya terus-menerus mencium harum bunga yang segar di sekujur pulau.
Bacaan terkait
Trouble in Paradise: Krisis Lingkungan di Pulau Dewata
Mengekang Dorongan Konsumsi Tiada Henti
Agar Ketidakberlanjutan Perusahaan Tidak Berlanjut
Ulasan Pembaca 1