Rahasia apa sih yang sekarang tidak dengan mudah terbongkar? Cukup pertanda tertentu, sedikit saja, maka warganet yang sungguh kreatif dalam mencari informasi akan mengupas kulit bawang selapis demi selapis, hingga kerap air mata mereka yang ingin berahasia akan bercucuran.
Sebuah foto jendela pesawat adalah pertanda awal yang buat kebanyakan orang tentu terlampau sedikit untuk membuka macam-macam rahasia. Namun, buat mereka yang jeli, cukuplah itu untuk membuat dugaan bahwa itu bukan jendela pesawat komersial yang ditunggangi beramai-ramai. Itu adalah jendela pesawat jet berukuran kecil, yang biasanya dimiliki oleh para pengusaha kelas kakap dan para pesohor yang sungguh sohor.
Dari dugaan itu kemudian ditelisik lebih jauh. Ditemukanlah jenis pesawatnya. Lalu diketahuilah berapa harganya kalau sanggup membelinya, atau kalau ‘sekadar’ mampu menyewanya. Nama-nama pemilik pesawat itu, di antara pebisnis paus dan pesohor kakap juga terungkap. Tetapi warganet yang punya kemampuan bak telik sandi mampu mencari tahu siapa gerangan yang memiliki pesawat yang jendelanya terpotret itu, dan apa urusannya hingga anak bungsu Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan istrinya mengangkasa dengannya.
Jadilah kehebohan lebih besar dan luas. Kini, semua orang tahu nama pengusaha asal negeri tetangga itu, apa bisnisnya, berapa kekayaannya, dan hubungan sponsorship sepakbola dengan klub yang dikelola Sang Kaesang. Tak cuma sampai situ, mulailah warganet mengulik-ngulik hobi belanja barang mahal dari istrinya, apa saja merek tas yang pernah dibelinya dan seterusnya. Dan mungkin yang paling jauh, ada pihak-pihak tertentu yang bahkan berkirim surat ke kampus di mana si istri bakal berkuliah, meminta kampus terkemuka itu untuk membatalkan penerimaan lantaran perilaku yang dinyatakan tak pantas oleh mereka yang berkirim surat.
Akan sampai di mana kasus ini? Entahlah. Ada tuntutan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mulai menyelidik. Ada desakan kepada Bea Cukai untuk juga menelisik. Apakah bakal didengar dan ditindaklanjuti? Entah juga. Yang jelas, ada banyak suara yang meragukan bahwa tuntutan seperti itu akan membuat kedua lembaga cukup bernyali, apalagi bertaji. Tetapi, sekali lagi, entahlah. Yang terang, Indonesia tak pernah kehilangan momentum untuk berbagai isu baru.
Rentetan peristiwa baru yang membetot perhatian publik, diviralkan di media sosial, bakal menutup ingatan mayoritas kita akan apa yang sudah terjadi. Dan ini membuat pihak-pihak yang seharusnya bertindak atas informasi awal yang ditemukan oleh warganet itu lepas dari desakan, atau mungkin lebih tepatnya, bakal didesak dan dituntut untuk urusan yang lebih baru lagi. Begitu terus yang cenderung terjadi di negeri ini. Dan oleh karena itu, hal yang sangat penting diperhatikan untuk kebaikan Indonesia di masa mendatang malahan lepas dari genggaman benak, hati, dan tangan kita.
Buat mereka yang memperhatikan secara lekat kasus ini dari sudut pandang etika bisnis, sebetulnya ini hanyalah tambahan bukti bahwa ada masalah konflik kepentingan dalam urusan (pe)bisnis dan (petinggi) pemerintah(an) Indonesia itu sebetulnya tak kunjung membaik. Baru-baru ini, Presiden Indonesia terpilih, Prabowo Subianto, bilang bahwa projek pembangunan Ibu Kota Nusantara jelas akan diteruskan, dan (karena?) dia adalah salah satu investornya. Kita juga tahu bahwa kabinet yang dipimpin oleh Presiden Jokowi berisikan banyak pengusaha. Di Senayan, sekitar separuh isi lembaga legislatif kita juga terkait erat dengan perusahaan, termasuk banyak di antara mereka adalah pemilik perusahaan.
Sudah sewajarnya kalau kemudian kita bertanya: Ketika mereka membuat legislasi dan regulasi, sesungguhnya kepentingan siapa yang sedang mereka perjuangkan? Apakah mereka sedang bertindak sebagai wakil rakyat, ataukah sesungguhnya mereka sedang memikirkan bagaimana supaya bisnis mereka, atau bisnis bohir mereka, semakin moncer? Ketika Pak Prabowo memastikan pembangunan di IKN itu, apakah pertimbangannya semata adalah memastikan bahwa Indonesia memiliki ibu kota yang modern, dan konon bakal menjadi kota berkelanjutan, ataukah dia ingin memastikan bahwa investasinya cuan?
Tentu ada juga sisi berpikir yang lain. Tidakkah keduanya—kepentingan masyarakat dan kepentingan bisnis mereka—bisa disatukan? Kalau ada konflik kepentingan, bukankah artinya ada pula sinergi kepentingan? Tentu bisa. Tetapi, apakah mereka semua memang telah dikenal sebagai para pebisnis yang punya rekam jejak tata kelola yang mumpuni, dan perusahaan yang terkait mereka dikenal sebagai pemimpin dalam keberlanjutan ekonomi, sosial, dan lingkungan? Kalau tidak ada rekam jejak yang demikian, bagaimana kita bisa mengetahui bahwa produk legislasi dan regulasi mereka itu memang demi sinergi kepentingan? Tentu tidak bisa. Apalagi, kita sudah menyaksikan banyak sekali produk kebijakan dan hukum mereka yang sarat dengan kepentingan non-publik.
Ada argumentasi yang kerap dipergunakan sebagai dalih untuk menyatakan bahwa kekuasaan politik yang disesaki oleh para pengusaha dan petinggi perusahaan ini sesungguhnya baik. Karena mereka sudah kaya, maka mereka tak bakal korupsi, atau setidaknya korupsi akan berkurang. Pada kenyataannya, korupsi yang melibatkan isi kabinet dan wakil rakyat dalam bertahun-tahun terakhir seperti tak kunjung berhenti. Menteri jadi pesakitan banyak, apalagi para wakil rakyat. Di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, situasinya idem ditto. Kita sudah banyak belajar, corruption by need itu biasanya gurem; tetapi corruption by greed itu benar-benar serem.
Dalam kasus Kaesang, kita tidak atau belum tahu apakah ada korupsi atau gratifikasi di situ. Tetapi, jelas apa yang terjadi itu adalah konflik kepentingan. Konflik ini tidak dimaknai ketika dia sudah mewujud, melainkan harus diidentifikasi sebagai hal yang potensial terjadi—sehingga sudah seharusnya dihindari sekuat mungkin. Apakah wajar kalau banyak di antara warga masyarakat yang menduga ada kepentingan di balik pemanfaatan pesawat mentereng itu? Tentu saja. Entah itu dipinjamkan, atau sekadar diberi diskon harga dibandingkan harga wajar, atau bahkan kalau itu dinyatakan dibayar sesuai harga pasar sekalipun.
Mengapa demikian? Karena Kaesang adalah anak Presiden Indonesia, dan adik Wakil Presiden Indonesia terpilih. Seandainya Kaesang tak ada di posisi itu, mungkin tak ada yang bakal beramai-ramai melakukan penyelidikan. Tetapi, dalam posisi itu, penggunaan tunggangan angkasa yang tak wajar itu pasti mengundang kecurigaan. Bahkan, seandainya Kaesang ‘cuma’ dipinjami mobil, motor atau bahkan sepeda yang berharga termasuk mahal, sangatlah wajar kalau masyarakat kemudian menaruh curiga ada udang di balik batu. Oleh karena itu, sebaiknya Kaesang menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya—kalau memang tak ada udang itu. Sementara itu, tentu masyarakat Indonesia berharap agar lembaga anti-rasuah tidaklah melempem dalam urusan ini.
Kaesang boleh jadi sekadar polos. Dia tak berpikir bahwa apa yang dia lakukan itu bakal mengundang perhatian publik. Jelas dia tak punya sensitivitas memadai untuk sekadar memahami potensi itu. Mungkin dia berpikir bahwa selama dia tak menjanjikan akses memengaruhi kebijakan, legislasi, regulasi, perizinan atau projek pemerintah apa pun kepada si empunya Gulfstream, maka tak ada yang salah dengan pemanfaatan pesawat itu. Kaesang kemungkinan besar tak tahu bahwa konflik kepentingan itu mulai dari potensi, bukan ketika sudah aktual terjadi.
Mungkin juga ini adalah masalah generasional sekaligus masalah pendidikan yang sangat serius. Beberapa tahun lalu salah satu staf Milenial Presiden Joko Widodo tetap menjadi pemilik bisnis pendidikan yang terkemuka. Ketika perusahaan pendidikan yang dia dirikan itu mendapatkan peluang untuk menjadi pengimplementasi program pemerintah, dia seperti tak tahu bahwa konflik kepentingan sedang terjadi. Perusahaannya akhirnya benar-benar menjalankan program tersebut, dan belakangan dia memilih untuk keluar dari posisinya di pemerintahan—setelah peluang bisnis sangat besar itu dia dapatkan.
Kali lain, berbagai organisasi masyarakat sipil protes lantaran Presiden Joko Widodo juga meresmikan sebuah pabrik besar milik seorang pengusaha yang kontroversial. Jawaban staf kepresidenan atas protes itu benar-benar membuat banyak pihak menggaruk kepala yang tak gatal. Menurut dia, tak ada masalah sama sekali karena yang diresmikan itu adalah perusahaan yang secara legal terpisah dengan bisnis kontroversial si pengusaha.
Banyak di antara para pengusaha muda—atau generasi muda secara umum—yang tak memahami persoalan hubungan bisnis yang non-etis seperti ini, termasuk konflik kepentingan. Mereka memang banyak yang belum memiliki atau bekerja pada bisnis yang terpapar dengan berbagai aturan tata kelola yang ketat. Mungkin karena ukuran yang masih kecil, atau lantaran kepercayaan bahwa bisnis rintisan itu bisa lebih bebas bila tak perlu repot-repot memperhatikan beragam rambu terlebih dahulu. Tetapi, kita juga tahu bahwa kurikulum pendidikan bisnis di tingkat sarjana bahkan pascasarjana sesungguhnya tak cukup serius dalam mengajarkan hal-hal ini. Sementara, sebagian besar pengusaha muda bahkan tak pernah mengenyam pendidikan bisnis.
Kalau tak terlampau muluk berharap, mungkin kita bisa meminta perguruan-perguruan tinggi—tempat di mana mayoritas pengusaha muda ditempa—di Indonesia untuk bisa secara serius mengajarkan soal tata kelola perusahaan dan etika bisnis. Ini penting, agar generasi pengusaha Indonesia berikutnya tak lagi jadi pengusaha yang kerap abai terhadap tata kelola dan etika. Urusan Gulfstream ini seharusnya bisa jadi pembuka mata.
Bacaan terkait
Tujuh Belasan di IKN, Ibu Kota (yang Diharapkan) Inklusif Indonesia
HUT Jakarta Ke-497: Walau Ada IKN, Jakarta Akan Tetap sebagai Ibu Kota Negara