Saya sudah lama punya ketertarikan pada perkembangan ekonomi Tiongkok yang luar biasa pesat. Mungkin terutama karena keberhasilannya mengeluarkan setidaknya 700 juta orang dari kemiskinan, dan di saat yang sama menambah luas hutannya sebanyak 40%. Dan itu semua dilakukan hanya dalam kurun waktu 30 tahun terakhir. Oleh karena itu, setiap buku yang berusaha menjelaskan bagaimana itu dilakukan, dengan kajian akademik yang meyakinkan, akan sangat menarik perhatian saya.
Oriana Skylar Mastro adalah fellow pada Freeman Spogli Institute for International Studies di Universitas Stanford sekaligus profesor ilmu politik di universitas yang sama. Dia punya gelar sarjana dari universitas tersebut, master dan doktor dari Universitas Princeton. Mengesankan? Tentu. Dan itu semua dia lakukan sambil terus menjadi prajurit Angkatan Udara Amerika Serikat (AS). Kini, dia berpangkat mayor, dengan jabatan perencana strategis utama di Komando Indo-Pasifik. Jadi, ketika saya membaca buku terbaru Mastro, dalam kondisi ketegangan geopolitik AS dan Tiongkok yang semakin memanas, saya merasa perlu terus memeriksa apakah buku ini relatif berimbang, ataukah sebetulnya mengandung bias yang keterlaluan sebagaimana yang banyak saya dengarkan dari komentar-komentar tokoh-tokoh di AS.
Buku Upstart: How China Became a Great Power yang ditulis oleh Mastro ini menyajikan sebuah perspektif baru yang sangat menarik tentang bagaimana Tiongkok, dalam kurun waktu tiga dekade saja, berhasil mengubah dirinya dari negara terbelakang menjadi salah satu kekuatan besar dunia yang kini setara dengan AS dalam hal pengaruh diplomatik, kekuatan ekonomi, bahkan kekuatan militer.
Pencapaian Tiongkok yang luar biasa ini jelas tidak terjadi begitu saja, melainkan melalui strategi yang sangat terencana dan tidak konvensional. Mastro menawarkan kepada para pembaca sebuah konsep besar yang disebutnya Upstart Strategy atau strategi kebangkitan yang memiliki tiga komponen utama: emulasi, eksploitasi, dan kewirausahaan. Ketiga komponen ini menjelaskan bagaimana Tiongkok berhasil menutup kesenjangan kekuatan dengan negara-negara besar lainnya, khususnya AS, tanpa harus melawan mereka secara langsung.
Pada awal dekade 1990-an, Tiongkok tidak lebih daripada sebuah negara berkembang dengan tantangan besar baik dalam bidang ekonomi, militer, maupun diplomasi internasional. Ketika itu, Tiongkok tak bisa dibandingkan dengan kekuatan besar seperti AS yang mendominasi dunia setelah kemenangan dalam Perang Dingin dan keberhasilan dalam menjadikan dirinya sebagai negara adidaya global. Pada saat itu, ekonomi Tiongkok hanya berkontribusi sekitar 3% terhadap produk domestik bruto (PDB) dunia, jauh di bawah AS yang merupakan ekonomi terbesar dunia.
Di sisi militer, Tiongkok masih terbelakang dengan peralatan yang sudah usang, tidak terlatih, dan ketinggalan teknologi. Negara ini bahkan tidak memiliki kemampuan militer untuk melaksanakan operasi tempur modern. Namun, dalam rentang waktu tiga puluh tahun yang sangat singkat, Tiongkok mampu mengubah posisi tersebut secara dramatis dan menjadi salah satu kekuatan global yang tidak dapat diabaikan.
Bagaimana Tiongkok bisa mencapai status ini? Mastro memberikan penjelasan yang sistematis dengan memerinci bagaimana Tiongkok dengan cara-cara baru dalam berkompetisi untuk mengakumulasi kekuatan di panggung global. Strategi ini sesungguhnya mengedepankan inovasi dan adaptasi, alih-alih hanya meniru apa yang telah dilakukan oleh kekuatan besar lainnya—sebagaimana kerap dituduhkan politisi dan pengamat amatiran terhadap Tiongkok. Mastro mengajak pembaca untuk melihat strategi ini sebagai model yang menggambarkan cara negara-negara baru dan sedang berkembang bisa mencapai posisi dominan tanpa harus melakukan konfrontasi langsung dengan negara adidaya yang ada.
Komponen pertama dari strategi ini adalah emulasi. Emulasi merujuk pada upaya untuk meniru model yang sudah terbukti efektif dalam membangun kekuasaan. Dalam kasus Tiongkok, ini berarti meniru AS dalam berbagai aspek, termasuk keterlibatan dalam organisasi internasional, diplomasi multilateral, dan pengembangan teknologi tinggi. Misalnya, Tiongkok tidak hanya terlibat dalam forum internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), tetapi juga berupaya membangun institusi internasional baru yang mampu bersaing dengan yang sudah ada, seperti Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) yang dibentuk sebagai alternatif untuk Bank Dunia yang didominasi oleh AS.
Dalam bidang militer, Tiongkok mengadopsi pendekatan serupa dengan AS dalam hal modernisasi kekuatan militernya, tetapi dengan perbedaan yang signifikan. Tiongkok membangun kekuatan laut yang kuat dan memperkuat kemampuan angkatan udara dan misilnya, dengan cara yang tidak menonjolkan ambisi global yang dapat memicu reaksi balik dari AS.
Komponen kedua adalah eksploitasi. Eksploitasi merupakan strategi di mana Tiongkok mencari berbagai celah dan kelemahan yang ada dalam sistem internasional yang sudah mapan, yang tidak diperhatikan atau dianggap kurang penting oleh kekuatan besar seperti AS. Dengan demikian, Tiongkok mengalihkan fokus ke area-area tertentu yang tidak mendapatkan perhatian penuh dari negara-negara Barat. Salah satu contoh eksploitasi yang sukses adalah bagaimana Tiongkok memanfaatkan kekuatan ekonominya untuk menjalin hubungan dengan negara-negara berkembang melalui pembiayaan infrastruktur dalam projek-projek besar seperti Belt and Road Initiative (BRI).
Projek ini telah membuat Tiongkok menjadi mitra strategis bagi banyak negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, daerah yang sering kali terabaikan oleh negara-negara besar lainnya. Di bidang perdagangan internasional, Tiongkok memanfaatkan keunggulan biaya rendah dan kapasitas manufaktur untuk menjadi eksportir terbesar dunia, sementara AS lebih fokus pada impor barang-barang dari negara-negara berkembang. Tiongkok mengoptimalkan kelemahan ini dan menggantikan peran AS dalam banyak hubungan ekonomi yang dulunya lebih didominasi oleh negara adidaya tersebut.
Komponen ketiga adalah kewirausahaan. Dalam konteks strategi kebangkitan ini, kewirausahaan merujuk pada pendekatan inovatif yang melibatkan penciptaan jalur baru dalam upaya untuk membangun dan memperluas kekuatan. Alih-alih meniru atau mengeksploitasi kelemahan yang ada, Tiongkok mencari peluang baru yang tidak terjamah oleh negara-negara besar lainnya. Salah satu contoh kewirausahaan yang sangat menonjol adalah bagaimana Tiongkok membangun pengaruhnya melalui teknologi canggih dan standar industri baru, seperti dalam bidang kendaraan listrik, teknologi 5G, dan komputasi kuantum. Dalam hal ini, Tiongkok tidak hanya ikut serta dalam kompetisi global tetapi juga menciptakan standar dan mengarahkan pasar teknologi untuk mendominasi ekonomi masa depan.
Di bidang militer, Tiongkok mengembangkan pendekatan baru yang mengutamakan penguatan kapasitas pertahanan dalam negeri dan kawasan, seperti melalui program-program sistem pertahanan udara yang canggih dan senjata hipersonik, yang memungkinkannya untuk bersaing dengan kekuatan militer besar tanpa perlu melakukan ekspansi militer langsung yang dapat memicu konflik dengan negara-negara besar.
Mastro menyatakan bahwa sangat penting untuk dicatat bahwa, meskipun Upstart Strategy membawa banyak keberhasilan, Tiongkok tidak sepenuhnya menghindari tantangan internal dan eksternal. Di dalam negeri, untuk mempertahankan stabilitas, pemerintah Tiongkok harus terus menjaga kontrol politik yang ketat, mengingat bahwa pertumbuhan yang pesat dapat menyebabkan ketegangan sosial dan ekonomi. Di level internasional, meski Tiongkok berhasil membangun kekuatan besar, ia juga menghadapi tantangan besar, termasuk perlawanan dari negara-negara yang khawatir dengan kebangkitan Tiongkok sebagai pesaing dominan, terutama di kawasan Asia-Pasifik. Reaksi dari negara-negara ini sering kali berupa pembentukan aliansi-aliansi baru, penguatan kapasitas militer mereka, atau bahkan implementasi kebijakan yang lebih proteksionis terhadap produk-produk Tiongkok.
Mastro juga menekankan, meski Tiongkok berhasil menutup kesenjangan dengan AS dalam banyak aspek, jalan menuju puncak ini tidak selalu mulus. Ada sejumlah kegagalan, kerugian, dan penyesuaian yang perlu dilakukan dalam perjalanan kebangkitan Tiongkok. Salah satu hal penting yang disorot adalah pentingnya fleksibilitas dalam strategi. Untuk tetap berada di jalur yang benar, Tiongkok harus terus menilai dan menyesuaikan strategi yang diambilnya berdasarkan perubahan kondisi internasional dan domestik. Keseimbangan antara emulasi, eksploitasi, dan kewirausahaan terus dijaga agar Tiongkok dapat menghindari strategi yang terlalu agresif yang bisa mengarah pada konflik langsung dengan AS atau kekuatan besar lainnya.
Buat saya, buku ini benar-benar memberikan wawasan yang sangat berharga untuk memahami kebangkitan Tiongkok sebagai kekuatan global. Mastro tidak hanya menyarankan bahwa kebangkitan Tiongkok didorong oleh adopsi strategi yang cerdas dan adaptif, tetapi juga menjelaskan keberhasilan Tiongkok dalam menutup kesenjangan kekuatan dengan AS tidak terlepas dari cara brilian negara ini memilih untuk bersaing dengan negara adidaya tersebut.
Tiongkok tidak memilih jalur konfrontasi langsung, melainkan memanfaatkan kelemahan dan celah yang ada untuk memajukan kepentingan nasionalnya. Ini pendekatan yang sangat berbeda dari yang diambil oleh negara-negara besar lainnya di masa lalu, atau AS di bawah Donald Trump sekarang, yang sering kali berusaha untuk terus menjadi kekuatan dominan dengan gertakan, ancaman, bahkan kekerasan.
Mastro lalu menyatakan bahwa masa depan Tiongkok dalam percaturan politik global sangat bergantung pada seberapa baik negara ini dapat melanjutkan kebijakan Upstart Strategy ini. Apakah Tiongkok akan terus mengadopsi pendekatan yang seimbang antara emulasi, eksploitasi, dan kewirausahaan, ataukah negara ini akan lebih berfokus pada peningkatan kekuatan militer dan persaingan langsung dengan AS, hanya waktu yang akan menjawabnya. Namun, satu hal yang pasti: kebangkitan Tiongkok bukanlah sebuah kebetulan, melainkan hasil dari perencanaan strategis yang matang dan implementasi yang sangat disiplin dan efektif dari strategi kebangkitan yang sangat berbeda dengan yang diambil oleh negara-negara besar lainnya di masa lalu.
Buku karya Mastro ini adalah analisis ambisius dan meyakinkan tentang kebangkitan strategis Negeri Tirai Bambu. Dengan mengadopsi teori persaingan bisnis, Mastro merumuskan kembali kebangkitan Tiongkok sebagai perpaduan yang diperhitungkan antara emulasi, eksploitasi, dan kewirausahaan. Ini pendekatan yang jauh lebih segar dibandingkan dengan narasi transisi kekuatan konvensional, apalagi argumennya disampaikan dengan riset yang teliti serta pemaparan yang meyakinkan.
“Upstart provides a sophisticated framework for measuring great power status, and explains how China succeeded in rising to this status using a combination of approaches that capitalized on US weaknesses and Beijing’s unique strengths.” Demikian pujian sejarawan Francis Fukuyama atas buku ini. Sementara pakar tata kelola Mixin Pei menyatakan, “Mastro’s masterpiece not only helps us gain a better understanding of the past, but also provides valuable insights for policy makers as they wrestle with the China challenge today.”
Meski buku ini sangat unggul dalam kejelasan konsep—juga rekomendasi strategisnya untuk AS—agaknya kerangka kerja yang digunakan masih menyisakan celah yang layak dikritisi. Salah satu kekuatan utama buku ini adalah kemampuannya mengintegrasikan manuver kebijakan luar negeri Tiongkok ke dalam logika strategis yang kohesif. Mastro berpendapat, Beijing dengan sangat cermat mempelajari kelebihan dan kelemahan AS, memilih kapan harus meniru, mengeksploitasi celah, atau berinovasi. Namun, triad strategis ini mungkin terlalu menyederhanakan kompleksitas pengambilan keputusan di Partai Komunis Tiongkok.
Saya merasa bahwa tidak semua kebijakan dapat dikategorikan dengan rapi ke dalam tiga strategi yang diperlakukan secara terpisah ini, dan interaksi di antara mereka seharusnya mendapat kajian lebih dalam. Misalnya, BRI disebut sebagai strategi kewirausahaan, tetapi bukankah pada saat yang sama juga sangat bergantung pada emulasi strategi ekonomi pascaperang AS serta eksploitasi atas kelemahan tata kelola di negara-negara penerimanya? Buku ini, menurut hemat saya, akan lebih kaya jika menawarkan model yang lebih fleksibel yang mengakui adanya tumpang tindih strategis daripada segmentasi yang kaku. Saya membayangkan bagan di mana tiga strategi yang diajukan Mastro menjadi tiga lingkaran, yang memiliki peririsan parsial dan universal.
Selain itu, buku ini sangat meyakinkan dalam menyoroti bagaimana Tiongkok mampu menghindari konfrontasi militer langsung sambil secara bertahap membentuk ulang tatanan internasional. Namun, buku ini mungkin kurang memperhitungkan kendala ideologis dan institusional yang dapat menghambat kelanjutan kebangkitan Tiongkok. Kegigihan Partai Komunis Tiongkok dalam mempertahankan kontrol pusat atas ekonomi dan wacana politiknya bisa jadi merupakan pedang bermata dua. Di satu sisi, ini memungkinkan tindakan yang cepat dan terkoordinasi, tetapi di sisi lain, juga menghambat fleksibilitas dan adaptasi.
Mastro memang mengakui kelemahan Tiongkok dalam kekuatan lunak (soft power), tetapi ia tidak sepenuhnya mengeksplorasi bagaimana model politik Tiongkok membatasi kemampuannya dalam meraih legitimasi global. Mastro seperti mengasumsikan bahwa Tiongkok dapat terus memanfaatkan celah dalam sistem global, tetapi kurang mempertimbangkan bagaimana perlambatan ekonomi dan tantangan demografis mungkin memaksa Tiongkok untuk melakukan kalibrasi ulang strateginya, bahkan mungkin menjauh dari model upstart.
Kembali pada posisinya sebagai ahli strategi di angkatan bersenjata AS, rekomendasi Mastro kepada para pembuat kebijakan AS sangat tajam dan mudah dipahami. Namun, resep Mastro tentang pendekatan tandingan upstart Amerika—dengan berfokus pada area di mana AS masih memiliki keunggulan—terasa agak statis. Saya membayangkan bahwa AS yang merasa jagoan tanpa tanding dalam Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence, AI) ternyata pasar modalnya harus kehilangan hampir US$1 triliun dalam sehari lantaran DeepSeek diluncurkan perusahaan AI Tiongkok yang tak besar-besar amat.
Sebagaimana yang ditunjukkan oleh kasus DeepSeek, keseimbangan kekuatan global sesungguhnya bersifat sangat dinamis, dan strategi masa depan AS mungkin memerlukan kombinasi keterlibatan, adaptasi, dan kalibrasi ulang yang lebih luas daripada sekadar mengikuti kerangka kompetitif yang diusulkan dalam buku ini.
Walau saya masih melihat ruang-ruang perbaikan itu, secara keseluruhan Upstart adalah buku brilian dengan analisis yang menggugah pikiran dan relevan mengenai kebangkitan Tiongkok. Mastro jelas menawarkan lensa strategis yang menarik dan rapi, tetapi kenyataan dari kebangkitan Tiongkok kemungkinan besar akan jauh lebih cair, dengan kontradiksi internal dan kendala eksternal yang membentuk jalurnya secara tidak terduga. Diskusi yang lebih mendalam tentang ketangguhan dan kerentanan Tiongkok, serta evolusi dan adaptasi strateginya, akan memperkaya kontribusi yang sudah sangat bernilai ini dalam perdebatan tentang kompetisi di antara kekuatan-kekuatan besar.
Tetapi, diam-diam saya merindukan buku yang mungkin lebih bermanfaat bagi masa depan, yaitu bagaimana kekuatan-kekuatan besar bisa lebih berkolaborasi—alih-alih berkompetisi—untuk menyelamatkan kita semua dari krisis eksistensial. Mungkin hanya segelintir orang semacam Jeffrey Sachs yang bisa menuliskannya. Dan Sachs terus-menerus menyatakan posisi bahwa Tiongkok bukanlah musuh AS. Kalau Sachs, yang pernah menyunting sebuah bunga rampai perkembangan ekonomi Tiongkok di tahun 2012 lampau, kemudian menuliskan buku terbaru soal perkembangan ekonomi, politik, dan peradaban ekologis Tiongkok, dan bagaimana itu bisa berkontribusi dalam penyelamatan dunia, saya akan ada di urutan terdepan pemesannya.
Ulasan Pembaca 1