Seratus hari pertama masa jabatan Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, diawasi secara ketat oleh para pendukung dan pengkritiknya. 100 hari pertama dari sebuah pemerintahan baru sering disebut sebagai “fase bulan madu” bagi para pemimpin yang baru saja terpilih; transisi pemerintahan Prabowo telah menciptakan perasaan yang campur aduk bagi banyak orang. Di satu sisi, ada rasa optimisme akan stabilitas sosial-politik dan ekonomi yang lebih baik; di sisi lain, ada kebingungan tentang kebijakan pemerintah di berbagai bidang dan skeptisisme tentang apakah janji-janji politik Prabowo yang lebih ambisius dapat dicapai.
Retorika awal Prabowo sangat bergantung pada janji-janji untuk melanjutkan warisan dari pendahulunya, Joko “Jokowi” Widodo. Janji Prabowo untuk mempertahankan proyek-proyek infrastruktur utama, seperti Ibu Kota Nusantara (IKN) dan hilirisasi, menandakan keselarasan dengan nasionalisme ekonomi Jokowi. Namun, kontinuitas yang diklaim ini bermasalah: Jokowi memprioritaskan pertumbuhan ekonomi makro namun menghadapi kritik karena melemahkan lembaga-lembaga demokrasi, kelalaian terhadap lingkungan hidup, dan pemusatan kekuasaan. Jika Prabowo mengikuti jejak Jokowi, ia mungkin akan meninggalkan Indonesia dalam keadaan yang lebih buruk, bukan lebih baik.
Keputusan Prabowo untuk mempertahankan putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden–yang secara luas dilihat sebagai politik transaksional–telah memicu kekhawatiran masyarakat sipil tentang pemerintahan dinasti. Perpaduan canggung antara masa lalu Prabowo yang militeristik dengan populisme teknokratik Jokowi menciptakan stabilitas, namun dengan mengorbankan akuntabilitas demokratis.
Semua ini telah melahirkan masalah yang lebih besar: tata kelola program pembangunan yang rumit.
Pertama, dalam prioritas pembangunan Indonesia, salah satu tujuan yang telah dicapai adalah stabilisasi ekonomi. Hal ini dilakukan untuk membantu Prabowo mencapai pertumbuhan tahunan sebesar delapan persen di akhir masa jabatannya (pada 2029), meskipun target pertumbuhan itu sendiri masih dipertanyakan. Pemerintah telah berhasil menjaga harga pangan dan bahan bakar tetap stabil untuk saat ini. Pembangunan infrastruktur terus berlanjut meskipun ada pemotongan anggaran yang signifikan, dengan kemajuan di bawah Prabowo terlihat dalam perluasan jaringan transportasi utama dan infrastruktur digital. Perluasan bantuan sosial, termasuk program makanan bergizi gratis (MBG) yang banyak dipublikasikan oleh Prabowo, telah mulai terwujud namun masih dalam mode “proyek percontohan” dengan beberapa masalah.
Secara umum, sentimen publik saat ini terhadap Prabowo adalah positif. Namun, masih ada kekhawatiran mengenai kesenjangan sosial ekonomi yang melebar di Indonesia, yang tidak dapat diatasi hanya dengan memperluas bantuan sosial. Kesenjangan regional dalam pembangunan akan terus menjadi tantangan.
Kedua, masih ada pertanyaan mengenai keberlanjutan program-program prioritas Prabowo, terutama dari perspektif fiskal. Sebagai contoh, estimasi anggaran untuk MBG saja berkisar antara 100-150 triliun rupiah (US$6-US$9 miliar) per tahun (dengan 71 triliun rupiah dialokasikan untuk tahun 2025 saja), sementara anggaran keseluruhan untuk enam program bantuan sosial: MBG, Program Keluarga Harapan (PKH), bantuan pangan non-tunai (BPNT), Program Indonesia Pintar (PIP), bantuan beras, dan jaminan kesehatan untuk masyarakat miskin (JKN) meningkat dari 496,8 triliun rupiah pada 2024 menjadi 504,7 triliun rupiah pada tahun ini.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa hal ini dapat mengganggu pelaksanaan program-program pemerintah lainnya, termasuk prioritas Prabowo di bidang infrastruktur, reformasi birokrasi, kesehatan, dan pendidikan. Tanpa reformasi pajak struktural atau pemotongan subsidi yang tidak efisien (seperti untuk energi), peningkatan pengeluaran ini dapat membebani ketahanan fiskal Indonesia. Tanpa konsolidasi fiskal, arah pengeluaran saat ini dapat menimbulkan risiko anggaran yang signifikan dalam jangka panjang.
Ketiga, penunjukan beberapa menteri yang berafiliasi dengan politik dan bukannya dengan kalangan profesional membuat mereka dikritik sejak awal karena berkinerja buruk, tidak memiliki inisiatif, tidak cakap dalam menjalankan program, atau tidak etis. Ini termasuk menteri hak asasi manusia karena stagnasi kebijakan, kurangnya tindakan tegas, dan kontroversi seputar isu-isu hak asasi manusia; menteri koperasi karena gagal mewujudkan peta jalan untuk mereformasi dukungan bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), tanpa arah yang jelas dalam pengembangan sektor koperasi; menteri kehutanan karena mengabaikan masalah-masalah deforestasi, salah urus konservasi, dan kebijakan-kebijakan yang mengedepankan aktivitas ekonomi daripada kelestarian lingkungan; dan menteri desa dan daerah tertinggal karena tidak memiliki kejelasan dalam strategi pembangunan desa dan menyalahgunakan jabatan resminya untuk keuntungan pribadi.
Akhirnya, kinerja kabinet yang tidak merata ini telah mengakibatkan kolaborasi antarkementerian yang tidak efektif, sesuatu yang dikritik oleh Prabowo sendiri. Meskipun pemerintahan baru mewarisi situasi ini, masih ada peraturan yang tumpang tindih, proses pengambilan keputusan yang lambat, anggaran dan prioritas yang tidak selaras, dan pengawasan administratif yang lemah. Hal ini telah menghambat pelaksanaan kebijakan dan mengurangi efektivitas program-program pemerintah. Beberapa inisiatif utama, seperti pelaksanaan MBG, percepatan hilirisasi industri, dan transformasi digital, mengalami kelambanan birokrasi. Hal ini menandakan adanya miskoordinasi di seluruh kabinet, di samping beberapa kasus ketidakmampuan menteri.
Mengingat semua ini, karena Prabowo telah menekankan perlunya birokrasi yang efisien untuk mendorong agenda kebijakannya yang ambisius, tidak mengherankan jika ia segera merombak kabinetnya. Mengatasi tantangan-tantangan di atas akan menjadi sangat penting bagi Prabowo untuk menjaga kepercayaan publik, memastikan agendanya tetap berada di jalur yang benar, dan mempertahankan dukungan politik. Dalam politik, ia secara pragmatis telah terlibat dengan elemen oposisi utama–Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Hal ini terjadi meskipun langkah tersebut memperumit hubungannya dengan Jokowi atau mengorbankan konsolidasi aliansi Partai Gerindra di dalam koalisi yang berkuasa.
Sementara itu, masih ada kekhawatiran mengenai sikap Prabowo terhadap pemerintahan yang demokratis dan kebebasan sipil. Penanganan pemerintahnya, sejauh ini, terhadap perbedaan pendapat dan kritik, terutama terkait dengan protes baru-baru ini tentang proyek-proyek strategis nasional (PSN) dan pembatasan media, menuai kritik dari kelompok-kelompok masyarakat sipil dan pengawas internasional.
100 hari pertama pemerintahan Prabowo telah memberikan gambaran sekilas tentang prioritas dan gaya pemerintahannya. Mereka menunjukkan kinerja yang beragam, dengan beberapa pencapaian penting di samping kelemahan yang mengkhawatirkan dalam tata kelola pemerintahan, koordinasi, dan eksekusi kebijakan. Terlepas dari popularitas pribadinya yang tinggi, tanpa presiden dengan cepat mengoreksi (atau mencopot) para menteri yang berkinerja buruk, ketidakpuasan publik terhadap pemerintahannya dapat meningkat. 100 hari ke depan dan selanjutnya akan menjadi sangat penting dalam menentukan apakah Presiden Prabowo dapat meningkatkan efisiensi di bawah pemerintahannya untuk memenuhi janji-janji kampanyenya.
Naskah aslinya ada di sini: https://fulcrum.sg/after-the-honeymoon-where-will-president-prabowo-take-indonesia-a-governance-perspective/
Bacaan terkait
Awal Prabowo yang Problematik: Sebuah Peluang yang Terlewatkan?
Protes Keras Sultan Dipsiq kepada Raja Juli Antoni
Kabinet Prabowo yang Gemuk dan Akomodatif
Kabinet Inklusif Prabowo: Mengakomodasi Faksi-faksi Islam untuk Kohesi Politik
Ulasan Pembaca 2