Kabinet Merah Putih 2024-2029 baru saja diumumkan oleh Presiden Prabowo Subianto. 48 kementerian, 5 lembaga setingkat kementerian anggota kabinet. Total ada 109 menteri-dan-wakil-menteri yang akan segera dilantik. Ini adalah kabinet terbesar pasca era Bung Karno. Memang, dengan direvisinya UU Kementerian Negara, Prabowo (dan Presiden selanjutnya) punya hak menyusun kabinet sebesar (atau sekecil) apa pun.
Apakah ekspansi kabinet ini sekadar untuk mengakomodasi kepentingan politik Prabowo? Kalaupun iya, itu sah-sah saja. Itu haknya. Tapi Prabowo mesti bisa menunjukkan bahwa kabinetnya profesional. Karena, kalau ternyata kabinetnya tidak berkinerja, janji politiknya dalam Asta Cita bisa gagal diwujudkan.
Apa risiko kabinet berukuran XL atau malah XXL ini? Pertama,tak bisa segera beroperasi, apalagi berlari. Penataan ulang apalagi pembentukan K/L baru butuh waktu. Ingat masa lalu (pembentukan BRG, BRIN, BPIP, OIKN, dll.). Urusan SOTK, penggajian, aturan kerja, dll tak bisa seketika. Padahal Prabowo butuh kabinetnya segera bisa bekerja.
Kedua, tak mudah dikoordinasi. Kecenderungan K/L bekerja dengan ‘kacamata kuda’, fokus hanya pada sektornya (‘ego-sektoral’). Dengan 34 kementerian saja Presiden Joko Widodo berkali-kali mengeluhkan sulitnya koordinasi. Kini, dengan 48? Nampaknya tantangan Presiden Prabowo untuk koordinasi ini tidak akan mudah.
Ketiga, tidak efisien. Satu urusan/isu yang mestinya bisa ditangani secara cepat oleh satu-dua kementerian saja, kini akan butuh waktu dan sumber daya lebih banyak karena mesti ditangani lebih banyak kementerian. Ini belum lagi bicara soal keuangan dan pembiayaan kementerian, termasuk penggajian menteri, wakil menteri dan seluruh perangkatnya termasuk para staf khusus.
Dari sini saja kita bisa membayangkan, akibat obesitas ini, Kabinet Merah Putih tak kan segera bisa berkibar, takkan bisa segera berlari kencang. Pak Prabowo memang sudah mengumpulkan semua calon menteri dan wamen dalam pembekalan di Hambalang. Ini langkah yang bagus dan tepat. Memang, semua menteri mesti punya visi yang sebangun dengan visi Presiden (dan sebenarnya akan lebih baik lagi jika juga diikat dengan kontrak kinerja). Tapi pembekalan saja tidak cukup. Karena, begitu sampai pada kerja konkret kementerian, kompleksitas persoalan yang dihadapi tidak seperti saat simulasi dalam pembekalan. Kerumitannya nyata, mulai dari soal teknis, administratif birokratis, hingga politis.
Karena itu, dalam kondisi ini, perlu terobosan konkret dan cepat. Saya ajukan tiga. Pertama, pengawasan dan Pengendalian Pembangunan. Pak Prabowo meneruskan Kantor Staf Presiden (KSP) dari zaman Pak Jokowi. KSP ini, yang sebenarnya adalah kelanjutan UKP4 (Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan) zaman Pak SBY, mesti diperkuat. Bukan secara politis, tetapi secara teknokratis untuk mengendalikan pembangunan: memastikan janji politik presiden diterjemahkan dalam prioritas pembangunan.
Kedua, segera merapikan kerangka regulasi. Mesti dipastikan tidak ada tabrakan aturan, mulai dari UU, PP, Perpres, Keppres, Inpres hingga ke Permen dan Kepmen. Kalau regulasi tabrakan, dengan kementerian yang kegemukan ini, bisa dipastikan program pembangunan akan macet.
Ketiga, segera menyusun mekanisme akuntabilitas: multilateralisme. Artinya, satu inisiatif atau prioritas yang ditugaskan mesti jelas siapa penanggungjawab utamanya. Tapi perencanaan dan penganggarannya melibatkan bukan hanya BAPPENAS dan Kemenkeu, namun juga BPKP, dan KPK (Pencegahan). Demikian juga pengawasan implementasi dan evaluasinya. Ini mencegah korupsi sejak awal.
Merenungkan situasi ini, sebenarnya saya khawatir Pak Prabowo malah menciptakan sendiri masalahnya (dan ini masalah besar!) di awal beliau menjabat dengan menyusun kabinet sebesar ini. Saya tentu berharap saya salah. Sungguh, semoga saya salah. Semoga Pak Prabowo sudah menghitung semua risikonya. Apa pun itu, saya ucapkan: Selamat bekerja Kabinet Merah Putih!
Ulasan Pembaca 4