Upacara Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-79 di Ibu Kota Nusantara pada 17 Agustus 2024 ini tidak layak disebut sebagai peringatan kemerdekaan RI. Jika melacak alur pembangunan IKN sejak masih dalam wacana pemindahan ibu kota negara beserta semua instrumen institusional pendukungnya, maka upacara HUT RI di IKN nanti lebih tepat disebut sebagai “rekolonialisme” nusantara. Dengan simbolisasi ibu kota negara baru yang selalu dilekatkan sebagai warisan keberhasilan pemerintahan Joko Widodo.
Wacana pemindahan ibu kota negara muncul di awal periode kedua Jokowi. Begitu juga dengan pemilihan kawasan ibu kota negara baru yang sekarang dikenal dengan istilah IKN (Ibu Kota Nusantara). Keduanya ditetapkan secara langsung berdasarkan keinginan politik Jokowi yang ingin memindahkan ibu kota negara dari Jakarta dan “telunjuk kanan Jokowi” terhadap pemilihan kawasan IKN saat ini. Bukan didahului dengan kajian terhadap urgensi pemindahan ibu kota negara dan terhadap opsi wilayah ibu kota negara baru.
Sekalipun IKN muncul memiliki dasar hukum setara undang-undang, sebagaimana diketahui, periode kedua pemerintah Jokowi berada dalam situasi “paradox of presidential power”, artinya pemerintahan presidensial yang mendapatkan terlalu besar dukungan mayoritas parlemen sehingga menjadikannya sebagai pemerintahan presidensial yang berwatak otoriter. Kondisi inilah yang menjadikan proses kelahiran dan pembangunan IKN dari sisi pemerintah berjalan sangat mudah serta menabrak berbagai aturan hukum serta asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Aneksasi Non-militeristik
Edward Said (2014) pernah mengetengahkan sebuah istilah dengan sebutan “imaginative geography”. Menurut Said, imaginative geography bukanlah sebutan untuk pendekatan ilmu bumi, perpetaan atau kartografi, tetapi suatu penemuan (invention) dan konstruksi ruang geografis yang disebut “Orient“, yang telah dan akan ditaklukkan dan dianeksasi sebagai milik pembuatnya, tak kecuali peta geopolitik yang dikonstruksikan oleh kekuasaan kolonial (Mestika Zed, 2017).
Penjelasan tersebut merupakan wujud paling konkret dalam watak kolonialisme (Belanda) terhadap metode pendekatan yang dilakukan dalam pembangunan IKN. Sebab, kolonialisme hanya melihat dari sisi kebutuhan kolonial terhadap wilayah yang akan ditaklukan dan dianeksasi. Lahirnya IKN secara de jure melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara secara sepihak dan dengan begitu saja mencaplok sebagian kawasan di Kalimantan Timur sebagai kawasan IKN yang merupakan kawasan inti pusat pemerintahan dan kawasan pengembangan IKN.
Bagi masyarakat dan masyarakat adat terdampak di dua cakupan wilayah IKN tersebut, adanya IKN membuat kedua masyarakat tersebut, suka atau tidak suka, harus melepaskan tanah beserta segala aspek kehidupannya untuk kepentingan IKN. Tanpa mengetahui dampak kesejahteraan apa yang secara langsung dapat diperoleh dari pembangunan IKN. Meski menggunakan mekanisme pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dan belakangan didukung mekanisme pemberian ganti rugi terhadap aset dalam penguasaan otorita IKN oleh masyarakat, desain ketentuan tersebut tetap saja mengharuskan masyarakat dan masyarakat adat melepaskan tanahnya dan segala aspek kehidupan di atasnya.
Meski legal, pilihan hukum tersebut tak ubahnya wujud “aneksasi non-militeristik”. Sebab, masyarakat dan masyarakat adat dihadapkan pada pilihan yang semuanya adalah keharusan untuk melepaskan aset mereka. Padahal secara teoretik negara hadir karena adanya penghormatan terhadap kedaulatan tanah dan perlindungan negara terhadap kepemilikan/penguasaan properti oleh rakyat merupakan prinsip dasar dalam Westphalian System dan Du Contract Social.
Sikap pendekatan aneksasi non-militeristik kepada masyarakat dan masyarakat adat tersebut justru berbanding terbalik dengan megahnya insentif yang akan diterima para investor. Khususnya dalam aspek pertanahan yang memungkinkan para investor memegang hak guna usaha maksimal 190 tahun, hak guna bangunan maksimal 160 tahun, dan hak pakai maksimal 160 tahun.
Pemberian hak atas tanah dimaksud masing-masing berlaku untuk satu siklus pertama dan dapat dilakukan pemberian kembali satu siklus kedua. Artinya, apabila kedua siklus tersebut digabungkan, investor dapat memegang hak guna usaha maksimal 380 tahun, hak guna bangun maksimal 320 tahun, dan hak pakai maksimal 320 tahun. Jangka waktu yang bahkan lebih lama (khusus hak guna usaha) apabila dihitung sejak kedatangan Belanda pertama kali ke Indonesia pada pada tahun 1596 sampai penyerahan kekuasaannya kepada Jepang pada tahun 1942.
Kelatahan
Lahirnya Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan IKN justru menunjukkan kalau pembangunan IKN memiliki sejumlah permasalahan daripada dipahami sebagai upaya institusional untuk menyelesaikan persoalan. Terakhir, Jokowi mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2024 tentang Satuan Tugas Percepatan Investasi di IKN yang dipimpin oleh Menteri Investasi Bahlil Lahadalia. Padahal sebelumnya juga telah diterbitkan Keppres No. 14 Tahun 2023 tentang Satuan Tugas Percepatan Perolehan Tanah dan Investasi di IKN yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Dalam watak perundang-undangan pemerintahan Jokowi, permasalahan mendasar kerap kali diselesaikan dengan pendekatan institusional perundang-undangan dengan tema “percepatan”. Upaya percepatan ini kemudian dilaksanakan oleh satuan tugas yang terdiri dari berbagai unsur kementerian/lembaga. Sayangnya, model semacam ini bukanlah cara menyelesaikan permasalahan dari akar permasalahan, tetapi hanya sebatas langkah reaktif terhadap permasalahan yang timbul akibat kebijakan pemerintahannya sendiri karena dibuat secara “ugal-ugalan”. Kemudian juga diselesaikan dengan cara “ugal-ugalan”. Pertanyaannya, mau sampai kapan?
Baca juga:
Tujuh Belasan di IKN, Ibu Kota (yang Diharapkan) Inklusif Indonesia