Polemik surat undangan haul berkop Menteri Desa dan Daerah Tertinggal Republik Indonesia makin melebar. Surat dengan tanda tangan Menteri Yandri Susanto jelas sekali menyalahi aturan, sebab urusan keluarga, kok, seolah begitu leluasanya menjadi urusan negara.
Tapi, surat berkop Menteri Yandri ini bisa dipahami karena pejabat kita memang tak punya rasa malu. Padahal dia baru saja disumpah di Istana Negara, di bawah Kitab Suci “… akan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya demi darmabakti saya kepada bangsa dan negara.” Janji di bawah Kitab Suci itu seolah menguap, seolah tak pernah diucapkan.
Sang Menteri pasti tahu bahwa penggunaan kertas berkop itu semestinya hanya untuk urusan negara, bukan keluarga. Tapi mengapa bisa terjadi? Ya, karena para penyelenggara negara kita sudah kehilangan etika dan moralitas, oleh sebab itu wajar kalau tak punya rasa malu.
Dalam satu risalahnya, 30 Sajian Ruhani (2007:71), Nurcholish Madjid (Cak Nur) menekankan pentingnya etika dan moralitas publik bagi seorang penyelenggara negara. Persisnya, akhlak mulia harus menjelma menjadi etik sosial bagi seorang pejabat. Sebab, jika ia kehilangan akhlak, bisa dipastikan ia memerintah dengan ugal-ugalan, dengan cara menabrak norma dan hukum yang berlaku. Apa yang diisyaratkan Cak Nur itu terjadi pada Menteri Yandri kemarin, pejabat yang baru saja dilantik.
Di Amerika Serikat sana, tulis Cak Nur, dulu Ronald Reagan pernah mengalami kesulitan politik karena terbongkar skandalnya membuat katebelece, surat sakti bagi anaknya untuk masuk perguruan tinggi. Padahal, surat sakti yang ditulis itu hanya di atas kertas tak berkop kepresidenan.
Meski Reagen tak pernah jatuh dari jabatan presiden, skandal (berasal dari kata scandalous, yang berarti “aib” atau “malu”) itu telah membuatnya kesulitan selama beberapa waktu.
Dengan menyuguhkan contoh itu, Cak Nur ingin masyarakat memahami bahwa seorang pejabat publik mesti membawa serta etika dan moralitas sepanjang ia berkhidmat sebagai abdi masyarakat. Sekali saja ia mengabaikan keduanya (etika dan moralitas), ia pasti celaka.
Tapi, sayangnya, kita gampang mengabaikan, mudah melupakan, lantas menganggap ini perkara biasa. Padahal, ini perkara krusial di mana ada penyelewengan aturan yang dilanggar, yang dilakukan bukan oleh orang biasa: tapi oleh pejabat yang pasti memahaminya.
Kita berharap para pejabat lekas siuman, lalu belajar dari kesalahan, menahan diri untuk tidak mengkhianati ikrar yang diucapkan di bawah Kitab Suci, mengambil pelajar bahwa amanah harus ditunaikan, bukan dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi dan keluarga.
Wallahua’lam bi al-shawab.
Bacaan terkait
Kabinet Prabowo yang Gemuk dan Akomodatif