Di sebuah kerajaan kecil bernama Andainusa, hiduplah seorang raja yang bijaksana—begitulah yang selalu diwartakan oleh para penasihatnya. Raja itu, yang bergelar Raja Julid Deforesta, sering berpidato tentang betapa pentingnya melindungi hutan seluas 100 juta hektare yang membentang di wilayah kekuasaannya. “Hutan ini adalah warisan untuk generasi mendatang,” ujarnya dengan suara lantang di hadapan rakyatnya. “Kita harus menjaganya agar pangan, air, dan energi tetap aman.”
Namun, di balik kata-kata manisnya, tersimpan rencana yang jauh dari mulia. Raja Julid Deforesta sebenarnya hidup dalam bayang-bayang ketakutan. Ia tunduk pada perintah Yang Dipertuan Agung dan Sangat Mulia Paduka Prabawa, raja dari kerajaan besar yang wilayah kekuasaannya meliputi separuh benua. Sang Prabawa dikenal sebagai penguasa yang tak segan menghukum kerajaan kecil yang tak patuh.
Suatu hari, Raja Julid Deforesta mengumpulkan para penasihatnya di balai kerajaan. Dengan wajah serius, ia berkata, “Wahai para penasihatku, kita dihadapkan pada masalah besar. Keamanan pangan, energi, dan air kita terancam. Untuk itu, aku memutuskan untuk membuka 20 juta hektare hutan demi kesejahteraan rakyat.”
Para penasihat saling pandang, ada yang mengangguk setuju, ada pula yang diam seribu bahasa. Salah seorang penasihat tua, Mpu Wira, memberanikan diri bertanya, “Paduka, bukankah hutan itu sumber kehidupan kita? Jika kita membukanya, bagaimana nasib pangan dan air kita di masa depan?”
Raja Julid Deforesta tersenyum tipis, tetapi matanya menampakkan kegelisahan. “Mpu Wira, kau terlalu khawatir. Kita hanya membuka sebagian kecil. Lagipula, ini untuk kepentingan rakyat. Pangan, energi, dan air harus diutamakan.”
Mpu Wira menghela napas, tetapi ia tak berani melanjutkan sanggahannya. Ia tahu, di balik dalih “kepentingan rakyat”, terselip kepentingan para konglomerat kerajaan—para saudagar kaya yang dekat dengan raja. Mereka telah lama mengincar kayu-kayu berharga dan lahan subur di hutan itu. Selain itu, Mpu Wira juga mendengar desas-desus bahwa keputusan ini sebenarnya dipengaruhi oleh perintah tersirat dari Yang Dipertuan Agung Paduka Prabawa, yang menginginkan kayu-kayu itu untuk proyek megah di kerajaannya.
Tak lama setelah keputusan itu diumumkan, pembabatan hutan pun dimulai. Para pekerja dikerahkan, mesin-mesin berat didatangkan, dan pohon-pohon berusia ratusan tahun tumbang satu per satu. Rakyat kecil yang hidupnya bergantung pada hutan mulai merasakan dampaknya. Mata air mengering, ladang mereka gagal panen, dan binatang-binatang buruan menghilang.
Suatu malam, di sebuah dusun terpencil, berkumpullah beberapa warga. Seorang tetua dusun, Ki Tani, berkata dengan suara lirih, “Raja kita bilang ini untuk keamanan pangan, tapi lihatlah, pangan kita justru semakin sulit. Ia bilang untuk energi, tapi sungai kita mulai surut, hingga kincir berhenti berputar. Apa benar ini untuk rakyat, atau untuk para saudagar yang kaya?”
Seorang pemuda bernama Jaka menyahut, “Ki Tani, kita semua tahu jawabannya. Raja kita telah diperdaya oleh para konconya. Mereka hanya memikirkan kekayaan mereka sendiri, bukan kita.”
Ki Tani mengangguk pelan. “Benar, Jaka. Tapi apa daya kita? Raja tak akan mendengar suara rakyat kecil seperti kita. Apalagi, aku dengar ini semua karena tekanan dari Yang Dipertuan Agung Paduka Prabawa. Raja kita takut, dan kita yang jadi korban.”
Sementara itu, di istana, Raja Julid Deforesta sedang berpesta dengan para saudagar. Mereka bersulang untuk kesuksesan proyek pembukaan hutan. “Paduka, ini adalah langkah bijaksana,” puji seorang saudagar. “Dengan ini, kerajaan Andainusa akan semakin makmur.”
Raja Julid Deforesta tersenyum puas, tetapi hatinya dipenuhi kegelisahan. Ia tahu, keputusannya ini bukan hanya untuk kepentingan rakyat, melainkan juga untuk memenuhi tuntutan Yang Dipertuan Agung Paduka Prabawa. “Tentu saja. Ini semua untuk kesejahteraan rakyat,” ujarnya, meski suaranya terdengar hampa.
Di luar istana, angin berembus membawa kabar pilu. Hutan yang dulu hijau dan rimbun kini tinggal kenangan. Generasi mendatang mungkin hanya akan mendengar cerita tentang hutan yang pernah ada, sambil merasakan dampak dari keserakahan dan ketakutan yang terjadi di masa lalu.
Dan demikianlah, kisah Raja Julid Deforesta menjadi pelajaran bagi siapa pun yang mendengarnya. Bahwa kata-kata manis sering kali menyembunyikan niat busuk, dan bahwa alam yang dirusak tak akan pernah bisa kembali seperti semula. Ketakutan pada penguasa yang lebih besar hanya akan melahirkan kehancuran bagi rakyat kecil.
Ulasan Pembaca 1