Dalam menghadapi tantangan perubahan iklim yang semakin nyata, dunia membutuhkan perubahan mendasar dalam cara energi diproduksi dan dikonsumsi. Dengan setiap tahun terus tercatat menjadi lebih panas dibandingkan tahun-tahun sebelumnya lantaran emisi gas rumah kaca yang terus meningkat, transisi menuju energi terbarukan bukan lagi sekadar pilihan, tetapi sudah menjadi keharusan bila kita semua ingin selamat dari bencana iklim. Dalam skenario ini, sektor perbankan memegang peran krusial sebagai salah satu pendorong utama perubahan melalui kebijakan pembiayaan yang progresif dan bertanggung jawab.
Oleh karena itu, sangat menyedihkan bila di hari-hari belakangan ini kita malah mendengar banyak bank global yang mundur dari pembiayaan yang progresif itu. HSBC, misalnya, baru saja mengumumkan bahwa target Net Zero Emissions atau NZE-nya dimundurkan 20 tahun, yaitu dari 2030 menjadi 2050. Tetapi, sebelum terlampau bersedih dan menyesalkan fenomena itu, sebetulnya masih banyak bank, termasuk dan terutama di Indonesia, yang masih bertanya-tanya tentang apa yang perlu dilakukan bila bank memang benar-benar mau berkontribusi di dalam transisi energi.
Saya mencari tahu dengan memasukkan 16 laporan keberlanjutan dan laporan khusus iklim yang diterbitkan oleh bank-bank di level global ke dalam mesin Kecerdasan Buatan NotebookLM. Hasilnya, saya menemukan ada delapan kategori yang termasuk di dalam peran yang mereka ambil dalam transisi energi. Tentu saja, ini di luar kebijakan, strategi dan prosedur yang juga mereka buat. Selain itu, untuk membuat kebijakan dan strategi kontribusi dalam transisi energi—sebagai bagian dari kebijakan dan strategi iklim—sebelumnya riset seperti climate stress test juga sudah dilakukan, dan hasilnya mereka pergunakan untuk membuat detail rencana dekarbonisasi dari portofolio pembiayaan. Jadi, apa saja kedelapan kategori aksi bank terkait transisi energi itu?
Pertama, bank berkontribusi dalam transisi energi adalah dengan meningkatkan pembiayaan untuk projek-projek energi terbarukan. Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), tenaga bayu (PLTB), tenaga air (PLTA), dan panas bumi (PLTP) merupakan solusi konkret untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Bank-bank diharapkan mengalokasikan lebih banyak dana untuk projek-projek ini, menyederhanakan proses pendanaan, dan mengembangkan produk keuangan inovatif seperti pinjaman hijau serta obligasi hijau.
Dengan cara ini, sektor keuangan menjadi katalis bagi pertumbuhan energi bersih. Tanpa dukungan finansial yang kuat, banyak projek energi terbarukan akan kesulitan berkembang, sehingga peran perbankan dalam memberikan pinjaman dengan skema yang lebih fleksibel dan menarik menjadi sangat penting.
Kedua, sisi lain dari aksi pertama, keberanian bank dalam menghentikan pembiayaan projek energi fosil. Ini akan memberikan sinyal kuat kepada pasar bahwa era bahan bakar fosil semakin mendekati akhirnya. Divestasi bertahap dari projek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) serta komitmen untuk tidak membiayai projek baru berbasis bahan bakar fosil harus menjadi kebijakan utama bank. Langkah ini bukan hanya hanya menunjukkan tanggung jawab terhadap lingkungan, tetapi juga langkah strategis dalam menghadapi risiko finansial dari aset terdampar (stranded assets) akibat pergeseran global menuju energi terbarukan.
Banyak bank global sudah mulai beralih dari pendanaan berbasis fosil, dan bank di Indonesia, seperti BRI juga telah mengambil langkah serupa. Hanya saja, bank-bank lainnya benar-benar perlu mengikuti langkah ini, agar tidak tertinggal dalam tren keuangan hijau yang kini semakin mendapatkan perhatian dunia.
Efisiensi energi merupakan langkah yang sering kali terabaikan, padahal dampaknya sangat signifikan. Ini adalah kategori aksi ketiga yang saya temukan. Bank dapat mengambil peran aktif dengan menyediakan pembiayaan untuk projek-projek efisiensi energi di sektor industri, bangunan, dan transportasi. Selain itu, bank juga bisa memberikan insentif kepada nasabah yang menerapkan teknologi hemat energi, seperti suku bunga rendah untuk pembelian peralatan efisiensi energi.
Dengan mendukung inisiatif ini, bank tidak hanya membantu mengurangi konsumsi energi global, tetapi juga memberikan manfaat ekonomi jangka panjang bagi nasabahnya. Bank-bank yang progresif telah bekerjasama dengan sektor properti dalam mendorong pengembangan bangunan berkonsep hijau yang menggunakan teknologi hemat energi, seperti pencahayaan LED dan sistem pendingin ruangan berbasis energi terbarukan.
Keempat, selain projek energi terbarukan berskala besar, bank-bank juga memiliki peran penting dalam memberdayakan masyarakat melalui dukungan terhadap energi terbarukan skala kecil dan menengah. Penyediaan pembiayaan untuk pemasangan sistem tenaga surya atap (rooftop solar) serta dukungan bagi UMKM di sektor energi terbarukan akan membuka akses energi bersih bagi lebih banyak orang.
Dengan menyediakan skema kredit mikro untuk masyarakat di daerah terpencil, bank dapat berkontribusi dalam pemerataan akses energi yang lebih berkelanjutan. Saya menemukan kasus-kasus di mana bank telah bermitra dengan koperasi energi atau komunitas lokal dalam mengembangkan projek berbasis energi terbarukan yang memberdayakan masyarakat sekitar dan mengurangi ketergantungan terhadap jaringan listrik berbasis bahan bakar fosil.
Perbankan juga dapat menjadi pendorong inovasi di sektor energi dengan menyediakan dana untuk riset dan pengembangan teknologi baru, seperti penyimpanan energi dan jaringan pintar (smart grid). Ini adalah aksi kelima yang saya pelajari. Selain itu, bank dapat mendukung model bisnis baru yang memfasilitasi transisi energi, seperti sistem energi komunitas dan energi terdesentralisasi. Transformasi ini membutuhkan dukungan finansial yang stabil, dan perbankan memiliki peran besar dalam memastikan bahwa inovasi energi terbarukan dapat berkembang dengan cepat dan efektif. Dengan adanya pendanaan yang cukup untuk inovasi teknologi, sektor energi terbarukan bisa menjadi lebih kompetitif dan semakin diminati oleh pelaku usaha dan masyarakat luas.
Keenam, penerapan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) selalu dinyatakan sebagai bagian dari strategi inti perbankan dalam penilaian risiko dan keputusan pembiayaan yang mendasari kontribusi terhadap dekarbonisasi. Dengan memastikan bahwa investasi diarahkan ke projek-projek yang memenuhi beragam standar dan kerangka keberlanjutan yang dikaitkan dengan kinerja keuangan, bank dapat mengurangi dampak lingkungan negatif sekaligus meningkatkan transparansi dan akuntabilitas terhadap para investor dan nasabahnya.
Publik kini semakin menuntut bank untuk mencari keuntungan dengan memertimbangkan aspek sosial dan lingkungan yang terkait dengan kebijakan pendanaannya. Integrasi prinsip ESG dalam operasional perbankan juga akan membantu meningkatkan kepercayaan investor dan nasabah, terutama mereka yang peduli dengan keberlanjutan. Tanpa standar ESG yang kuat, bank jelas akan menghadapi tekanan dari pemangku kepentingan yang mengutamakan keberlanjutan dalam pengambilan keputusan investasi.
Perubahan besar seperti transisi energi tidak bisa dilakukan sendirian. Oleh karena itu, ketujuh, bank perlu menjalin kemitraan dengan lembaga keuangan internasional, organisasi global seperti Net-Zero Banking Alliance (NZBA), serta terlibat dalam inisiatif seperti Just Energy Transition Partnership (JETP). Dengan berkolaborasi, bank dapat berbagi risiko, mengakses pendanaan global, serta mengadopsi praktik terbaik yang telah berhasil diterapkan di negara lain.
Selain itu, kolaborasi ini juga akan memperkuat posisi bank dalam jaringan keuangan global yang semakin bergerak menuju arah keberlanjutan. Bank yang gagal beradaptasi dengan kecenderungan ini bisa kehilangan akses ke pendanaan internasional yang kini semakin ketat dalam menilai aspek lingkungan dari portofolio pembiayaan.
Terakhir, bank sebetulnya memiliki posisi yang kuat untuk memengaruhi kebijakan publik terkait transisi energi. Dengan mendukung kebijakan dan regulasi yang kondusif bagi energi terbarukan, bank dapat memastikan bahwa investasi mereka lebih terlindungi dari ketidakpastian regulasi. Keterlibatan aktif dalam konsultasi publik serta dukungan terhadap pengembangan standar ESG di tingkat nasional dan regional akan menciptakan ekosistem keuangan yang lebih berkelanjutan. Selain itu, saya juga menemukan bahwa bank juga memainkan peran sebagai advokat yang mendorong kebijakan insentif fiskal bagi projek energi terbarukan serta regulasi yang membatasi investasi pada energi berbasis fosil.
Dari apa yang saya pelajari itu, peran bank dalam transisi energi bukan hanya sekadar peluang bisnis yang besar, tetapi juga adalah perwujudan tanggung jawab sosial strategis. Apakah dengan menerapkan keseluruhan yang saya temukan itu maka bank sudah cukup dianggap sebagai pemimpin atau penggerak utama dalam transisi energi? Walaupun keseluruhannya itu tidak ringan, saya ingin menekankan bahwa, pertama, transisi energi itu haruslah berkeadilan (just energy transition). Karena itu, ketika bank hendak mengambil keputusan pembiayaan atau jasa keuangan lainnya, sangatlah perlu untuk memastikan beragam dimensi keadilan bagi seluruh pemangku kepentingan yang terkait dengan projek tersebut.
Kedua, bank-bank sangatlah perlu untuk memastikan bahwa seluruh kontribusi mereka—positif maupun negatif—terhadap iklim tidaklah hanya melalui sektor energi atau bahkan hanya melalui mitigasi emisi. Jadi, bank-bank juga sangat penting untuk memasukkan adaptasi ke dalam strategi iklimnya. Kedua hal ini tidaklah cukup menonjol, sehingga perlu mendapatkan perhatian lebih serius.
Uang tidak pernah agnostik terhadap keberlanjutan. Dia bisa menjauhkan kita dari, atau mendekatkan kita kepada, keberlanjutan. Dalam urusan dengan energi, uang bisa membuat energi menjadi semakin kotor atau semakin bersih. Oleh karena itu, bank yang benar-benar serius dengan keberlanjutan tak punya pilihan selain terus mengarahkan pembiayaan dan jasa keuangan lainnya untuk energi yang semakin bersih. Dan itu artinya beragam aksi perlu dilakukan, sebagaimana yang telah saya uraikan di atas. Menunda aksi-aksi tersebut berarti membahayakan dunia, juga membahayakan bisnis perbankan sendiri lantaran risiko transisi dan fisik dari iklim hanya akan semakin meningkat seiring berlalunya waktu. Sampai emisi gas rumah kaca benar-benar turun di seluruh dunia.
Bacaan terkait
Bisakah Demokrasi Menyelamatkan Kita dari Krisis Iklim?
Meregang Nyawa Ditikam Panas Mentari
Ulasan Pembaca 4