IKIGAI: CARA HIDUP AGAR DIBENCI MAUT
Dewa maut tampaknya enggan bertugas di Okinawa. Tak percaya? Lihat saja sendiri ke Okinawa, prefektur paling selatan di Jepang yang jaraknya dari Taiwan hanya sekira 500 km. Jarak itu lebih dekat ketimbang dari Bandung ke Surabaya (sekitar 700-an km). Posisinya di bagian barat Samudra Pasifik, membuat Okinawa menjadi pilihan terbaik Sekutu untuk membangun pangkalan udara demi menyerang Jepang, pada Perang Dunia II.
Tapi Perang Dunia pun nampaknya tak membuat warga Okinawa mampu disentuh maut. Lihat Okinawa masa kini: di sana penduduknya berumur panjang, berselimut bahagia, merayakan ultah ke 100 tahun usia nenek kakeknya. Artinya, masih banyak saksi sejarah Perang Dunia II yang hidup hingga saat ini. Data menunjukkan 68 dari 100.000 warga Okinawa, merayakan usia ke 100 tahun. Perayaan Jubilee bukan barang aneh di sana. Kok bisa?
Passion, Vocation, Mission, Profession
Mengapa warga Okinawa, kota yang dulu menjadi gerbang terakhir bagi pasukan Sekutu untuk merangsek ke Jepang dan kini juga menjadi pangkalan militer Amerika Serikat, penduduknya bukannya pengidap post traumatic syndrome (PTSD), sebaliknya malah panjang umur dan bahagia? Jangankan kita yang terheran-heran. Para peneliti sejagad pun sudah lama bingung, lalu meneliti rahasia panjang umur warga Okinawa. Salah satunya adalah Héctor García, bersama Francesc Miralles.
Garcia dan Miralles García dan Miralles melakukan penelitian di Zona Blue alias zona panjang umur yakni Okinawa, Jepang, dengan mewawancarai penduduk setempat. Terutama para centenarian (orang yang berusia di atas 100 tahun), untuk menggali rahasia hidup panjang dan bahagia mereka. Temuan utama keduanya —sepintas terdengar tidak terlalu istimewa— adalah pola hidup aktif, pola makan sehat, komunitas yang kuat, dan menemukan Ikigai-nya.
Penjelasannya begini: Pola hidup aktif penduduk Okinawa, berlaku untuk fisik dan mental. Meski berusia lanjut, tapi mereka tetap berkebun, berpartisipasi dalam komunitas lokal, bahkan menari. Warga Okinawa juga memiliki pola makan yang sehat: “Hara Hachi Bu”. Itu bukan brand restoran Jepang yang kondang di Jakarta lho ya.
“Hara hachi bu” adalah prinsip makan kenyang, tapi hanya 80% saja kenyangnya. Jenis makanan yang disantap juga nggak neko-neko: sayuran, buah-buahan, dan ikan. Selain itu, komunitas yang kuat antartetangga di Okinawa, juga istimewa. Mereka memiliki jaringan sosial erat berupa dukungan emosional dan sosial sepanjang hidup, yang dikenal sebagai “moai”. Bisa diduga, Ketua RT maupun Forkopimda (forum komunikasi pimpinan daerah) di sana nganggur. Karena tak ada tetangga yang saling baku tikai. Semua damai.
Nah… yang terakhir itu istimewa: Ikigai. Makhluk apa itu?
Setiap individu memiliki ikigai mereka sendiri, yang memberikan alasan untuk bangun setiap pagi dan menjalani hari dengan semangat. García dan Miralles menggambarkan ikigai sebagai pertemuan antara empat elemen, yaitu: apa yang Anda cintai (passion), apa yang Anda kuasai (vocation(, apa yang dunia butuhkan (mission), dan apa yang dapat membayar Anda (profession).

Apa yang Anda Cintai? (Passion)
Ketika Presiden AS Barack Obama makan sushi bareng Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe di Sukiyabashi Jiro bersama, suatu hari pada tahun 2014, pemilik restoran tersebut bukannya tepuk-tepuk dada tanda berbangga. Jiro Ono nama sang pemilik resto, mendengar Presiden Obama memuji sajian yang dibuat sendiri oleh Jiro. Kata Obama, “Ini adalah sushi terbaik yang pernah saya makan.”
Jiro Ono pemilik Sukibayashi Jiro yang buka sejak 1965, dikenal sebagai Master Sushi. Ia belajar membuat sushi sejak usia 7 tahun, dan itulah passion-nya. Hingga akhir hayatnya pada usia 98 tahun, ia tetap tekun belajar dan mengajarkan cara membuat sushi. Jiro menemukan ikigai-nya. Membuat sushi merupakan kegiatan yang memberikan kebahagiaan dan kepuasan pribadi bagi Jiro.
Film dokumenter Jiro Dreams of Sushi yang rilis pada 2011, menggambarkan penerapan ikigai dalam kehidupan Jiro. Ia percaya bahwa membuat sushi bukan hanya keterampilan, tetapi juga seni dan filosofi hidup. Prinsipnya dalam membuat sushi adalah kesempurnaan dalam setiap detail. Maka, penting bagi Jiro untuk teguh sejak pemilihan ikan, cara menyajikan, hingga cara pelanggan menikmati sushinya. Membuat sushi yang sempurna adalah dedikasinya seumur hidup, yang ia jalani dengan prinsip kesederhanaan.
Apa yang Anda Kuasai (Vocation):
Edson Arantes do Nascimento, lahir pada 23 Oktober 1940 di Três Corações, sebuah kota kecil di, Brasil, hidup sebagai bocah dengan ayah yang frustasi, dan belitan kemiskinan. Ayahnya, Dondinho, sebenarnya pesepakbola. Namun cedera membuatnya tak dapat lagi menendang bola. Sedangkan Celeste, ibunya Edson, tak ingin anaknya menjadi pesepakbola, karena kapok melihat nasib suaminya. Ia ingin Edson menjadi pegawai. Maka demi membantu ekonomi keluarga, bocah Edson bekerja sebagai tukang semir sepatu di jalanan kota.
Tapi Edson yang setia pada mimpinya untuk menjadi pemain bola, seolah tak peduli pada kemiskinan yang membelit. Meski tak mampu membeli bola, ia dan kawanan bocah-bocah sekampung —mereka membentuk tim sepak bola kampung bernama Os Sete de Setembro—, malah membuat bola dari kaus kaki tua yang diisi dengan kertas atau kain dan diikat dengan tali. Tak mampu membeli sepatu bola, ia tetap berlatih meski harus “nyeker”. Harap maklum jika pulang latihan, kakinya sering sobek-sobek.
Di kampungnya yang tak ada lapangan bola, sehingga mereka berlatih di jalanan atau di tanah kosong, nama Edson terkenal sebagai bocah pemain bola yang handal. Hingga pada suatu hari saat Edson berusia 11 tahun, ia ditemukan oleh Waldemar de Brito, seorang mantan pemain tim nasional Brasil. Brito melihat potensi besar dalam Edson, lalu membawanya ke klub Bauru Atlético Clube. Empat tahun kemudian, dalam usia 15 tahun, Edson terpaksa meninggalkan keluarganya untuk pindah ke kota Santos. Ia bergabung dengan klub Santos FC.
Penampilan genilangnya di Santos, membuatnya dipanggil ke tim nasional Brasil pada 1957. Satu tahun kemudian, pada usia 17 tahun, Edson mencetak hat-trick di semifinal melawan Prancis dan dua gol di final Piala Dunia 1958 di Swedia, saat Brazil melawan Swedia. Sejak itu, dunia mengenalnya sebagai Pele, legenda sepak bola sepanjang masa.
Ikigai seorang Pele, terletak pada bakat yang ia miliki, dan tekad serta ketekunan kuat untuk terus mengembangkannya, tanpa tunduk pada kendala. Pele adalah contoh
Apa yang Dunia Butuhkan (Mission):
“Rakyat Pantai Gading! Dari utara, selatan, tengah, dan barat… Hari ini kita telah membuktikan bahwa semua orang Pantai Gading dapat hidup berdampingan dan bermain bersama dengan tujuan yang sama: lolos ke Piala Dunia! Kami berjanji bahwa perayaan ini akan menyatukan rakyat. Hari ini, kami memohon kepada kalian… “Maafkan satu sama lain! Hentikan perang ini! Tidak akan ada lagi pertempuran! Tolong letakkan senjata kalian dan selenggarakan pemilihan yang bebas. Semua akan lebih baik!” (Didier Drogba, pidato pada 2005).
Didier Drogba, salah satu striker terbaik dalam sejarah sepak bola, menyampaikan pidato di atas, pada tahun 2005. Pidato bersejarah yang ia sampaikan pasca Tim Nasional Pantai Gading lolos ke Piala Dunia 2006 untuk pertama kalinya, didasari kepedihan hatinya melihat kerabatnya di Pantai Gading tengah dilanda perang saudara sejak 2002. Perang saudara yang brutal itu, telah mengoyak bangsanya menjadi dua kubu: pemerintah di selatan dan pemberontak di utara.
Mungkin tidak secara teori, namun secara praktek: Didier Drogba menemukan ikigainya: menggunakan sepak bola untuk menciptakan perdamaian di negaranya, Pantai Gading. Menjadi ikon sepak bola yang dikenal kuat, cerdas dalam permainan, dan memiliki kepemimpinan tinggi, tidak cukup bagi seorang Drogba. Ia menyuarakan perdamaian di dunia, tak sekedar melalui kata-kata, tapi juga dengan mendirikan Didier Drogba Foundation, yang membangun rumah sakit dan sekolah di Afrika.
Didier Drogba adalah contoh sempurna dari vocation dalam Ikigai. Ia menggunakan bakatnya di sepak bola untuk sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri. Pidatonya yang disiarkan di seluruh negeri dan menjadi titik awal rekonsiliasi nasional, telah menginspirasi jutaan orang di seluruh dunia.
Apa yang Dapat Membayar Anda (Profession).
Shigosaki Hinohara lahir di Yamaguchi, jauh sebelum Perang Dunia I. Tepatnya pada 4 Oktober 1911, saat musim dingin mulai tiba. Ketertarikannya pada hal-hal medis, mendorong niatnya untuk bisa sekolah kedokteran. Harapannya terkabul, ia diterima sebagai mahasiswa kedokteran di Universitas Kekaisaran Kyoto, dan lulus pada tahun 1937, ketika dunia sudah di ambang Perang Dunia II.
Ketika Perang Pasifik menghempas Jepang, Sejak 1941, dokter Hinohara bekerja di St. Luke’s International Hospital di Tokyo, tempat ia meniti karir puluhan tahun di sana. Sebagai dokter muda, dokter Shigosaki Hinohara membangun kembali sistem perawatan kesehatan di Jepang, yang lumat oleh Perang Dunia II.
Kelak, ia menjabat sebagai Direktur dan Ketua Dewan di rumah sakit tersebut. Bukan kaleng-kaleng ilmu yang ia kuasai soal kedokteran. Salah satunya, ia menjadi salah satu arsitek utama sistem pemeriksaan kesehatan preventif (medical check-up), dan banyak prestasi lainnya.
Dokter Hinohara seolah tak mengenal pensiun. Baginya, pensiun justru dapat mempercepat penuaan dan penyakit. Ia terus bekerja hingga usia nyaris 100 tahun, merawat pasien, menulis buku, dan memberikan kuliah. Ia menulis lebih dari 150 buku, termasuk buku terkenal “Living Long, Living Good”, yang mengungkap rahasia hidup panjang dan sehat.
Ia mempraktekkan pola makan sehat yang lebih memilih ikan dan sayuran ketimbang daging merah, seolah mendukung prinsipnya yang menolak untuk terlalu bergantung pada obat. “Energi positif dan pola pikir yang baik lebih penting daripada obat-obatan dalam menjaga kesehatan,” kata dokter yang menemukan kebahagiaannya saat membantu pasien dan orang-orang lain.
Ikigai sang dokter, dijalaninya hingga menutup mata pada usia 96 tahun, melalui pola hidup, pola pikir, perilaku, dan kesetiaan terhadap profesinya. Bahkan setelah wafat pada tahun 18 Juli 2017, prinsip-prinsip hidupnya masih menginspirasi banyak orang.
Garcia dan Miralles, duo penulis buku ini, menyimpulkan bahwa Ikigai adalah persimpangan dari empat elemen kehidupan, yaitu: passion, vocation, mission, profession. Ketika seseorang menemukan titik keseimbangan antara keempat elemen ini, mereka akan merasa lebih bahagia, lebih sehat, dan memiliki harapan hidup lebih panjang.
Buku ini tidak hanya menjelaskan konsep ikigai, tetapi juga memberikan cara bagaimana kita dapat menerapkannya dalam kehidupan modern. Fokus pada pekerjaan yang kita cintai, bukan hanya mengejar uang. Jangan terjebak dalam rutinitas tanpa makna—cari cara agar pekerjaan memberikan kepuasan batin. Berhenti dari pekerjaan yang membuat stres dan mencari yang lebih sesuai dengan nilai serta keterampilan kita. Temukan hobi yang membuat kita merasa “hidup” (melukis, menulis, berkebun, memasak, dll). Serta habiskan lebih banyak waktu dengan keluarga dan sahabat. Karena hubungan sosial yang kuat meningkatkan kebahagiaan dan umur panjang.
Mengapa kita tidak meniru prinsip Ikigai dari masyarakat Okinawa yang seolah tak mempan dilanda perang? Mereka tetap panjang umur, menyaksikan perang demi perang berlangsung di depan mata. Mereka memang menikmati setiap momen, tidak terburu-buru dalam menjalani kehidupan, dan tidak terlalu ambisius terhadap hal-hal materi. Fokus mereka pada kebahagiaan jangka panjang dan keseimbangan antara pekerjaan, hobi, dan keluarga, serta, mempraktikkan mindfulness dan spiritualitas. Meditasi dan ritual Shinto yang mereka jalani, menambah kualitas hidup mereka. Tanpa perlu berteriak kofar-kafir-kofar-kafir….
Ulasan Pembaca 1