Review Mendalam Never Split the Difference “Nego Sampai Lawan KO”
“Kami menyandera putramu, Voss. Beri kami satu juta dolar, atau putramu akan mati,” kata si “Penyandera” kepada Chris Voss, penulis buku ini.
Chris Voss bukan orang sembarangan. Ia sudah mengantongi jam terbang 20 tahun sebagai negosiator ulung FBI. Bernegosiasi dengan para teroris, sudah biasa baginya. Hal yang nyaris tak lagi mampu membuatnya syok, apalagi terjungkal. Namun sepandai-pandainya tupai meloncat, mendengar putranya sendiri menjadi tawanan, sempat membuat warna darah di tubuhnya memucat.
Lalu bagaimana negosiator FBI yang berpengalaman menjadi kepala tim Negosiasi Krisis FBI NYC itu membebaskan putranya? Apakah ia membayar uang tebusan? Jika tidak bisa, Voss malu dong pada reputasinya yang telah menangani lebih dari 150 kasus penyanderaan internasional. Apalagi ia lama memimpin tim negosiator penculikan internasional untuk FBI, periode tahun 2003 hingga 2007.
Hasilnya, Voss mampu “membebaskan” putranya, tanpa membayar sepeser pun. Itu sebab, ia menulis buku Never Split the Difference ini.
Hidup adalah Negosiasi
“Negosiasi bukan tentang menang. Ini tentang memastikan semua orang mendapatkan apa yang mereka butuhkan,” kata pengacara top Harvey Specter (Pearson Hardman) dalam serial televisi Suits (2011–2019).

Saya, Anda, dan miliaran orang di luar sana, mungkin bukan negosiator FBI. Tapi kita semua kerap harus menjadi negosiator: baik sebagai emak-emak yang sedang nego harga durian, atau pun calon pegawai yang sedang nego gaji dengan bagian keuangan. Terlebih bagian serikat pekerja di perusahaan, yang tugasnya memang harus nego soal nasib buruh.
Coba kita ingat-ingat, hal apa di dunia ini yang tak membutuhkan negosiasi? Kerja sama bisnis antara emak penjual peyek kacang dengan pemilik warung, ataupun antara dua perusahaan yang akan menjalin kolaborasi strategis, membutuhkan negosiasi. Pun dalam penyelesaian sengketa, misalnya antara suami istri, adik kakak terkait warisan, maupun sengketa antara karyawan dengan perusahaan. Anda seorang diplomat, mahasiswa Hubungan Internasional, pengusaha ekspor impor, pembayar pajak, pengacara, hingga koalisi partai? Semua membutuhkan negosiasi.
Anda tak perlu melamar kerja di FBI, untuk bisa menjadi negosiator ulung seperti Chris Voss. Siapapun yang ingin mempelajarinya, bisa membaca buku Never Split the Difference (NSD) ini. Sebab, dalam buku ini, Voss membagikan teori yang ia terapkan dalam menyelesaikan kasus-kasusnya. Jadi buku ini juga mengisahkan kisah nyata yang seru-seru. Tapi mari kita simak tips dan trik Voss dalam bernegosiasi.

Pertama, Empati Taktis (Tactical Empathy). Voss membuka upaya negosiasinya dengan memahami memahami perasaan dan perspektif “lawan”. Memahami bukan berarti menyetujui lho ya. Tapi memahami atau paham, akan membuka pintu kepercayaan dari lawan. Setelah lawan percaya, maka diharapkan: mereka akan membagikan motivasi dan kekhawatirannya kepada kita. Sehingga akhirnya, negosiator akan dapat mempengaruhi lawan bicaranya.
Saat nego dengan penyandera, Voss menerapkan Empati Taktis antara lain. Kita mungkin tak perlu berurusan dengan sandera-menyandera, agar dapat mempraktekkan Empati Taktis. Namun, dalam bisnis atau pekerjaan, bisa saja seorang karyawan yang ingin mengajukan naik gaji, terlebih dahulu memahami kekhawatiran atasan tentang anggaran perusahaan. Berdasarkan data itu, barulah karyawan –atau mungkin saya— menyusun argumen yang menunjukkan bahwa kenaikan gaji akan memberikan manfaat jangka panjang bagi perusahaan.
Kedua, Teknik Labeling (Melabeli Emosi Lawan). Maksudnya begini: kita mengidentifikasi lalu menyebutkan emosi lawan saat itu, untuk menunjukkan pemahaman kita padanya. Hal itu juga dapat mengurangi ketegangan bagi kedua belah pihak. Misalnya, Voss mencontohkan, “Sepertinya Anda merasa frustrasi ya, dengan situasi ini?” Atau, “Kamu nggak yakin ya pada risiko yang mungkin terjadi, kalau kamu ambil tindakan seperti itu?”
Jika benar “label” yang Anda sematkan padanya, lawan akan merasa dipahami dan lebih terbuka untuk berdiskusi. Jika Anda emak-emak yang sedang menawar harga duku kiloan dengan penjualnya, tak perlu meniru Voss yang mengatakan pada pihak teroris, : “Sepertinya kalian merasa dikhianati oleh pemerintah Amerika.”
Voss kerap menggunakan labeling untuk membuat para penculik merasa didengar. Hingga akhirnya mereka lebih kooperatif dalam negosiasi. Dalam kehidupan sehari-hari, cobalah gunakan saat sedang berhadapan dengan debt collector yang sedang menagih hutang Anda. Berani nggak?
Ketiga, Teknik Mirroring atau mengulang kata-kata lawan, agar ia merasa bahwa negosiatornya satu frekwensi dengannya. Jika ia sudah merasa se-frekwensi dengan kita, maka ia akan terdorong untuk lebih menjelaskan maksudnya. Nah…ini sama saja dengan: dia memberikan infornasi.
Bagaimana caranya. Kata Voss, cobalah kita mengulangi kata-kata terakhir atau frasa kunci yang diucapkan lawan, agar ia merasa didengar. Misal, lawan bilang, “Saya tidak yakin apakah kita bisa mencapai kesepakatan ini.” Maka kita melakukan mirorring dengan menjawab, “Anda tidak yakin?” Maka lawan akan terdorong untuk menjelaskan maksudnya. Bisa dibilang, kita pura-pura bodoh.
Dalam negosiasi gaji, misalnya, jika atasan berkata, “Kami tidak memiliki anggaran untuk itu saat ini.” Kita jangan langsung lemas dan tak berdaya. Tapi kita justru menjawab, “Tidak memiliki anggaran saat ini?” Percaya deh, atasan akan terdorong untuk menjelaskan lebih lanjut tentang alasannya. Lama-•lama, bisa kok “lawan” terpojok.
Keempat, The Power of “No”. Kata “tidak” sering kali dipandang negatif, tetapi Voss menunjukkan bahwa menerima atau mendorong lawan bicara untuk mengatakan “tidak”, dapat menjadi langkah awal menuju negosiasi yang lebih jujur.
Contohnya, kita jangan bertanya, “Apakah ini waktu yang tepat untuk berbicara?” Jika ia jawab “Iya”, wah…peluang kita bisa hilang. Lebih baik bertanya, “Apakah ini waktu yang buruk untuk berbicara?” Ia pasti jawab, “Enggak kok.”
Mengapa penting untuk membuat lawan berkata “Tidak”? Karena hal itu akan membuatnya merasa lebih nyaman, dan cenderung untuk bernegosiasi secara lebih terbuka. Contohnya, saat calon pembeli dagangan kita terlihat ragu-ragu, sodok dia dengan pertanyaan, “Apakah Ibu ragu-ragu karena merasa bahwa harga kami nggak sesuai dengan kualitas produk kami?” Dijamin, ia akan menjawab “Bukan gitu.” Itu berarti kita telah membuka peluang bertanya lebih lanjut, “Kalau gitu, kenapa dong?”
Kelima. Teknik Kalibrasi Pertanyaan” (Calibrated Questions). Maksudnya begini, kita gunakan pertanyaan terbuka yang tidak dapat dijawab dengan “ya” atau “tidak,” untuk memaksa lawan bicara untuk berpikir lebih dalam. Caranya, gunakan pertanyaan yang dimulai dengan “Bagaimana” atau “Apa”.
Contoh yang Voss kemukakan dalam peristiwa “penyanderaan” putranya, ia bertanya kepada pihak penyandera yang menuntut tebusan 1 juta Dolar, “Menurut Anda, bagaimana cara saya bisa?” Si penyandera jadi terdiam, dan ikut mikir. “Iya ya, si Voss ini khan nggak mungkin punya duit sebanyak itu. Kalau dia minjem ke orang lain, malah kita bisa ketahuan,” gitu suara batin si penyandera.
Begitupun jika kita ditekan atasan, untuk mencapai target tertentu dalam penjualan. Ketimbang kita misuh-misuh, dan hal itu jelas tak membuat target segera tercapai, mending kita tanya ke atasa kita, “Bagaimana saya bisa membantu Anda mencapai target ini?”
Secara umum, negosiasi adalah keterampilan universal yang esensial, dalam berbagai aspek kehidupan. Kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif, memahami kebutuhan pihak lain, dan mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan sangat penting untuk keberhasilan dalam berbagai bidang tersebut.
Ada banyak contoh-contoh dalam buku ini, termasuk trik dan tipsnya, yang bakal memberi kita pencerahan. Sebab, selain sangat mencerdaskan, buku yang diterbitkan dalam Bahasa Indonesia oleh penerbit Renebook ini, mudah dipahami dan diterapkan dalam mengatasi masalah kita sehari-hari. Jika belum tergoda untuk membacanya, barangkali Anda memang belum ingin menjadi orang sukses ya?
Tentang Pengalaman Chris Voss

Tiga dekade sebelum film serial perampokan bank “Money Heist” ditayangkan di Netflix, Voss sudah berhadapan dengan para perampok bersenjata dan panik, yang berubah menjadi penyandera sejumlah petugas bank. Para perampok itu menyambangi Chase Manhattan Bank di Brooklyn, New York, suatu hari pada 1993, dengan tujuan merampok uang tunai. Naas bagi perampok ini, karena polisi tiba lebih cepat dari perkirakan mereka.
Panik, para perampok yang terjebak ini segera ganti skenario: menyandera beberapa karyawan dan pelanggan bank, sambil menuntut sejumlah uang tebusan, kendaraan pelarian, dan jaminan keamanan agar bisa lolos dari kepungan polisi. Chris Voss diperintahkan untuk membebaskan sandera, tapi tanpa membayar uang tebusan. Seperti biasa, Voss berhasi.
Dan itu bukan pertama kali. Voss yang sudah “ngelotok” dalam penanganan kasus-kasus seperti bencana Penerbangan TWA 800, hingga kasus Sheikh Blind pada awal tahun 2000-an. Sheikh Blind” (Syekh Buta). Voss menghadapi negosiasi paling musykil dalam kasus ini, karena melibatkan sandera Amerika yang diculik oleh kelompok ekstremis di Timur Tengah. Ia pensiun dari FBI pada tahun 2007 dan mendirikan Black Swan Group.
Voss terlibat dalam negosiasi dengan kelompok teroris Abu Sayyaf yang menculik warga Amerika di Filipina. Salah satu kasus terkenal adalah penculikan Jeffrey Schilling pada tahun 2000. Voss dan timnya bekerja untuk membebaskan Schilling tanpa membayar tebusan yang diminta kelompok tersebut. Mau seperti Voss? (*)
Identitas Buku
Judul Buku | Never Split the Difference |
Penulis | Chris Voss |
---|---|
Dimensi | 14 x 21 cm |
Cetakan | November 2024 |
Halaman | 396 |
Cover | Soft Cover |
Penerbit | Renebook |
ISBN | 9786238945917 |