Ketika dunia digebrak dan teror sadis digelar untuk sebuah tujuan absurd. Ketika bom pemusnah menyemburkan api kematian, lalu sepakat: War Against Terrorism. Tapi kegilaan terus menderu atau, seperti kata Julia Kristeva, terus memerangkap manusia dalam kebinatangan dan fantasi kekejaman, bercak darah, dan kematian. Maka, jagat manusia tak pernah sepi dari nyinyir darah, tubuh yang bercerai-berai, gedung yang hangus berpuing, muka-muka garang eksekutor, atau muka-muka pasi keluarga korban.
Jiwa Soliter
Kaum teroris berpijak pada suatu ideologi yang menjadikan mereka separatis, anarkis, pemberontak, nasionalis, revolusioner atau pemeluk agama yang radikal. Rata-rata mereka terpincuk oleh fanatisme yang kuat. Tetapi, apa pun dasar pijakannya, sebagai teroris mereka ditandai oleh tindakan kekerasan yang ditujukan kepada penduduk biasa atau non-combatting, yang tak dipersenjatai dengan sasaran mencapai khalayak yang lebih luas. Dengan cara ini, mereka berharap memperoleh pengaruh politik yang jauh lebih besar, diakui keberadaannya oleh masyarakat. Seperti digambarkan oleh Albert Camus dalam sandiwaranya, Les Justes, bahwa karena tujuan mereka hanyalah memberikan gangguan di mana saja, sampai tujuan politik mereka dikabulkan.
Di luar pemetaan “horrorgraphy”, terpancang kisah-kisah tanya, mengapa tindakan sadis dan teror itu mesti berlaku. Kata-kata “sadis” dan “teror” memang bisa menyorongkan kejijikan, tapi sekaligus juga pesona. Kesadisan bahkan bisa menjadi wilayah eksplorasi diri demi menguak realitas baru. Sastrawan-filsuf Prancis Baudelaire, misalnya, malah mencitrakan ekstase diri akan darah dan penyiksaan. Gagasan subversif tersebut sama halnya yang dilakukan oleh Marquis De Sade, ketika kata sadis membaku, yang menggilai liturgi kekejaman hingga hampir tiga puluh tahun hidupnya dihabiskan di penjara.
Atau dulu ada gegeran Soemanto, kanibalis dari Purbalingga yang tak pernah menekuri bahwa kesadisan sebagai suatu yang najis, tapi malah mistis. Tak ayal, ada filosofi dan mistik di jantung kesadisan dan teror. Dan kematian telah membelingut citranya dalam percah-percah pesona, menepikan cita rasa yang menakutkan serta menjelma menjadi sarana untuk sebuah tujuan suci. Taruhlah seperti kata Hannah Arend dalam the Human Condition: demi sebuah kepastian diri dan identitas. Sebab, momen survival manusia bisa menjasad dalam pengalaman kekerasan.
Di sinilah lalu kematian terpatri jadi sebuah tehnik. Maka, terorisme adalah politik kematian. Bukan kematian yang menjadi tujuan atau mencuplik kata filsuf Heidegger, Sein Zum Tode, semua ada menuju kematian, melainkan ketakutan akan mati yang memejar dalam diri massa. Melalui objektivikasi rasa takut kematian, dipertajam oleh kekaburan struktur sosial, atomisasi masyarakat dan defisiensi politik, maka teror menjadi efektif dalam pembentukan solidaritas negatif yang menjeruji jiwa-jiwa yang soliter, senyap, dan letih.
Kidung Cinta
Kaum sufi, kata Abul Husein al-Nuri, adalah manusia yang paling bijak di antara seluruh umat manusia. Ketika banyak orang memburu karunia Tuhan, sang sufi justru merindukan keintiman dengan Tuhan. Ketika semua orang mengejar dan memuaskan diri dengan sifat-sifat, sang sufi mencari esensi ilahiah dan tak menjunjung tinggi apa pun kecuali esensi itu. Ketika banyak orang menampilkan kekuatannya, sang sufi menyendiri seraya berdoa, memohon kasih bagi mereka.
Ketika banyak orang berlomba untuk dipuji, sang sufi justru melahiriahkan keburukan dirinya (malamatiyah). Ketika sufi Bayazid al-Busthami dipukul anak muda dengan seruling, ia justru mengganti kerusakan seruling dengan sejumlah uang dan makanan. Ketika Abu Hasan Busanji ditinju oleh seseorang, ia justru memaafkannya. Ketika Abu Ali Rudbari dipukul kepalanya oleh seseorang dengan kendi, ia malah menghiburnya, hingga orang itu lupa akan rasa malunya dan kembali riang.
Bagi kaum sufi, tidak melakukan perlawanan memiliki dua aspek. Pertama, tersinggung adalah sifat eksistensi diri dan egosentris, sedangkan sufi adalah “tanpa ego”. Jadi, barang siapa yang kesal dan melakukan kekerasan, masihlah ia seorang yang sadar akan identitas dirinya terpisah dari Tuhan. Lebih jauh, ia malah orang yang menyekutukan yang lain dengan Tuhan, bukannya seorang yang bertauhid. Kedua, sufi adalah seorang yang berpasrah diri kepada Tuhan dan berpuas diri dengan kehendak-Nya. Apa pun penderitaan dan kehinaan menimpanya, ia justru menganggapnya sebagai kiriman ilahi.
Semua itu dimungkinkan karena jalan yang ditempuh kaum sufi adalah “jalan cinta”. Jalan cinta ini bukan melalui pemikiran, melainkan jalan penghayatan dan pengamalan jiwa yang bergerak tiada batas (la nihayata lah). Tuhan didekati melalui cinta, dan hanya melalui keagungan dan rahmat ilahi, intimasi (al-uns) bersamanya bisa tercapai. Dalam sufisme cinta dan pengetahuan tidak bakal pernah benar-benar bisa dipisahkan.
Masing-masing tarekat sufi hanya menekankan satu segi tanpa pernah menafikan segi lainnya. Sesungguhnya cinta sufi (‘syq) dipahami kaum sufi sebagai realisasi aspek gnosis (ma’rifah). Metafisika paling murni jika hanya bercorak teoretis adalah kecil dibandingkan dengan realisasinya dalam jiwa manusia. Ia adalah sejenis cinta yang dikawinkan dengan gnosis serta mengantarkan pada keesaan Allah (tauhid), yang akan mengatasi semua bentuk dualitas, bahkan dualitas yang ada antara sang pecinta dan kekasih. Dari sini bisa dipahami bila al-Ghazali menempatkan al-Hallaj dan Abu Yazid al-Bustami sebagai orang yang telah mencapai puncak hakikat tauhid (khawash al-khawash).
Para guru sufi senantiasa berjuang keras untuk membangkitkan sebuah sikap persahabatan yang saling menguntungkan dan pelayanan (khidmah) kepada sesama umat manusia tanpa beda serta mendukung perkembangan kualitas-kualitas yang tersimpuh dalam potensi setiap individu. Seperti yang terungkap secara herois dan tulus dalam kata-kata Abu Hasan al-Kharaqani: ”sekiranya aku dapat mati demi semua umat manusia, sehingga aku tidak perlu menunggu kematian”.
Dalam tradisi kesufian terdapat doktrin tentang etika spiritual atau yang disebut dengan “futuwwah”, yakni seabrek kualitas positif dari kepribadian manusia, seperti kejujuran, keterusterangan, dan kejernihan fikiran. Qani’i Thusi menggambarkan bahwa permata mahkota tubuh adalah kebajikan (muruwwah) dan kebajikan adalah tanda etika (futuwwah). Etika ini tidak menyebabkan sakit hati, membiarkan diri congkak dan memandang orang lain hina, membuat hati jauh dari kedengkian, tidak pernah merusak diri dengan perbuatan salah serta berharap dunia damai dan unggul.
Jalan yang dipilih sufi adalah pancaran dari kepekaan intuisi. Bagi sufi, sebuah pilihan rasional sesungguhnya hampa secara spiritual dan bisa menyeret kegamangan secara moral dan sosial. Jalaluddin Rumi menggambarkan bahaya ini dalam kisah perdebatan antara pencuri buah aprikat dan pemilik kebun. Keduanya saling beradu alasan dalam mendukung tindakannya. Maka, antara tindakan mencuri dan penyiksaan pemilik kebun terhadap si pencuri itu menjadi kabur, tertelikung oleh alasan rasional.
Periskiran terhadap aspek nalar bukan berarti sufisme kemudian menjadi larut dalam “gula-gula esoterisme” yang terpancang pada rasa manis estetika yang subtil dan memberantakkan kebutuhan aktivisme. Dengan melukar penalaran yang formalis, sufisme justru hendak membelalakkan mata atas kekerdilan cara pandang yang hanya menekuri sisi-sisi skriptural dalam agama. Sufisme hendak mencairkan upaya reduksionisme pola pikir yang dualistik yang hanya akan memantik ekstremisme.
Dalam tilikan sejarah, justru sufisme klasiklah yang menunjukkan gerak aktivisme melawan segala bentuk ekstremitas. Sufisme bergerak secara oposisif terhadap praktik-praktik kepicikan pemahaman keagamaan yang berwujud pada pembedakan radikal atas umat manusia atau pemberangusan terhadap kemanusiaan. Gerakan oposisi yang dilokomotifi oleh Hassan Bashri adalah sebuah contoh gerakan tasawuf yang paling fasih menentang despotisme politik pemerintahan dinasti Umayyah di Damaskus. Gerakan sufisme yang demikian adalah replika suatu gerakan yang berhimpitan (interwoven) dengan universalisme empati kemanusiaan.
Tentu sangat berbeda bila gerakan keagamaan merekah dari sudut pandang keagamaan yang formal-ideologis seperti pada gerakan Jamaah Islamiyah, Hizbut Tahrir, Ikhwan al-Muslimin, Thaliban, al-Qaedah atau gerakan ekstrem dan puritan lainnya yang saat ini tengah mekar bak cendawan di musim hujan. Gerakan-gerakan seperti ini akan mudah terjungkang pada kerangkeng ekstremisme yang justru ditangkis oleh sufisme, karena mencanangkan penafsirannya lebih pada teks-teks kitab suci secara dzahiri. Sebaliknya, kaum sufi lebih memahami teks-teks suci secara isyari dan ta’wili.
Nah, dalam situasi apa pun, tasawuf tetap abadi sebagai penjaga gawang “kesucian” dengan mekanisme dasarnya, yaitu pengendalian diri. Bagi sufi: “hasrat tidak dapat dilawan dengan hasrat, melainkan dengan hati yang berbinar (nur al-qudsi).
Bacaan terkait
Hijrah Muharam: Dari Radikalisasi ke Jihad Literasi
Kitab Kuning dan Jalan Moderasi
Ber-Islam: Hasil Ber-interaksi, bukan Ber-“transaksi” [Membaca Mun’im Sirry]
Wasathiyah Islam: Menggali Makna dan Relevansi Moderasi dalam Islam