Gelombang masyarakat yang terpapar radikalisme dari hari ke hari tampaknya semakin meningkat. Kendati pemerintah dan pihak-pihak terkait telah melakukan berbagai upaya konter narasi, kontra propaganda, dan penguatan moderasi, benih-benih calon “jihadis dadakan” selalu saja muncul bertebaran di mana-mana. Bagaimana fenomena ini bisa tumbuh, berkembang, dan menyebar?
Lebih dari satu dekade terakhir ini, pola pikir, sikap, dan tindakan ekstremisme—terkhusus berbasis keagamaan dengan segala bentuk latar historis, model gerakan, dan kompleksitas permasalahan yang melatarinya—semakin marak terjadi. Dalam perhitungan sejarahnya, sikap, dan tindakan radikal tak bisa dilepaskan dengan unsur agama. Bahkan semua agama-agama besar yang ada di muka bumi ini pernah dijadikan sebagai alat pembenar radikalisme.
Praktik Sosial
Dalam konteks Indonesia, kekerasan komunal termasuk di dalamnya, faktor agama menjadi “pemicu” kekerasan dengan korban terbanyak dibanding dengan tiga kelompok kekerasan lainnya: kekerasan saparatis, kekerasan negara versus masyarakat, dan kekerasan hubungan industrial. Hal ini mengindikasikan bahwa realitas keberagamaan manusia Indonesia memiliki potensi besar untuk “diolah” menjadi sumber lahirnya kelompok-kelompok ekstremis yang menjadikan kekerasan atas nama agama sebagai sarana dan media paling rasional dalam menuju arah perubahan.
Keterlibatan masyarakat dalam radikalisme, dalam hal ini berupa partisipasi aktif, tidaklah berada dalam ruang kosong. Kemauan masyarakat untuk melibatkan diri berada dalam suatu habitus sosial tertentu yang sarat dengan kepercayaan, nilai, dan norma-norma tertentu. Artinya, praktik sosial berupa partisipasi masyarakat dalam sikap dan tindakan radikalisme berada pada konteks sosial tertentu dalam suatu masyarakat. Hal ini dikarenakan masyarakat apa pun tidak mungkin terorganisasi tanpa suatu “budaya” yang mengorganisasikan makna dan praktik sosial mereka sehari-hari. Ini mengisyaratkan eksisnya “budaya” sebagai pilar bangunan struktur yang mengatur agen para pelaku praktik sosial sehari-hari.
Namun, pada sisi yang lain, manusia juga diyakini bukanlah robot yang bergerak penuh dengan mekanistik. Manusia bukan hamba struktur yang pasif. Manusia merupakan makhluk aktif yang senantiasa melibatkan pemaknaan dalam setiap tindakannya. Kendati dalam proses bertindak manusia mengacu pada aturan yang sama, tetapi pemaknaan pada tataran agen individu tidak akan sama.
Sikap dan tindakan radikalisme bisa dibentuk oleh struktur, yaitu hal-hal di luar individu yang berperan sebagai patokan umum bagi agen dalam bertindak. Keberadaan struktur itu sendiri juga dibentuk oleh agen. Meminjam istilah sosiolog Anthony Giddens, antara agen dan struktur hubungan yang terjalin bukan dualisme melainkan dualitas. Struktur adalah medium dari agen, dan pada saat bersamaan merupakan produk dari agen. Agen bukan sekadar mereproduksi struktur, tapi juga memproduksi struktur. Pernyataan Giddens tersebut menunjukkan bahwa suatu realitas sosial juga kental dengan dimensi subjektif pelaku. Selain itu, realitas sosial juga bersifat jamak, tidak tunggal, karena bergantung pada keragaman makna subjektif para agen.
Cara pandang teoretis ini mengambil posisi untuk memahami proses terbentuknya partisipasi masyarakat dalam sikap dan tindakan radikalisme. Partisipasi masyarakat diasumsikan sebagai praktik sosial, yang dalam konteks ini adalah bergabungnya dengan kelompok-kelompok radikal yang berulang. Teori Strukturasi Giddens merupakan sebuah teori yang menghubungkan antara agen dan struktur dengan pusat perhatian pada praktik sosial yang berulang (Ritzer, 2005). Dalam kaca mata teori ini, antara agen dan struktur tidak berdiri sendiri dan terpisah antara satu dengan yang lain, melainkan terdapat hubungan yang saling memengaruhi antara agen dan struktur. Relasi dualitas antara agen dan struktur terjadi dalam praktik sosial yang berulang dan terpola dalam lintas ruang dan waktu.
Pada tataran teoretis, konsep pertautan antara agen dan struktur sebenarnya telah banyak melahirkan aktor-aktor intelektual seperti Anthony Giddens, Arcehr, Pierre Bourdieu, Jurgen Habermas, dan George Ritzer. Pada deretan nama-nama tersebut, selain memiliki perbedaan istilah teoretis, masing-masing tokoh juga memiliki perbedaan substansial dalam bangunan konsep teoretisnya.
Yang perlu ditegaskan di sini adalah sebenarnya individu secara nyata ikut memproses “tatanan bayangan” dan “patokan umum” yang terstruktur. Aktor terlibat secara aktif dalam rangkaian proses menstruktur tatanan bayangan yang dimaksud. Kemudian secara bersamaan struktur itu juga memproduksi tindakan sosial yang menstruktur. Pendek kata, sikap dan tindakan radikalisme memang dibentuk oleh struktur, yaitu hal-hal di luar individu yang berperan sebagai patokan umum bagi agen dalam bertindak. Keberadaan struktur itu sendiri juga dibentuk oleh agen.
Keberadaan struktur ditempatkan sebagai “tatanan bayangan” dan “patokan umum” yang ikut dipertimbangkan oleh masyarakat dalam kerangka untuk ikut serta berpartisipasi. Apa yang seharusnya dikerjakan, kapan, oleh siapa, untuk tujuan apa, dan bagaimana berpartisipasi tentu tidak terlepas dari aturan-aturan yang telah terstruktur sedemikian rupa, sesuai dengan lingkungan sosial budaya setempat. Para anggota masyarakat tentu tidak akan menutup mata terhadap hal-hal demikian. Sebab, ketentuan-ketentuan itu merupakan bagian dari pola kehidupan yang telah dijalani selama ini. Hal serupa juga terjadi dalam proses partisipasi masyarakat dalam sikap dan tindakan radikalisme.
Sebagai bentuk “tindakan sosial”, sikap berpatisipasi bukan terjadi dalam ruang kehidupan masyarakat yang hampa akan kebiasaan-kebiasaan umum. Kesediaan individu sebagai suatu komunitas tertentu atau anggota kelompok untuk berperan serta dalam proses radikalisme tak bisa dilepaskan dari latar sosial budaya di mana dia hidup. Realitas keikutsertaan masyarakat dalam mendukung radikalisme telah menjelma sebagai “pedoman” hidup yang baku dalam berinteraksi dengan anggota masyarakat lain.
Keberadaan pedoman hidup ini akan senantiasa berperan untuk dijadikan bahan pertimbangan yang pada akhirnya menuntun perilakunya agar mengikuti pola baku kehidupan, yaitu sikap berpartisipasi yang sudah berjalan selama ini sehingga kebiasaan mengikuti pola baku tersebut pada akhirnya akan terwarisi antargenerasi.
Sementara itu, ketika masing-masing individu dalam komunitas ikut serta berpartisipasi dalam radikalisme—di mana sikap seperti ini telah menjadi “kebiasaan dan pemadangan umum”—maka apa yang dia lakukan itu sebenarnya telah melestarikan keberadaan “pola baku kehidupan” yang dimaksud. Fenomena ini semakin mempertegas bahwa kemauan untuk berpartisipasi merupakan produk dari tindakan yang dilakukan agen. Pada saat bersamaan, kebiasaan berpartisipasi itu sendiri juga berperan sebagai media yang mengakomodasi tindakan individu.
Dengan modal motivasi dalam bertindak, maka motivasi pada dasarnya meliputi keinginan dan hasrat yang mendorong tindakan. Nah, motivasi menyediakan rencana menyeluruh untuk bertindak. Tetapi, menurut Giddens, sebagian besar tindakan tidak dimotivasi secara langsung. Meski tindakan tertentu tidak dimotivasi dan motivasi umumnya tidak disadari pelakunya, namun motivasi memainkan peran penting dalam tindakan manusia (Ritzer, 2005). Oleh karena itu, untuk terjun dalam praktik sosial seorang aktor atau pelaku harus mengetahui cara berpartisipasi sesuai konteks dan cara mengikuti suatu peraturan. Pengetahuan itulah yang disebut dengan kesadaran praktis.
Partisipasi aktor dalam kehidupan praktis berdasarkan pengetahuan tentang bagaimana mengikuti aturan ini disebut Giddens dengan sifat kehidupan sosial recursive. Lebih lanjut Giddens membedakan tiga dimensi internal pelaku: motivasi tak sadar, kesadaran praktis, dan kesadaran diskursif. Motivasi tak sadar menyangkut keinginan atau kebutuhan yang berpotensi mengarahkan tindakan, tapi bukan tindakan itu sendiri.
Kesadaran diskursif mengacu pada kapasitas kita mererefleksikan dan memberikan penjelasan rinci serta eksplisit atas tindakan agen. Adapun kesadaran praktis menunjuk pada gugus pengetahuan praktis yang tidak selalu bisa diurai. Kesadaran praktis inilah yang merupakan kunci untuk memahami proses bagaimana berbagai tindakan dan praktik sosial kita lambat laun menjadi stuktur, dan bagaimana struktur itu mengekang serta memampukan praktik sosial.
Agen pada pandangan Pierre Bourdieu didominasi oleh “habitus” lebih bersifat mekanis dibanding dengan konsep agen menurut Giddens. Menurut Giddens, agen mungkin saja tidak mempunyai tujuan dan kemauan bebas, namun memiliki lebih banyak kekuasaan daripada agen menurut Bourdieu. Artinya, agen menurut Bourdieu lebih didominasi oleh kebiasaan atau struktur internal, sedangkan agen dalam pandangan Giddens adalah pelaksana dari tindakan.
Agen-agen, dalam konsep Giddens, mempunyai beberapa pilihan, setidaknya berpeluang untuk bertindak berbeda-beda dari yang seharusnya dilakukan; punya kekuasaan sehingga memungkinkan mereka untuk menciptakan pertentangan dalam kehidupan mereka. Sebaliknya, agen menurut Bourdieu adakalanya merupakan habitus terpisah yang terlibat dalam hubungan dialektika dengan dunia eksternal (Ritzer, 2005).
Gerakan Sosial
Merujuk pada Blumer (dalam Sztompka, 2005), gerakan sosial adalah upaya kolektif untuk membangun tatanan kehidupan baru. Sebagai tindakan kolektif, gerakan sosial merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri— termasuk segmen anggotanya. Karena itu, dalam keanggotaannya gerakan sosial terjadi dalam masyarakat dan bertindak terhadap masyarakat dari dalam. Sebagian besar perubahan yang dihasilkan oleh gerakan sosial adalah perubahan internal dalam gerakan sosial itu sendiri seperti anggota, ideologi, hukum, pranata, bentuk organisasi dan sebagainya. Sementara perubahan eksternal dalam masyarakat lebih luas yang ditimbulkan oleh umpan balik gerakan terhadap anggotanya dan struktur itu sendiri.
Salah satu hal yang mendasari terbentuknya gerakan sosial adalah fundamentalisme agama yang pada akhirnya mudah untuk menciptakan tindakan kekerasan kolektif atas nama agama. Fundamentalisme agama dikategorikan sebagai kelompok gerakan sosial karena memiliki tiga ciri. Pertama, gerakan fundamentalisme melibatkan banyak orang dan jaringan yang cukup luas sehingga bisa disebut sebagai tindakan kolektif. Kedua, gerakan fundamentalisme memiliki ideologi yang meliputi tujuan gerakan, kumpulan doktrin, mitos gerakan, taktik dan penilaian terhadap struktur yang hendak diubah. Ketiga, gerakan fundamentalisme tidak lahir dalam ruang kosong, akan tetapi ada faktor luar yang memengaruhi kelahirannya.
Dari sini sekiranya cukup dapat dipahami bahwa kelompok keagamaan radikal melihat pertarungan ideologi belum selesai. Hal ini tidak terlepas dari pandangan bahwa ideologi liberal atau kapitalisme itu hanyalah ciptaan manusia yang lebih banyak mendatangkan mudarat daripada manfaat. Dalam pandangan mereka, hanya agamalah yang mampu menandingi ideologi Barat seperti itu.
Ada dua variabel penting yang membentuk gerakan-gerakan radikal dalam kalangan keagamaan: faktor internal dan faktor eksternal. Faktor dari dalam lebih banyak berkaitan dengan penafsiran konsep seperti jihad yang dipahami sebagai perang terhadap liyaning liyan (the other). Mereka selalu melihat dunia dengan dua sisi saja, biner, hitam-putih, baik-buruk dan non-agama mereka. Adapun faktor eksternal merupakan reaksi terhadap modernisasi yang dilakukan oleh Barat terhadap misalnya dunia Islam. Pada konteks kekinian, radikalisme di kalangan sebagian penganut Islam didorong oleh kondisi sosial-ekonomi internasional yang dianggap tidak adil bagi kaum muslimin.
Tak pelak, aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama masih akan terus bergelinjang dan mengembang. Indonesia adalah salah satu negara potensial penyumbang sumber daya manusianya. Sebabnya sederhana: dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia dan dengan dasar beragama Islam yang masih dominan sebagai bungkus sosial saja, maka peluang merekrut anggota baru dari negeri ini masih sangat besar. Proses perekrutan anggota baru tidak terjadi dengan sendirinya. Ia lahir dari “rahim” pola interaksi sosial tertentu masyarakat. Dalam “rahim” tersebut terkumpul aneka macam dogma, pemahaman keagamaan, keyakinan individu, kultur keagamaan, pengaruh media massa dan media sosial, kondisi sosial-politik lokal ataupun global beserta segenap kompleksitas faktor pendukung lainnya.
Dengan konsep spt d atas maka apabila hal ini mampu d cermati dg detail akan menjadi acuan dlm membuat prog pembinaan terhdp ex ter…matur nuwun sgt bermanfaat