Ada satu hal penting di dunia ini yang tak boleh dilupakan. Jika engkau tak melupakan itu, walau di sisi lain melupakan banyak hal, maka misimu sukses. Namun sekalipun engkau telah mengerjakan banyak hal, tetapi lupa akan satu hal itu, sama saja engkau tidak mengerjakan apa pun. Begitulah kata Jalaluddin Rumi tentang tujuan hidup ini. Saking pentingnya suatu misi, ia mewakili segala-galanya. Tanpa itu, segala-galanya tidak berarti apapun.
Seperti ketika seorang raja mengutus seseorang datang ke sebuah desa, untuk menyelesaikan suatu tugas. Utusan itu datang ke desa yang dituju, lalu mengerjakan banyak hal. Berapa pun banyaknya hal yang telah ia bereskan, sebelum hal yang diperintah raja dikerjakan, maka statusnya sama saja dengan tidak melakukan apapun.
Begitulah hidupmu di dunia ini. Sejatinya manusia diturunkan ke dunia untuk mengerjakan satu tugas. Allah hanya peduli dan berfokus pada satu hal yang Dia perintahkan itu. Semua yang telah dilakukan manusia di dunia, hingga menghabiskan banyak energi, adalah tindakan bodoh jika itu tak ada hubungannya dengan target.
Peradaban di dunia ini telah sedemikian maju, tanda bahwa manusia telah melakukan banyak perubahan di atasnya. Namun sebenarnya kebanyakan isi dunia ini hanyalah permainan dan sendau gurau. Seperti telah diingatkan QS Al-Ankabut, 64: “Tidaklah kehidupan dunia ini melainkan hanya permainan dan sendau gurau”.
Gemerlapnya dunia yang begitu mempesona telah membuat manusia lupa dengan tujuan aslinya. Lalu apa tujuan hidup itu? Firman Allah dalam QS Az-Zariyat ayat 56: “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”. Tuhan menitahkan hanya satu hal kepada manusia selama hidupnya, tetapi mereka cenderung melupakan karena selalu terhanyut oleh gemerlap dunia yang melenakan.
Manusia adalah makhluk built in yang di dalamnya ada kolaborasi fisik dan jiwa yang selalu tarik menarik ke arah berlawanan. Jasmani dan ruhani itu kesatuan dualistis yang secara fundament memiliki tujuan berbeda. Jasmani bersifat hedonis, sedangkan ruhani spiritualis.
Jasmani adalah kendaraan manusia di dunia yang sifatnya sementara. Setelah mati jasad itu akan melebur kembali sebagaimana asalnya, menjadi tanah. Sedangkan ruhani adalah identitas yang hakiki. Ia tetap hidup ketika jasad mati, karena ia tak terikat dengan alam fisik. Ruh manusia hidup lama hingga akhir dunia, dan baru meninggal ketika sangkakala dibunyikan. Lalu ia dibangkitkan kembali untuk menghadapi hari perhitungan, dan berakhir di tempat berlabuh sesuai amalannya.
Banyak orang melakukan aktifitas duniawi yang sifatnya artifisial. Mereka larut dalam pemenuhan kebutuhan hidup yang sifatnya ragawi, berupa kenikmatan dunia mulai dari makanan, harta benda, kesenangan dunia, syahwat, jabatan, kehormatan dan sebagainya.
Kesibukan duniawi itu membuatnya lupa pada tujuan hidup utama, yaitu bersujud kepada Allah. Kebutuhan ruhani, yaitu salat, zikir, dan segala hal yang sifatnya berkebalikan dengan nafsu, sudah pasti tidak nyaman bagi raga. Itulah mengapa kebanyakan manusia gagal menyelesaikan tugas dunia. Ia sibuk bermain-main hingga melupakan apa yang dicari sesungguhnya.
Begitulah kita diciptakan di bumi. Dalam diri kita ada petualangan hebat berupa pertentangan tuntutan jasmani dan ruhani yang selalu berbeda. Skor yang dicapai akan menentukan hasil akhir, apakah kitaa akan meraih penyesalan atau kebahagiaan di hari perhitungan kelak.
Tugas dari Allah yang dibebankan kepada manusia sebagai khalifah di bumi tidakah ringan, tetapi manusia telah menyanggupinya di zaman azali. Allah swt berfirman dalam QS al-Ahzab 72: “Sesungguhnya Kami menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Namun mereka menolak dan khawatir untuk memikulnya. Dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim lagi amat bodoh.”
Namun bagi yang dapat menjalankan amanat tersebut, yaitu menghamba kepada Allah dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya, maka ia diberikan derajat yang tinggi melebihi makhluk manapun yang pernah Allah ciptakan di alam raya.
Jalaluddin Rumi menegaskan hal ini dalam kitabnya Fihi Ma Fihi. Dalam bahasa Arab kalimat itu bisa berarti “Sesuatu di dalam sesuatu”. Namun sebenarnya kalimat ini adalah ungkapan yang dipakai orang Persia untuk maksud “Inilah yang sebenarnya”. Kitab ini merupakan antologi prosa 71 judul yang ditulis berdasarkan pertanyaan dari para sahabat dan muridnya.
Jalaluddin Rumi bernama lengkap Jalauddin Mohammad Rumi, terkadang memiliki nama nisbah Balkhi, karena lahir di Balkh (Samarkand) tahun 1207 dan wafat 1273 M. Ia dikenal sebagai seorang penyair sufi yang memiliki derajat waliyullah. Karyanya amat populer di dunia barat dan timur sebagai karya sastra yang sarat materi sufisme. Karyanya yang berjudul Masnawi, yang ditulis di Konya, Turki, merupakan puisi berbahasa Persia terbaik yang sangat berpengaruh dalam dunia Sufisme.
Jalan Terdekat Kepada Allah adalah Salat
Pada suatu ketika seorang murid bertanya kepada gurunya, apakah ada jalan yang lebih mendekatkan diri kepada Allah daripada salat?
Guru menjawab, “Salat”. Salat akan mendekatkan diri kita kepada Allah, tetapi bukan sekedar engkau salat sebagaimana bentuk gerakan orang-orang salat. Salat itu lebih dari sekedar takbir, ruku’, dan sujud. Salat yang ditandai dengan takbiratul ihram hingga salam itu sejatinya adalah bungkus. Sedangkan substansinya tidak dibatasi oleh isyarat-isyarat fisik, tanpa awal dan tanpa akhir.
Salah satu bab yang menarik dalam buku ini berjudul “Ana al-Haqq”. Kalimat ini menjadi kontroversi keras, karena dianggap klaim kehebatan diri. Padahal itu dimaksudkan sebaliknya, meniadakan diri dibalik iradah Allah. Ana al-Haqq artinya “Aku adalah al-Haqq (Yang Mahabenar/ Allah)”.
Dalam formulasi kata itu Jalaluddin Rumi menggambarkan kondisi wushul, di mana seorang hamba telah mencapai derajat penyatuan dengan Allah. Ketika hati telah tenggelam (istighraq) bersama Allah, seluruh tubuh terserap ke dalam hati hingga semua indera menyatu, meski secara lahiriah terpisah-pisah.
Orang yang dalam kondisi istighraq tidak lagi menjadi maujud dan tak memiliki daya upaya. Ia sepenuhnya tenggelam dalam air sehingga semua tindakan yang tampak darinya sebenarnya bukan tindakannya, melainkan gerakan air.
Saat Jalaluddin Rumi mengatakan “Ana al-Haqq”, itu adalah ekspresi kepasrahan ketika ia meniadakan dirinya dan menyerahkan sepenuhnya kepada “angin”. Orang yang menyatakan itu sama saja mengatakan “Aku tidak ada” . Segalanya adalah Allah, tidak ada yang wujud selain Allah. Aku dengan keseluruhan diriku, adalah tiada karena aku bukan apa-apa.
Judul: Fihi Ma Fihi
Judul Asli: Kitab fihi ma fihi: ahadits Maulana Jalal al-Din al Rumi, Syiar al-Shufiyyah al-Akbar
Bahasa: Indonesia
Penulis: Jalaluddin Rumi
Penerbit: Zaman
Genre: Spiritual Islam
Edisi: Cet 9, 2021
Tebal: 435 halaman
ISBN: 9786021687987
Ulasan Pembaca 1