Sekitar dua minggu lalu, saya dapat kiriman buku dari Mas Bram (Ibrahim Ali-Fauzi), editor buku Prof Mun’im Sirry, Interaksi Islam: Bergelut dengan Teks dan Konteks. Mas Bram, dalam prolognya, memperkenalkan Prof Sirry sebagai cendekiawan “5G”: Cendekiawan yang petualangan hidupnya penuh “pergulatan”, “pergelutan”, “pergumulan”, “kegigihan”, dan “pergaulan”.
Profesor Sirry sendiri, sang penulis buku ini, dalam pengantarnya, menyatakan buku yang berisi sebelas esai ini hendak menggambarkan bahwa Islam merupakan agama yang membentuk dan dibentuk oleh pergelutan (engagement) yang tidak pernah selesai. Boleh jadi, engagement itulah yang menjadikan kumpulan esai ini diberi judul “Interaksi Islam”.
Sebagai agama yang dibawa oleh Nabi terakhir, Al-Quran sebagai sumber pokok ajaran ini sejak awal menyatakah sebagai kitab yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya (QS Al-Maidah: 48). Demikian pula dengan puncak kemuliaan religiusitas dalam ini yang mengambil istilah “taqwa” (QS Al-Hujurat:13), di mana kaum muttaqin memiliki ciri pokok: “beriman kepada Al-Quran dan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya” (QS Al-Baqarah: 4).
Sejak awal diturunkan, Al-Quran sudah menunjukkan sifat interaksi ini. Bukan hanya dengan Yahudi dan Nashrani—sebagaian besar ahli tafsir menyatakan istilah “ahlul kitab” untuk kedua agama ini, namun juga untuk jenis kepercayaan yang tidak begitu terkenal seperti kepercayaan kaum shabi’in.
Menjadi Muslim, menjadi pengikut Muhammad Saw., menjadi kaum yang beriman kepada Al-Quran, dengan sendirinya akan menjadikan sifat terbuka, mengakui pluralitas, mampu berdampingan dengan kepercayaan yang berbeda, dan bahkan aktif berinteraksi dengan kepercayaan lain, sebagai bagian dari keimanan.
Profesor Sirry dalam buku ini berhasil menunjukkan itu. Bahwa secara intelektual, dalam praktik interaksi sosial-politik, dan sudah jelas dalam interaksi ekonomi dan budaya, sejak era Nabi Muhammad Saw., sudah demikian adanya. Profesor Sirry mendeskripsikan hal ini dengan cara yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Baik melalui pendekatan historis (konteks) maupun dalam pergumulan teks.
Dari pendekatan teks, salah satu bab yang saya kagumi adalah bab yang berisi “Perkembangan Makna ‘Hanif’ dalam Al-Quran dan Tafsir. Dalam banyak terjemahan Al-Quran bahasa Indonesia, kata ini sering diterjemahkan “suci”, “benar”, “bersih”. Hampir sama penerjemahannya dengan kata kata “fithrah” yang juga sering mendapatkan terjemahan sama. Melalui penelitiannya yang saksama, Profesor Sirry menyisipkan keterangan semantik: bahwa penggunaan kata “hanif” merupakan isim hal dan dalam lebih berkemungkinan diterjemahkan “cenderung”. Cenderung ke mana? Bukan kepada kata “musliman” yang juga berbentuk isim hal, namun pada penekanan tentang selamat dari kemungkinan menjadi musyrik.
Konsekuensinya adalah ber-Islam merupakan sebuah proses yang memerlukan kesadaran kreativitas; tidak pernah berhenti mencari; terbuka untuk selalu berinteraksi. Bab mengenai “Membincang ‘Ulil Amri’ dalam Tradisi Tafsir Klasik”, memberikan rambu-rambu mengenai kesadaran ini. Bahwa ketaatan kepada Ulil Amri yang disederajatkan dengan taat kepada Allah dan Rasul-Nya, melalui pilihan huruf “waw” athaf; bukanlah ketataan doktrinal. Namun Ulil Amri lebih dekat sebagai kelompok kaum alim. Dengan kata lain, antara beragama dengan ber-ilmu merupakan dua sisi mata uang.
Kembali kepada “interaksi”, jika dibubuhi kata sosial yang menjadi “interaksi sosial”, sosiolog Selo Sumardjan mendefinsikan interaksi sosial dengan: “sebuah hubungan timbal balik yang terjadi antara manusia/individu dengan berbagai sisi kehidupannya.”

Dalam konteks ber-Islam sebagai sebuah pergumulan teks dan konteks—di bawah langit keniscayaan pluralitas, hubungan timbal balik ini bukan hanya terjadi di dataran muamalah; namun juga kesadaran teologis. Profesor Sirry dalam buku ini mengutipkan dialog tentang ekspresi trinitas kaum Nashrani yang sedikit-banyak mampu mengokohkan keimanan kaum Muslim. Bukan dengan cara memperdebatkan keimanan yang salah dan benar, namun dengan memperluas makna dan tafsir mengenai Isa As. sebagai “ruhullah”. Saya kira outcome yang diharapkan Profesor Sirry dengan dialektika seperti ini adalah kemampuan untuk hidup saling berdampingan, harmoni, saling hormat-menghormati; di mana pluralitas adalah sebuah keniscayaan yang boleh jadi juga merupakan kehendak Tuhan.
Sesuai namanya, “Mun’im Sirry”—saya terjemahkan dengan Pemberi Nikmat (Mun’im = isim fa’il) tentang rahasia-rahasia (diriku); berlembar-lembar kutipan dan argumentasi mengenai pluralitas dalam buku ini, akan terasa nikmat jika dibarengi dengan kesadaran sedang mencari rahasia-rahasia di balik pergumulan teks dan konteks; di balik kenyataan dan keniscayaan untuk terus ber-interaksi yang melibatkan rasionalitas dan cinta.
Saya berharap Profesor Sirry di karya-karya selanjutnya akan menyajikan hidangan mengenai interaksi Islam dengan agama-agama lain selain Yahudi dan Nashrani, semisal antara Islam dengan “Taoism”, sebagaimana sudah dirintis oleh Profesor Toshihiko Izutsu. Atau membongkar rahasia mengenai apa dan siapa kaum shabi’in yang diakui Al-Quran sebagai penempuh jalan selamat.
Harapan kedua adalah elaborasi Profesor Sirry mengenai tafsir sosial mengenai musyrik. Sebab, secara sosial, ekonomi, dan juga politik, kemusyrikan sebagai lawan dari isim hal hanifan wa musliman melibatkan praktik dan kesadaran bertransaksi untuk keuntungan duniawi, yang jelas menghalangi kemampuan ber-interaksi. Halangan inilah yang membuat kita gagal membaca sejarah peradaban Islam bukan sebagai proses kreatif, bukan sebagai proses menemukan praktik-praktik cerdas dalam menemukan mashalih al-mursalah melalui berinteraksi dengan peradaban lain; namun sekadar bertransaksi untuk memperoleh keuntungan retoris bahwa Islam-lah sebagai satu-satunya jalan keselamatan.
Ulasan Pembaca 2