Serial Kejahatan Favorit
Setelah subuh tadi saya mulai menghabiskan 6 episode terakhir musim ketiga Law & Order: Organized Crime. Sejak lebih dari 20 tahun lalu saya memang menonton Law & Order, Law & Order: Special Victim Unit, dan baru belakangan bisa menyaksikan Organized Crime lantaran relatif baru muncul di Max.
Kalau melihat laman Wikipedia, episode yang saya tonton tadi pagi itu sebetulnya sudah ditayangkan pada Mei 2023. Jadi, saya terlambat dua tahun menyaksikan sepak terjang Detektif Elliot Stabler dan kawan-kawannya menggulung para penjahat terorganisasi di New York dan sekitarnya.
Episode-episode yang saya tonton itu berkisah tentang seorang coder remaja yang membuat website sebagai platform untuk bertransaksi kejahatan secara anonim. Misalnya, A bisa mencari orang untuk membunuh B, atau mencederai C, atau memperkosa D, dengan mencantumkan harga yang bersedia ia bayarkan. Lalu X, atau Y, atau Z bisa menjawab permintaan itu, mengeksekusinya, menunjukkan bukti bahwa pekerjaan telah selesai dilakukan, dan bakal dibayar dengan mata uang kripto.
Si coder belia membuat platform itu berdasarkan keyakinan bahwa manusia itu pada dasarnya jahat. Untuk membuktikannya, dia memastikan anonimisitas pemesan dan pemberi jasa kejahatan. Kalau anonim, dia yakin, pasti orang mau membayar untuk mencelakai orang lain, dan pasti ada yang mau dibayar untuk melakukannya.
Kita sudah bertahun-tahun menyaksikan pemanfaatan platform digital untuk transaksi jasa. Selain itu, platform yang sama banyak kita manfaatkan untuk kebaikan, seperti memfasilitasi donasi. Tapi untuk yang seperti itu, baik platformnya, peminta dan pemberi jasanya tak bisa anonim. Kita harus dibuat percaya sepenuhnya pada seluruh pihak, dan itu menjadi tugas pemilik platform untuk memastikannya.
Apa yang saya saksikan di serial itu adalah kebalikannya: semua anonim, dan itulah yang membuat para pemesan dan pemberi jasa kejahatan menjadi percaya untuk bertransaksi. Pembayaran ke platform, tentu saja, terjadi segera setelah pemesanan dilakukan. Kalau pembayaran sudah dilakukan, baru pemesanan itu disebarluaskan. Kelak, ketika kejahatan sudah selesai, dengan bukti foto, barulah platform membayar jasa durjana itu.
Stabler dan kawan-kawannya benar-benar dibuat kelabakan. Olivia Benson, yang memimpin unit kejahatan seksual juga begitu, dan mereka menyatukan kekuatan untuk merontokkan platform itu, sebelum korban terus berjatuhan. Dan, tak disangka, kedua jagoan ini pun jadi sasaran permintaan jasa pembunuhan. Untungnya mereka selamat, dan pada akhirnya mereka bisa menangkap si empunya platform dari neraka itu.
Sisi Gelap Teknologi Informasi
Hal pertama yang tersirat di kepala saya adalah apakah penulis cerita ini mendapatkan idenya dari kejadian nyata? Kalau tidak, apakah dia tak khawatir akan memberi inspirasi bagi mereka yang punya kemampuan IT dahsyat namun berhati bejat? Saya ingat bocah 20 tahun asal Singapura, Malone Lam, bisa merampok dan menyembunyikan bitcoin senilai US$230 juta, utamanya untuk beli 30 mobil supermewah.
Tetapi, menjelang sore tadi saya kepikiran hal lebih jauh, sehingga perlu merasa menuliskan ini. Perkembangan teknologi informasi yang dipergunakan dalam bisnis sudah dituliskan secara gamblang oleh banyak kritikus, dan saya mengikutinya dengan lekat.
Buku-buku soal itu seabrek, dan kebanyakan bicara soal bagaimana Kapitalisme memanfaatkan teknologi informasi untuk memodifikasi perilaku. Yang paling dahsyat mungkin adalah karya Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism. Di kitab itu digambarkan bahwa setiap kita terhubung ke dunia maya, data kita dikumpulkan, dianalisa, dijual, dan dimanfaatkan untuk memodifikasi perilaku kita agar makin rajin membeli produk barang dan jasa yang diinginkan penjual. Termasuk produk politik seperti kandidat presiden. Itu demi profit yang makin membumbung.
Teknofeodalisme
Karya Zuboff yang terbit di 2019 itu sudah menjadi klasik, dan banyak orang yakin bahwa ini adalah bentuk Kapitalisme mutakhir. Tetapi Yanis Varoufakis punya keyakinan lain. Alih-alih Kapitalisme, pemanfaatan teknologi informasi oleh perusahaan-perusahaan raksasa malah membuat dunia memasuki babak baru Feodalisme, yaitu Teknofeodalisme. Technofeudalism: What Killed Capitalism adalah karya Varoufakis di tahun 2023 yang menjabarkan argumentasinya.
Kalau Kapitalisme hendak memupuk kekayaan lewat profit, Feodalisme menumpuknya lewat sewa. Wujud mutakhirnya adalah platform itu. Sekarang transaksi ekonomi terus dipaksa dilakukan lewat platform, dan ini membuat perusahaan-perusahaan pemilik platform cenderung terus membesar. Bagaimana tidak? Kita semua membayar sewa, baik secara langsung maupun tidak, tak peduli sebagai penjual atau pembeli dalam marketplace digital. Maka, para techbros kini menjadi landlords baru, atau tepatnya cloudlords. Bezos, Musk, dan Zuckerberg adalah di antara para pemilik cloud capital di mana semua orang terus digiring untuk bertransaksi dan membayar uang sewanya.

Saya kerap berbual dengan para pengemudi jasa angkutan mobil dan motor, yang tadinya merasa terbantu dengan platform sewa kendaraan, tetapi belakangan merasa makin sedikit yang bisa diperoleh masing-masing pengemudi. Hal yang sama juga dilaporkan pengemudi taksi, yang terus menerus dibuat bingung dengan perubahan versi aplikasi.
Dalam pemikiran Varoufakis, tentu para pemilik cloud capital-lah yang bisa menentukan nilai sewa platform mereka, sementara kita yang bertransaksi di situ cuma bisa pasrah. Para pengemudi dan penumpang pasrah dengan naik-turun harga, dan para pengemudi lebih pasrah lagi karena bagiannya harus dipotong untuk pemilik platform.
Hubungan kekuasaan yang timpang ini jelas bakal membuat jurang kesenjangan ekonomi makin lebar. Seingat saya, sekarang kekayaan 8 orang paling tajir sudah setara dengan 4 miliar orang paling bawah. Setelah 8 orang itu, cukup banyak yang beraspirasi untuk jadi pemilik cloud capital dan menikmati pemupukan kekayaan lewat moda produksi sewa yang menggiurkan itu.
Bakal seperti apa dunia? Entahlah. Banyak pakar yang menyerukan keadilan ekonomi, sosial, dan lingkungan untuk diperjuangkan dengan sungguh-sungguh untuk melawan Kapitalisme Surveilans maupun Teknofeodalisme. Ide-ide sudah banyak diberikan, tetapi saya belum melihat tipping point beragam dimensi keadilan itu di hadapan mata. Yang jelas, Teknofeodalisme itu bakal memakan banyak korban, termasuk korban nyawa. Dan itu tak perlu sampai menggunakan platform anonim untuk transaksi kejahatan seperti yang saya saksikan tadi pagi.
Depok, 10 Maret 2025 08:25
Bacaan terkait
Karena Detoks Digital Itu Tidaklah Cukup