Untuk melawan lupa, perlu sejenak mengingat peristiwa masa lalu. Baru berupa trailer yang diunggah di Youtube sudah terciduk dan banyak dinyiyir. Bukan sulap, bukan sihir, ini barangnya sudah ada hanya belum digarap utuh. Pada Oktober 2019 film untuk konsumsi layar lebar itu baru dirilis. Hayo, apa itu? Ah, mudah ditebak, apa lagi kalau bukan film The Santri. Kata-kata “the” rupanya lagi ngetren dan ‘milenial’ sehingga banyak jadi tempelan. Jadi, ingat grup ‘The Gembels”, legenda musik rock asal Surabaya. Dalam pelajaran nahwu-shorof-nya, kata “the” itu menunjukkan ‘ma’rifat’ untuk memperjelas dari sebuah kata sehingga hilang ‘nakiroh’-nya.
Nasib-nasib, kayaknya pas menimpa film besutan Livi Zheng ini. Sudah orang “luar” dan “non-Muslim” pula yang menyutradarai. Lagi pula digandengkan dengan Prof KH Said Aqil Siraj, ketum PBNU pada waktu itu, sebagai produsernya. Tambah “sedap” muntahan caci maki oleh—maaf istilah warganet—kadal gurun. Tak kurang petinggi ormas langsung bereaksi dengan tudingan bahwa film tersebut tidak mencerminkan kehidupan sesungguhnya pesantren dan santri. Lebih lagi, tim sorak yang memang sudah dari sono-nya tukang marah, pantek. Lewat medsos, serangan ramai bergemuruh.
Di WAG orang-orang tipikal itu yang saya ‘influencer’ di dalamnya, hadeeh luar biasa saling bersahutan responsnya. Sumpah serapah berhamburan tanpa ada ujungnya sampai hilang adab. Ada yang menyebut film tersebut layaknya dikasih judul “The Goblok”, bahkan ada yang usul “The Kafir” saja. Dalihnya “agamis” banget, mereka sepakat film The Santri melanggar syariat Islam.
Namun, kalau boleh copas di ‘tetangga sebelah’, saat suasana ‘panas’ kala itu sementara ada orang-orang yang dengan militan berkampanye untuk nobar film berjudul Hayya, yang mengisahkan tentang kepedulian terhadap Palestina. Kabarnya, dari yang sudah nonton, di film ini ada tayangan bendera kelompok oposisi Suriah, lantas dituding ada tujuan “proxy war”. Sebelumnya, ada film 212 The Power of Love. Walah, naga-naganya, kok, kayak “perang dagang” saja, berusaha membuat pesaingnya nyungsep.
Loh, memangnya ada apa dengan film yang mengangkat isu keberagaman dan toleransi ini? Kok, ya sampai begitu dahsyatnya tamparan yang dicecarkan. Bukankah film tersebut hendak menayangkan kehidupan santri yang terbuka, humanis, mandiri, damai , dan ramah. Oh, ternyata ada dua hal tampaknya yang dihajar habis di film itu, yaitu soal lirik-lirikan, pertemuan laki-aki dan perempuan dalam satu kelas, kisah cinta serta adegan seorang santriwati yang menyerahkan tumpeng di gereja.
Dulu, pernah muncul film yang juga berlatar pesantren berjudul Pesantren N Rock’Roll. Cara nulisnya kayak Guns’N Roses, tampilan pemainnya ‘ngerock’. Beberapa film lainnya yang mengangkat sisi pesantren bisa dideret di sini, seperti film 3 Doa 3 Cinta, Perempuan Berkalung Serban, Cahaya Cinta Pesantren, Dalam Mihrab Cinta, dan lainnya. Adegan dalam film-film ini tidak jauh berbeda dengan The Santri. Maka, ‘masuk tuh barang’, tanpa hardikan. Sepertinya “TSMB”, terstruktur, sistematis, masif, dan brutal, apa pun produk “lawan”, mereka tidak pernah kehabisan cara dan jurus untuk menyerangnya. Liberal, sekuler atau antek Yahudi menjadi ungkapan dari “kesadaran kolektif” yang tak habisnya membekap-bekap benak mereka. Maha benar mereka dengan segala kebenciannya.
Menarik, menyikapi The Santri, saat itu “seorang ikhwan” kenalan karib saya mengajak untuk menunggu dan menonton keseluruhan dulu. Kata-kata yang dia sebut, perlu tabayun. Kok, ya apa yang ditunjukkan eks napiter ini lebih bijak bestari. Dia tidak tergesa lantang mengeluarkan kecaman. Dunia kayaknya sudah terbalik, yang eks kombatan bersikap lebih tenang, sedangkan mereka yang lagi demen agama malah terpanggang panas.
Perihal adegan santriwati masuk gereja, seorang ustaz kondang, bahkan dengan mengutip hadis diperjelas uraian Imam Syafii, menyatakan tegas haram hukumnya. Bahkan ada yang mendalilkan murtad masuk gereja. Lalu keluar pula “kutukan” bahwa The Santri bisa merusak akidah umat Islam. Dan bila sudah menyentuh soal akidah, maka harus tegas dan tidak ada kompromi.
Namun, sekadar pembanding, saya yang punya banyak teman “ikhwan” alias eks kombatan, tampaknya lebih cair dalam hal ini. Tidak sedikit mereka yang punya pengalaman masuk gereja. Beberapa dari mereka pernah diajak oleh sebuah NGO untuk kegiatan berkunjung ke gereja dan berdialog dengan pastur atau pendeta. Dalam sebuah obrolan, si ikhwan pernah bercerita,”Dengan kunjungan ke gereja waktu itu, kita bisa belajar tentang bagaimana mereka non-Muslim ini mengelola pendidikan dengan baik. Sementara, kita umat Islam sering tidak lihai untuk mengelola sebuah lembaga pendidikan.”
Ada hikmah yang bisa dipetik oleh para “jihadis original” ini saat mereka masuk gereja. Sikap ini berbeda jauh dengan para “jihadis kaleng-kalengan” yang dengan emosi melayangkan kecaman.
Duh, soal yang “sensi” ini, kok, ya tak ada selesainya. Para ilmuwan sudah meneliti planet di luar bumi, munculnya Artificial Intelligent, inovasi teknologi lain yang bikin degup jantuk bisa berhenti, bahkan ilmuwan sedang meneliti kemungkinan laki-laki bisa melahirkan atau juga menghidupkan otang mati, ada yang masih muter-muter di ranah yang dzonniy al-dilalah ini. Saya jadi “gatal”, sontak saya baca kitab Al-Mughni karya Ibnu Qudamah yang bermazhab Hanbali. Sok bergaya “ilmuwan”, saya sigi dan temukan pandangan yang tidak lagi bahas fasal ‘masuk gereja’, tapi ‘salat di gereja’. Wow, bahasan yang sudah lebih maju. Di kitab itu, ternyata no problemo bahkan untuk salat di dalam gereja. Apalagi hanya sekadar masuk gereja. Hayya, jadi makin sadar literasi, bro.
‘Yang Lalu’ dan ‘Yang Kini’
Soal dunia pesantren, jelek-jelek begini, saya sudah pernah makan asam garamnya, lho. Selama bertahun-tahun, saya ‘dilempar’ orang tua saya untuk mondok dengan harapan supaya bisa baca kitab kuning. Kalau tidak bisa, nantinya tidak bakal jadi kiai yang bermanfaat buat kampungnya. Saya mengalami dari model pesantren yang bikin badan gudikan sampai yang sudah ‘agak modern’ dengan pakai pancuran. Saat saya nyantri, mendadak baru beberapa bulan, badan dan kaki sudah gatal-gatal yang akhirnya timbul koreng yang bernanah. Saya hanya dibawa ke mantri setempat, disuntik lalu pulang. Lama-lama sembuh juga. Bagaimana bisa?
Wong kalau wudhu, setelah basuh muka dan anggota tubuh lainnya, giliran kaki langsung dicemplungkan. Kata-katanya, di pesantren seperti ini, santri yang belum pernah korengan berarti belum dapat berkah alias barokah. Oh, sungguh beruntung, saya sudah merasakan itu, berarti saya termasuk santri yang ketiban barokah.
Jamak lika-liku cerita selama saya di pesantren. Ada yang landai-landai saja, dan juga ada yang kocak dan sangar. Pakai sarung, kopiah miring, berjalan seraya mendekap kitab kuning menjadi kegiatan harian. Model ngajinya sorogan dan bandongan. Ngajinya bisa sambil menyandar di tiang masjid atau sambil tiduran, bahkan cukup dengarkan dari gothakan, alias kamar santri yang biasa satu kamar diisi 10-an orang seperti kamar saya dulu saat nyantri. Yang penting bisa nyimak dan menuliskan makna di kata-kata yang terpajang di kitab kuning.
Biasanya ngajinya selama dua jam paling dapat 2 korasan. Ini istilah santrinya untuk menyebut halaman. Dan kalau sudah tamat, berarti kitab yang dikaji itu sudah ‘disahi’. Lagi-lagi, ‘bahasa prokem’ santrinya untuk menyebut sudah ‘disahkan’ oleh kiai pengajarnya. Kalau ingin yang kilat, santri nantinya bisa ikut ngaji pasanan, yaitu pas bulan Ramadan. Ngaji kitab Bukhori bisa khatam sebelum lebaran.
Biasanya ngaji pada Ramadan, kitab yang dibalag (istilah santri untuk menyebut dikaji) seperti kitab Qami’ut Thughyan, Qathr al-Ghoist, al-Minah al-Saniyah, Qurrotul Uyun, dan masih banyak lagi. Kitab-kitab itu membahas seputar, tasawuf, fikih, tauhid, hadis, tafsir dan juga soal seksualitas..
Kali ini cerita yang kocak. Ada santri yang mungkin lagi “sange” ngomongnya ngelantur, ”seumpama syariat libur sehari saja, enak kali ya, bisa berbuat sesuka hati, ha ha.” Ini kelakar gaya santri, jangan terus digeret ke pasal “penodaan agama”.
Ada kisah kocak lagi. Semua pesantren di mana pun berada, sudah pasti tempat santri putra dan santri putri terpisah, alias tidak bercampur. Letaknya pun kadang agak berjauhan. Kos-kosan saja seperti di Jakarta masih banyak yang hanya mengkhususkan kos pria atau wanita. Biasalah namanya kehidupan yang ‘homogen’, acap kali kalau ada ‘makhluk lain’, apalagi yang ‘bening’ yang masuk ke kawasan santri putra atau baru masuk gerbang pesantren, tetiba suasana jadi gaduh nan riuh. Ada yang suit-suit, teriak-teriak, dan pukul-pukul kaleng atau apa saja.
Saya termasuk golongan santri yang suka menabuh kaleng saat ada santriwati atau mbak-mbak yang masuk pondok putra. Padahal sering kali santriwati itu datang dengan orang tuanya atau saudaranya untuk keperluan menjenguk saudaranya yang sedang nyantri.
Sebaliknya juga bila ada santri putra yang lewat di depan pondok putri, beberapa santri putri ada yang manggil-manggil menggoda. Sumpah tujuh turunan saya mengalami itu sendiri saat saya dan seorang teman hendak beli kitab di sebuah toko dekat pondok putri. Begitu lewat, kok, ada suara memanggil. Saya tengok ke atas, mbak-mbak santri menggoda dengan mendesah-desah, tapi hanya suara tanpa rupa. Tentu tidak gaduh seperti di pondok putra. Ya, manusiawilah, masa-masa puber dan hidup dalam ‘satu kolong’ yang sejenis, akan bergejolak bila menemukan ‘sang liyan’.
Cerita yang ini masih batas wajar. Bagaimana yang sangar? Ya, hidup sejenis telah mencipta hal-hal tak terduga. Mau tahu? Sudah dengar apa belum istilah ‘sempetan’ atau ‘mairil’? Ini berlaku buat santri putra maupun santri putri. Bahasa Arabnya mufakhozah dan musahaqoh’. Untuk santri putra, ‘saling nempel paha’ bisa menjadi ‘jalan keluar’ dari keterpendaman hasrat membara. Bagi santri putri, ya samalah saling ’tempel-menempel’. Lelakon ini sering kali tidak dilakukan ‘suka sama suka’, atau hubungan hirarkis ala ‘milkul yamin’, tapi ada unsur ‘nyuri-nyuri’ dan rudapaksa.
Biasanya, santri yang masih amrad, maksudnya kinyis-kinyis, pada malam-malam didempet oleh santri yang sudah gaek. Walaupun ada juga yang dilakukan ‘saling rela’, tapi tanpa hadirnya ‘rasa’. Cara lain, dijalani secara ‘swalayan’, istilah santrinya istimta atau nikah al-yad. Ini benar-benar kondisi ‘kepepet’ dengan dalil kaidah fikih ‘al-dharurah tubih al-mahdzurah’, jalan yang sudah buntu, maka akan menerbitkan ‘the power of kepepet’.
Sang pelakon memang menjalaninya hanya “pelampiasan” temporal. Sekeluar dari pesantren, mereka kembali ke ‘garis lurus’. Ibarat hidup di penjara, apa saja bisa terjadi. Perumpamaan ini memang kurang tepat, karena pesantren bukan laiknya Nusakambangan atau Guantanamo, melainkan lembaga pendidikan Islam yang mendidik santri dengan pengetahuan dan adab yang kelak bisa menjadi pribadi yang bermanfaat. Yup, dibobok-bobok namanya juga manusia, sistem yang sudah dipatenkan selalu saja kebobolan. Saya tidak mau menceritakan yang lebih dahsyat.
Cukuplah cerita ini setidaknya bisa terhimpun sebagai ‘material’ untuk menatapi fakta ‘sesungguhnya’ dunia pesantren. Khusus fakta ini sudah lama ditulis dalam sebuah buku seperti Mairil: Sepenggal Kisah Biru di Pesantren yang diungkap oleh seorang santri. Saya sendiri sudah menumpahkan dalam sebuah buku, tapi maaf tidak perlu saya sebutkan lagi.
Tapi kondisi ‘force majeur’ ini berbeda banget atau jangan disamakan dengan kejadian belakangan seperti kiai yang merudapaksa santriwati hingga hamil, atau pengurus panti asuhan yang mensodomi anak-anak asuhnya. Ini jelas bejat dan harus dihukum seberat-beratnya. Kejadian tragis dan brutal ini jelas tidak boleh digeneralisasi. Perbuatan terkutuk ini bisa terjadi di berbagai lembaga pendidikan. Manusia-manusia yang bebal dan nirakhlak selalu ada dan bergentayangan di berbagai ranah. Para predator seks atau lainnya akan terus ada memburu mangsa tanpa kasta. Tentu jauh lebih banyak pesantren yang sama sekali bebas dari perilaku tengik seperti ini.
Banyak pesantren yang mengajarkan santri ilmu dan akhlak serta menghasilkan santri yang cerdas dan beradab. Nah, janganlah mencorengkan nama pesantren akibat ulah segelintir pengurusnya dengan stigma yang buruk. Jadi, jangan men-framing-lah!
Seusai ‘yang lalu’ terkuak, ‘yang kini’ kembali disimak. Kita mungkin hanya tercekat oleh kata ‘sesungguhnya’ yang kali ini ditimpakan pada pesantren. Mendadak kita ‘bingung’ dengan ‘sesungguhnya’ ketika dihadapkan pada fakta-fakta di pesantren. Dan kita pun mengalami kegamangan antara ‘yang sakral’ dan ‘yang profan’, bila meminjam ungkapan antropologi Mircea Elliade. Pesantren seakan sesuatu yang extraordinary, sedangkan di luar pesantren hanyalah acak, kotor, dan binal. Pola pikir biner ini rentan dari risiko, jadinya melihat dua dunia yang tidak terkait bahkan sama sekali.
Maka, ketika pesantren ditonton sebagai sebuah film, yang lebih mumbul adalah hilangnya ‘kesadaran filmlis’ yang di dalamnya selalu ada ‘gula-gula’. Ajibnya, sesuatu yang sesungguhnya fakta menjadi ‘kabur’ atau ‘dipaksa’ sirna oleh karena tatapan atas nama adikodrati.
Akhirnya, di Hari Santri 2024 ini, kita bangkitkan semangat bertenggang rasi seraya terus memperkuat literasi sebelum berucap dan bertindak. Kita perlu bersikap adil bahkan saat masih ada di alam pikir. Sikap membabi buta tanpa ‘akal sehat’ bisa merobohkan bangunan keyakinan yang sesungguhnya secara kodrati senantiasa terkait dengan ‘yang profan’. Saat ini kita diperhadapkan gempuran ‘keyakinan dekil’ yang membawa musykil. Kita tak boleh ditaklukkan oleh keyakinan yang tanpa nalar. Padahal La dina liman la aqla lahu.
Beragama semestinya bernalar. Menaati agama tidak lantas mudah menghujat atau menyerapahi segala hal yang berbeda. Kesalehan justru memacu kian beradab dan makin bijaksana bak begawan. Gegara The Santri saya jadi siuman dan semakin kejang-kejang merindukan pada ‘beriman dengan nalar’.
Selamat Hari Santri 2024 untuk menuju Indonesia cerdas dan damai.
Bacaan terkait
Kitab Kuning dan Jalan Moderasi
Pesantren Gontor dalam Komik Strip
pesantren merupakan tempat untuk mendalami ilmu ..sehingga menjadi orang bijak dkm tutur kata tingkalh laku dan oerbuatan..tentunya…