Kita patut bersyukur Book Fair setiap tahun masih diselenggarakan di negeri ini. Pada 2024 ini, tepatnya 14-18 Agustus, Islamic Book Fair kembali digeber di JCC, Senayan, Jakarta. Tentu yang akan dipajang adalah buku-buku cetak dari berbagai penerbit Islam, juga penerbit umum. Di era digital ini menjadi tantangan sendiri untuk tetap menampilkan buku cetak. E-book atau buku digital dengan segala sopistikasinya memang telah menjadi ancaman bagi buku manual. Tak sedikit penerbit dan percetakan buku yang gulung tikar.
Kita tentu tahu Frankurt Book Fair setiap tahun tetap dihelat. Ini pagelaran buku terbesar di dunia. Model book fair ini telah bertransformasi dari sekadar bazaar menjadi sebuah festival. Di masyarakat Barat, nyatanya buku cetak masih banyak digemari. Dalam sebuah penelitian menunjukkan, masyarakat di negeri Barat masih lebih menyukai buku cetak. Tak heran, toko buku Amazon, kabarnya, masih beroperasi bahkan masih mencari reseller di berbagai negara.
Menggelar pameran buku atau festival buku, atau apa pun namanya, dewasa ini memang menyabet tantangan yang tak kecil. Terlebih di masyarakat negeri kita yang tingkat literasinya belum beranjak membaik. Berbagai penelitian menunjukkan, tingkat literasi negeri kita rendah. Generasi Z dan milenial yang digadang-gadang menjadi tumpuan untuk “Indonesia Emas” di 2045 pun belum bergeser dari lemahnya minat dan daya bacanya.
Negeri kita tampak paradoks. Era digital yang penuh érupsi saat ini belum mampu mendongkrak minat baca. Bahkan yang menonjol adalah masyarakat lebih “termakan” oleh media sosial yang instan. Penelitian tentang tumbuhnya ekstremisme di kalangan anak muda, misalnya, menunjukkan lebih diakibatkan oleh bacaan digital yang disalahpahami. Remaja yang terjerumus dalam paham ekstrem lalu melakukan aksi teror terkuak akibat internet.
Mereka lebih cepat menerima berita dan narasi ekstrem lalu menjadi “sumbu pendek”. Tak sedikit pula remaja yang terlibat teror bisa belajar meracik bom dari internet. Sebaliknya, penelitian menunjukkan mereka yang lebih banyak membaca buku-buku cetak lebih memiliki resistensi dan imunitas dari paham-paham ekstrem. Nah, apakah ini saatnya “kembali ke buku cetak?”
Jïhad Literasi
Belakangan kata-kata “jihad” menjadi magic word yang mampu menyorongkan semangat dan militansi. Terlebih di era medsos sekarang ini, ajakan untuk melakukan jihad terdengar makin nyaring. Begitu ada isu yang muncul mendadak, dunia medsos sontak dihirukpikuki oleh pekikan untuk bergabung dan berjuang. Meminjam syair lagu Metallica, bagi mereka yang sekujur benaknya hanya ada kebencian, maka yang muncul adalah seek and destroy.
Di negeri yang indah nan berbineka ini, akibat penempatan “jihad” di lokus yang salah, berakibat berkali-kali negeri ini dilantakkan oleh aksi teror. Masyarakat pun menjadi panik dan lalu bertanya-tanya, mengapa mereka yang berlaga atas nama jihad ini, kok, justru melakukan tindakan keji. Bukankah makna jihad sesungguhnya sangat mulia, yaitu agar seseorang terus bersemangat dalam menempa hidup menuju kesuksesan, kemuliaan, dan kebaikan.
Bergidik soal jihad? Jangan keburu menvonis. Perlu membaca dan membaca sampai bertemu ‘saripati’ yang tersimpan dalam sebuah ungkapan. Inilah pentingnya literasi. Dengan literasi bukan sekadar mengumpulkan buku, atau hanya membaca kalimat per kalimat sebuah narasi, tetapi memahami, mengendapkan dan kemudian merengkuh pencerahan.
Ketika seseorang sebelum membaca buku sampai tuntas, dia berteriak-teriak menghujat atau bahkan melakukan perbuatan yang tidak waras, ini berarti dia belum melakukan literasi dengan baik. Sebaliknya, setelah membaca buku hingga habis, lalu memahami dengan baik, maka terbitlah pengetahuan. Pengetahuan ini yang akan membawanya pada pencerahan. Pencerahan akan menerbitkan kearifan. Kata orang bijak, ”ketidaktahuan adalah musuh bagi umat manusia.”
Ada tesis bahwa orang bisa terjatuh ke sikap ekstrem karena kurangnya membaca. Karenanya, semakin dia banyak membaca, maka dia akan terhindar dari sikap ekstrem. Adagium knowledge is power bisa dimaknai bahwa pengetahuan akan menjadi kekuatan yang bisa mewujudkan kebajikan dan kebijaksanaan.
Nah, berangkat dari sinilah lahir kepedulian untuk mewujudkan sebuah gerakan literasi: sebuah wadah atau komunitas literasi yang bernama “Rumah Daulat Buku”, biasa disingkat Rudalku. Manifesto yang dipancangkan adalah “jihad literasi” untuk menetaskan toleransi. Ajibnya, yang membedakan Rudalku dengan komunitas literasi lainnya adalah sasarannya. Bukan masyarakat umum yang diajak bergabung, tapi mereka yang dulunya pernah terjerembab dalam pidana terorisme. Ya, mereka yang berstatus eks napi teroris (eks napiter). Ngeri-ngeri sedap, bukan?
Kini, Rudalku sudah menghimpun sekitar 60-an eks napiter di berbagai daerah di negeri kita. Jumlah ini akan terus meningkat seiring dengan upaya rekrutmen terhadap para eksnapiter lainnya. Jumlah eks napiter masih banyak dan berserakan di berbagai daerah. Hubungan dengan eks napiter bersifat jejaring atau jemaah, tidak struktural. Persaudaraan literasi manjadi tali pengikat dalam paguyuban Rudalku.
Pendiri Rudalku dengan rendah hati lebih suka disebut marbot daripada kordinator atau istilah mentereng lainnya. Mengakrabi kelompok “istimewa” ini jangan sampai salah sebut. Istilah eks teroris kesannya ada stigma. Tapi, kalau pakai istilah ”eks napiter” memang mereka ini bekas napi yang melakukan tindak pidana terorisme. Atau lebih baik tulis saja “ikhwan”, panggilan yang biasa di antara mereka. Di komunitas Rudalku biasa saling menyapa dengan panggilan “Ikhwan Rudaller”.
Penyebutan apa pun perlu kehati-hatian. Salah sebut bisa berdampak tak baik. Mereka eks napiter ini juga manusia yang punya rasa dan jiwa. Menempatkan mereka dengan sebutan yang bersahabat akan menjadi kehormatan tersendiri buat mereka. Kita belajar dari kasus penyebutan PKI yang terasa sekali stigmatisasinya. Sampai-sampai anak keturunannya harus menerima nasib dipanggil “anak PKI”. Akibatnya, di masyarakat mereka terasingkan.
Siap Merudal
Komunitas pecinta buku dan taman bacaan memang sudah cukup bertumbuh di berbagai daerah. Ini menjadi fakta yang menggembirakan. Hanya saja, komunitas buku yang terbentuk hampir semunya tidak menjamah para eks napiter. Artinya, para eks napiter belum diposisikan sebagai figur yang mampu mengelola taman bacaan. Demikian pula mereka belum dipandang sebagai insan-insan yang bisa diubah haluannya dari “jihadis teror” ke “jihadis literasi” sebagai rintisan mewujudkan “jihad baru”.
Pendirian Rudalku adalah keterpanggilan untuk ikut menggalakkan literasi yang di negeri ini terhitung masih minim. Banyak kalangan yang berteriak-teriak pentingnya literasi untuk menciptakan generasi yang cerdas. Nyatanya, masyarakat umum lebih senang membeli gadget daripada membeli buku. Bagi Rudalku yang mempunyai sasaran “istimewa”, yaitu eks napiter, tentu terasa ada tantangan atau seni tersendiri.
Membayangkan untuk mengajak kawan dekat berliterasi saja sulit minta ampun, apalagi untuk eks napiter. Ini tantangan yang “sedap-sedap asyik”. Tak apalah, bagi pendiri Rudalku yang sudah malang melintang ke pelosok-pelosok untuk bersapa dengan para kombatan dan dalam rangka penelitian soal radikalisme dan terorisme, tantangan ini justru lebih mamacu ghirah mewujudkan sesuatu yang berguna.
Ya, inisiator Rudalku mengajak pada ‘Ikhwan Rudaller’ untuk mengisi rumah mereka dengan buku, membuat perpustakaan pribadi di rumah, lalu menjadikan perpustakaan itu sebagai taman bacaan bagi warga sekeliling. Kerap ditanamkan pada ‘ikhwan Rudaller’ bahwa “rumah tanpa buku seperti tubuh tanpa roh”.
Ini yang disebut pendekatan literasi untuk deradikalisasi atau moderasi. Sungguh ini langkah inovatif yang perlu dikembangkan. Selama ini Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) memang sudah melakukan deradikalisasi untuk eks napiter dan napiter. Cuma, pendekatan literasi ini yang belum dilakukan dan belum dilirik sebagai pendekatan yang ampuh.
Pendiri Rudalku sejak 2011 telah bergulat dalam penelitian tentang radikalisme dan terorisme dan sering diajak lembaga negara yang terkait dan juga LSM untuk penelitian di daerah-daerah. Ini menjadi “ransum” baginya untuk berpikir tentang metode deradikalisasi. Dari temuan lapangan, melihat pentingnya pendekatan deradikalisasi yang out of the box, bukan hanya melulu begitu-begitu saja atau mengikuti kelaziman.
Dari sinilah pendiri Rudalku lantas bersitegap dan bertekad untuk melakukan pendekatan literasi. Dan ini dilakukan secara komprehensif, tidak hanya bagi-bagi buku tanpa ada kegiatan lanjutannya. Dengan mengusung tagline “Banyak Baca Jadi Terbuka, Banyak Bacaan Jadi Toleran”, terbentuklah Rudalku. Konsepnya sederhana, dengan berbasis rumah dan kembali ke buku cetak. Rumah bukan hanya tempat istirahat atau bertemu keluarga saja, tetapi ia bisa diberdayakan menjadi wahana untuk kegiatan yang kreatif dan bermanfaat bagi sesama.
Begitu juga perlu kembali ke buku cetak karena membaca berarti di hadapan buku nyata, bukan maya lewat internet saja. Ini sekaligus upaya untuk meredam radikalisme dan ekstremisme yang saat ini tidak sedikit orang, khususnya anak muda, yang menjadi ekstremis karena lebih banyak membaca internet. Dengan membaca buku cetak, orang akan “dipaksa” untuk menyelesaikan bacaannya, tidak meloncat-loncat laiknya membaca medsos. Ada pendalaman dan pengendapan bila membaca buku cetak. Dengan pendalaman, maka akan terhindar dari berpikir yang cekak yang bisa memantik ekstrem.
Pendekatan literasi terkait dengan pendidikan. UNESCO mengakui, pendidikan berperan penting dalam program-program disengagement, rehabilitasi, dan reintegrasi. Dalam “Memorandum Roma tentang Praktik Baik untuk Rehabilitasi dan Reintegrasi Pelanggar Ekstremis yang Keras”, Forum Kontra-Terorisme Global (GCF) merekomendasikan upaya rehabilitasi melalui program keterampilan kognitif dan kursus pendidikan dasar, serta pelatihan kerja. Peran pendidikan untuk menciptakan kondisi yang membangun pertahanan melawan ekstremisme kekerasan dan memperkuat komitmen mereka terhadap nir-kekerasan dan perdamaian (UNESCO, 2017). Kebijakan pendidikan dapat memastikan bahwa tempat belajar tidak menjadi tempat berkembang biak yang nyaman bagi ekstremisme.
Para eks napiter ini memang termasuk kelompok yang masih rentan dari pengaruh radikalisme. Sudah cukup banyak bukti, eks napiter yang terpengaruh kembali paham radikal lantas melakukan aksi teror. Ada isu-isu politik yang mencuat bisa mendadak mereka siuman kembali untuk jadi ‘jihadis’. Rudalku tergerak untuk menampung mereka agar tidak kembali kumat dengan mengajak membaca demi meluaskan cakrawala pikiran. Mereka itu masih ada sisa-sisa pikiran radikal akibat doktrinasi dari mentornya dulu di jaringan mereka. Nah, untuk mengubah mereka harus pelan-pelan dengan gerakan literasi.
Ada tantangan tersendiri juga sekeluar mereka dari penjara. Bisa saja mereka teralineasi dari masyarakat. Kalau tidak ada pendampingan, bisa-bisa mereka kembali ke jaringan radikalnya. Proses reintegrasi sosial eks napiter ini pula yang juga menjadi tumpuan ikhtiar bagi Rudalku. Melalui “jihad literasi” mereka diharapkan bisa menjadi penggerak dan “pahlawan literasi” untuk pemberdayaan masyarakat sekitar rumah mereka. Dengan begitu, sekaligus ini sebagai reintegrasi sosial bagi eks napiter untuk diterima kembali oleh masyarakat dan kemudian mereka tampil sebagai pegiat yang memberikan kemashlahatan bagi masyarakat, minimal masyarakat sekitar rumahnya.
Karena itu, eks napiter ini perlu perlu digandeng dan didampingi. Rudalku hendak melakukan upaya mulia itu. Dan pengelola Rudalku rela mengorbankan waktunya dan fokus untuk mengelola Rudalku. Yang menarik, justru rumah pribadinya dijadikan sebagai markas Rudalku untuk kegiatan literasi bagi eks napiter yang bagi kalangan peneliti lain dianggap “bahaya” karena berarti eks napiter sampai tahu rumah pemiliknya. Semangat pengelola Rudalku, betapapun kecil upaya ini, yang terpenting bisa bermanfaat buat sesama dan negeri ini.
Seiring waktu pengelola Rudalku mengajak teman-temannya yang sama-sama pecandu literasi dan juga peneliti. Masing-masing berbagi tugas dan peran. Dalam menjalankan kegiatan tersebut, mereka lebih banyak online, mengingat masing-masing juga punya kesibukan. Pertemuan dadakan digelar bisa sewaktu-waktu.
Bergerak secara diam-diam dan senyap (tandzim sirri) menjadi pilihan pengelola Rudalku. Pendekatan literasi itu perlu cara yang tepat. Jangan sampai eks napiter ini menduga-duga yang tidak baik pada pengelola. Ini supaya menjamin rasa nyaman dan kegiatan bisa berjalan lancar tanpa ada syakwasangka.
Menandingi fakta ekstremisme ini kita tetap membutuhkan deradikalisasi. Deradikalisasi yang sukses—mengutip hasil penelitian Ian Chalmers dalam Countering Violent Extremism in Indonesia (2017)–lebih mungkin penekanan ditempatkan pada tindakan berbasis masyarakat. Masyarakat lebih “bertaring” dibanding aparat atau instansi pemerintah. Deradikalisasi yang dilakukan oleh kekuatan masyarakat lebih mudah mendekati eks jihadis dan kalangan terpapar radikal, kemudian mengajak mereka berkawan untuk memudian melakukan kegiatan yang bermanfaat. Karenanya, deradikalisasi tak sekadar dilakukan ‘sekali pukul’, lalu kembali senyap. Seperti halnya para eks napiter, sejatinya, hanya berhenti sejenak, dan ketika ada hal-hal yang memungkinkan mereka terjun, maka tak mustahil mudah dilakukan.
Inilah potret gerakan jalur sipil. Kalangan civil society terbukti melakukan serangkaian aktivitas yang belum atau tidak dilakukan negara dalam kaitannya sebagai institusi yang melayani kepentingan masyarakat luas atau paling tidak menjadi wacana alternatif di luar aparatur birokrasi negara dalam menjalankan program deradikalisasi. Dalam situasi saat ini dan masa depan, peran aktor non-negara semakin diakui dan nyata yang bisa saja memiliki kekuatan yang dapat menyaingi kekuatan negara.
Dalam kemandirian akan melahirkan kekuatan. Ya, kekuatan yang lahir dari gagasan justru lebih dahsyat manghasilkan inovasi dan kreasi. Indonesia saat ini membutuhkan insan-insan anak bangsa yang kreatif, inovatif, dan mandiri untuk memberikan sumbangsihnya bagi masyarakat dan negara. Di tengah situasi negeri ini yang rendah literasi serta terancam oleh bangkitnya irasionalitas dalam rupa radikalisme dan ekstrimisme, kiprah Rudalku setidaknya telah membantu untuk menahan laju kepicikan pikir melalui literasi.
Kita perlu melahirkan lebih banyak “jihadis literasi” yang punya militansi tinggi, bekerja tanpa iming-iming, serta ditempa kegigihan dan ketelatenan. Selamat untuk Islamic Book Fair 2024. Semoga membangkitkan literasi di negeri kita.
Bacaan terkait
Fuad Abdurrahman, Penulis Produktif Peraih Dua Kali Islamic Book Award