Saya pernah bekerja di sebuah lembaga yang memiliki kepedulian terhadap masalah kesehatan perempuan, terutama pencegahan penyakit menular karena hubungan seksual dan kesehatan reproduksi. Salah satu praktiknya, lembaga itu menyediakan kondom yang dikemas rapi dalam sebuah toples yang diletakkan di toilet. Ada dua jenis kondom, untuk laki-laki dan perempuan. Keduannya diletakkan di toilet masing-masing.
Sebagai pengguna alat kontrasepsi berjenis kondom, saya merasa terbantu dengan fasilitas yang disediakan kantor itu. Saya sadar dan memiliki argumen cukup baik untuk memilih kondom sebagai alat untuk mencegah kehamilan. Berbeda dengan sikap beberapa kawan yang belum memiliki pasangan. Ada yang heran dan bertannya-tanya di dalam hati, tetapi ada juga yang meminta penjelasan dari pihak manajemen kantor.
Pihak menajemen menjelaskan masalah penyediaan kondom di toilet tersebut dengan sangat baik. Saya sungguh memuji cara mereka. Dalam sebuah pertemuan yang diikuti oleh hampir semua staf, perwakilan manajemen menghadirkan seorang dokter, sebagai ahli kesehatan, untuk ikut menjelaskan manfaat dan fungsi kondom sebagai alat pencegahan penyakit menular.
Saat mendiskusikan masalah kondom, gesture tubuh dan cara menjelaskannya sangat menarik, terkesan profesional. Saat menyebut kata “kondom”, tidak ada kesan seronok, ataupun kelakar yang bermuara pada suasana penuh kecabulan. Kondom benar-benar dimaknai secara hakikat aslinya. Ia juga diperlakukan sebagai alat kontrasepsi yang bisa digunakan untuk mencegah kehamilan dan melindungi dari penyakit menular seksual (PMS).
Kondom adalah salah satu alat kontrasepsi tertua yang digunakan dalam sejarah manusia. Ia terbuat dari bahan seperti lateks, poliuretan, atau poliisoprena, sangat aman ketika dipasang pada penis atau dimasukkan ke dalam vagina, sebelum berhubungan seksual. Kondom telah ditemukan di Mesir kuno sekitar 3000 SM. Saat ini ia digunakan untuk mencegah penyakit menular seksual dan dipersepsi sebagai metode kontrasepsi efektif jika digunakan dengan benar.
Usai mendengar pemaparan itu, sependek pengetahuan saya, tidak ada kesan aneh, bertendensi negatif yang muncul dari diri saya dan kawan-kawan lain di kantor. Alih-alih terdorong untuk melakukan aktivitas seksual secara bebas dan liar, karena sudah ada alat aman yang mampu mencegah penularan penyakit kelamin, impresi yang muncul malah sebaliknya.
Saya semakin yakin bahwa pilihan menggunakan kondom untuk mencegah kehamilan istri itu sudah tepat. Sedangkan impresi kawan-kawan lain sungguh mengagetkan. Mereka mengerti, sadar, dan merasa harus sangat berhati-hati dan waspada terhadap penularan penyakit seksual akibat aktivitas seksual tanpa pelindung. Ancaman penyakit itu tetap ada, meskipun hubungan seksualnya dilakukan oleh suami-istri yang sah dan benar menurut norma agama.
Kondom sebagai Alat
Untuk meningkatkan layanan promotif dan preventif dalam bidang kesehatan dan agar warga tidak mudah sakit, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Undang-Undang (UU) Kesehatan. Pada Bagian Keempat tentang “Kesehatan Reproduksi”, ada klausul tentang “penyediaan alat kontrasepsi” (Pasal 103) dan “penyediaan alat kontrasepsi bagi pasangan usia subur dan kelompok yang berisiko” (Pasal 104).
Frasa penyediaan alat kontrasepsi tersebut telah menuai protes dari Ansory Siregar, anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKS. Menurutnya, penyediaan alat kontrasepsi untuk kesehatan reproduksi pada remaja usia sekolah itu telah membuka ruang generasi muda untuk berzina. Pemerintah telah membuka ruang bagi anak usia sekolah untuk melakukan hubungan seks di luar pernikahan. Dia meminta Presiden Joko Widodo dan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin untuk mencabut peraturan tersebut (sumber: Website Resmi Fraksi Partai Keadilan Sejahtera).
Penyediaan alat kontrasepsi bisa mendorong seseorang untuk melakukan perzinahan? Pengalaman hidup saya telah membuktikan sebaliknya. Melalui proses diskusi dan dialog panjang secara terbuka, kekhawatiran akan adannya perzinahan yang berisiko tinggi itu justru bisa dicegah. Penyediaan alat kontrasepsi yang disertai dengan proses edukasi, justru mampu menumbuhkan kesadaran dan sikap kehati-hatian bagi seseorang ketika hendak melakukan hubungan seksual secara tidak sehat dan sah sesuai norma agama.
Proses edukasi itu bisa menyadarkan bahwa hubungan seksual yang dilakukan secara baik, benar, dan bertanggungjawab–sesuai dengan kaidah agama–adalah kenikmatan alamiah sesuai kodrat manusia. Berhubungan seks oleh pasangan sah adalah medium untuk mensyukuri nikmat yang telah diberikan Allah kepada setiap makhluk-Nya. Agar hubungan seksual itu bisa membuahkan anugerah yang membahagiakan, maka ia harus dilakukan sesuai syarat di dalam norma agama.
Prasyarat lain yang tidak kalah penting adalah, bahwa hubungan seksual sebaiknya dilakukan secara sehat dan dilakukan oleh mereka yang berada dalam kondisi sehat secara lahir dan batin. Dengan begitu, ketika hubungan seksual itu membuahkan kehamilan, maka janin yang kelak akan lahir juga bisa dalam kondisi sehat. Mengapa prasyarat sehat itu penting? Karena berhubungan seksual juga bisa menjadi medium penularan penyakit seksual, seperti klamidia, gonore, sifilis, herpes genital, HIV/AIDS, Human Papillomavirus (HPV), Trikomoniasis dan Hepatitis B, yaitu virus yang menyebabkan kerusakan hati. Semua jenis penyakit tersebut di atas bisa ditularkan melalui hubungan seksual.
Membijaksanakan Kondom
Saya memiliki pandangan yang berbeda dengan Ansory Siregar. Kondom hanyalah alat yang unsur kemanfaatannya jauh lebih besar dari pada potensi kerusakannya. Pemberian kondom bisa disertai dengan proses edukasi dengan penjelasan baik-buruk secara jelas melalui dialog terbuka dan diberikan kepada sasaran yang tepat. Dengan demikian, potensi ancaman penyakit yang ditimbulkan oleh hubungan seksual yang tidak sehat, liar, dan tidak bertanggungjawab itu bisa dicegah. Kondom bisa menjadi salah satu pilihan untuk mencegah ancaman tersebut.
Jika kondom itu akan dibagikan secara gratis, tentu ada prasyarat dan tata cara yang harus terlebih dahulu dipenuhi. Prosesnya harus didahului dengan eduaksi yang jelas sisi baik-buruknya. Ia juga hanya dibagikan kepada sasaran yang tepat. Pembagian kondom tentu tidak seperti membagaikan masker gratis saat ada kebakaran hutan untuk mencegah bahaya asap.
Apakah kondom akan menjadi medium penganjuran atau pencegahan? Kebijaksanaan itu ada pada kita semua untuk menentukannya.
Bacaan terkait
Mencegah Pernikahan Dini Anak: Sebuah Refleksi Hari Anak Nasional 2024
Poligami untuk Syahwat atau Maslahat
Nasihat Pernikahan Imam Al Ghazali
Membuka Jalan Menjadi Diri Sendiri
Yang patut dipertanyakan adalah apabila pembagian kondom untuk siswa dan remaja meskipun disertai edukasi yg matang tetap akan berpotensi menimbulkan bahaya karena seolah2 mereka diperbolehkan memakai nya di usianya yg blm matang itu, terlebih siswa sekolah jelas belum boleh menikah sampai dengan mereka lulus….menurut saya bakalan rancu ini peraturan , diperparah dengan kondisi masyarakat kita yg minim literasi……anyway ini tulisan bagus menyajikannya dari sudut pandang berbeda…..