Dalam lingkaran pertemanan saya di lingkungan mahasiswa dulu, ada dua orang teman yang memilih untuk menjalani pernikahan agak berbeda dengan kawan-kawan lainnya. Seorang teman laki-laki memilih untuk melakukan poligami, ketika merasa sedang berada pada puncak karir dengan kecukupan finansialnya. Dia menikahi secara diam-diam (sirri) dengan seorang perempuan muda yang usianya terpaut 20 tahun. Awalnya tentu tanpa sepengetahuan istri pertama.
Satu teman lain saya adalah seorang perempuan yang memilih untuk menjadi istri kedua, juga dengan status penikahan tidak resmi menurut hukum negara. Ketika itu ia memang silau dengan kemewahan gaya hidup seorang pria yang sedang menyukainya. Meski terpaut umur cukup jauh, pria beranak-istri itu sedang menjadi pejabat penting di sebuah kementerian. Ia berjanji akan menjadi suami dari dua orang istri yang akan dia perlakukan secara adil. Ia juga berjanji akan mencukupi semua kebutuhan keduanya dengan standar yang lebih baik.
Dampak Ikutan
Seiring dengan perjalanan waktu pernikahan keduanya, teman laki-laki saya yang dahulu asyik, periang, ramah dan mudah bergaul, mendadak berubah drastis. Ia menjadi laki-laki pemurung, sensitif, mudah tersinggung. Tampilan fisiknya tampak jauh lebih tua dari rekan-rekan sebayanya. Uban memenuhi isi kepala, rambut acak-acakan, kumis dan jenggot dibiarkan tumbuh liar tak terpelihara. Setiap kali ada pertemuan reuni, ia tampak selalu gelisah, banyak sekali keluhan muncul dari dirinya, seolah berat sekali beban hidupnya.
Telepon genggam teman pria ini terus-menerus berdering. Ia selalu menjauh saat berkomunikasi melalui telepon. Suaranya pelan, seolah takut sekali omongannya didengar orang lain. Salah satu kebiasaan buruknya adalah, ia sering sekali membuat kebohongan kecil. Misalnya, dia bilang sedang rapat penting bersama rekan kerja, padahal kami sedang ngopi. Saya tahu karena ia terkadang memvideokan muka saya yang diakuinya sebagai teman kantor. Saya selalu tergagap-gagap dan salah tingkah ketika dipaksa ikut nimbrung dalam skenario obrolan bersama istrinya.
Kebiasaan aneh lainnya adalah ia sering sekali mengganti nomor telepon pribadi. Dalam hitungan bulan, dia sudah berganti 3-4 kali nomor. Ia pun tidak merasa cukup dengan satu buah telepon genggam. Dua perangkat telepon genggamnya telah menjadi properti paling keramat, sarat kerahasiaan, hingga harus benar-benar ia jaga dari sentuhan siapa pun. Bahkan telepon genggam itu harus ia bawa ketika masuk ke kamar mandi atau ke toilet dalam waktu lama. Saat hendak tidur, ia kerap memasukkannya ke dalam laci yang terkunci rapat.
Perjalanan hidup teman perempuan saya tidak seaneh teman laki-laki, namun cukup pedih. Dia sedang bahagia dengan kehidupan serba cukup bersama dua anak yang masih balita. Tiba-tiba suaminya meninggal dunia secara mendadak di kantor. Yang menyedihkan, sebagai istri tidak resmi, ia tidak berani datang ke tempat penguburan, karena takut dengan istri pertama. Ia hanya bisa menangis keras memeluk kedua anaknya yang belum bisa diajak berbagi kesedihan.
Selang beberapa minggu pasca kematian, ada tamu yang bertandang. Seorang perempuan paruh baya beserta tiga orang remaja. Sang ibu yang tampak mewah dan berwibawa itu menyampaikan pertanyaan singkat:
“Anda siapa, kok, tinggal di rumah keluarga kami?” tanya sang tamu.
“Saya istri dari Bapak RK (inisial almarhum),” jawabnya sambil menangis.
“Istri? Ada bukti pernikahan degan Bapak RK?” begitu pertanyaan selanjutnya.
“Tidak ada!” jawabnya lemah.
Singkat cerita, ibu dan ketiga remaja itu menjelaskan bahwa mereka adalah keluarga inti dari almarhum RK, dari hasil perkawinan yang sah, legal menurut aturan negara dan agama. Mereka berpesan bahwa properti (mobil dan rumah) milik keluarga almarhum harus dikembalikan kepada keluarga yang sah. Ia diberi waktu satu bulan untuk meninggalkan kunci rumah. Sedangkan mobil yang digunakan adalah milik negara dan segera diserahkan ke kantor.
Meski siang itu langit cerah, namun hati perempuan muda ini mendadak gelap. Kepala dan batinnya penuh sesak dengan tanda tanya yang tidak mampu ia jawab seketika. Ia menangis sejadi-jadinya. Kedua anaknya hanya mampu berdiri setengah tegap. Keduanya ikut menangis keras, meski tidak tahu mereka menangis karena apa. Sebulan kemudian, perempuan muda ini memutuskan pulang ke kampung halaman, menemui ibu kandungnya dan menumpang hidup untuk sementara.
Allah pasti dan selalu menjamin kebaikan semua mahkluk-Nya. Perempuan muda ini tidak berlama-lama larut dalam kesedihan. Ia bangkit pelan-pelan, menggunakan segala kemampuan yang selama ini terpendam, hingga tumbuh menjadi ibu tunggal secara mandiri. Ia memahat pesan kuat di batinnya bahwa “hanya keledai yang bisa jatuh dua kali ke dalam lubang yang sama”.
Hakikat Poligami
Menemui sepenggal kisah yang dialami oleh kedua teman saya itu tak ayal membuat batin saya perih dan terkoyak. Mimpi mereka untuk mendapatkan sebuah kesenangan itu mendadak pupus. Keterpisahan jarak antara mimpi indah dan kenyataan pahit itu begitu tipis. Kenyataan yang ada begitu nyata, semu, dan tidak seimbang. Perjalanan hidup mereka telah memberi pesan sangat kuat, penuh kejujuran, seperti cermin besar yang utuh, bersih, hingga mampu memantulkan raut wajah saya yang sebenarnya.
Dalam waktu yang sama, saya menemukan sebuah buku saku yang mengupas masalah poligami dengan uraian penjelasan yang gamblang. Argumentasi keagamaan di dalam buku itu sangat kuat. Ada dalil-dalil yang bersumber dari Al-Quran dan Hadis dengan tafsiran yang logis, memenuhi standar otoritas dari para ilmuwan yang mumpuni. Buku berjudul Pandangan Islam tentang Poligami itu ditulis oleh Musdah Mulia, diterbitkan oleh Lembaga Kajian Agama & Jender dan Solidaritas Perempuan, atas dukungan The Asia Foundation, tahun 1999.
Buku ini mengupas bab tentang “Menyikap Tabir Poligami”, lalu “Poligami dalam Perspektif Islam”, “Implikasi Poligami”, “Kritik terhadap Kebijakan Pemerintah mengenai Poligami” dan terakhir “Kesimpulan”.
Ibarat “mengajari ikan berenang”, saya tidak akan mengupas substansi buku di dalam tulisan ini. Silakan membaca sendiri dengan hati terbuka. Saya bersaksi bahwa ulasan di dalam buku ini sangat jernih. Argumentasi yang disajikannya valid dengan sumber rujukan yang otoritatif. Pilihan bahasanya ringan, lugas, renyah dan sangat mudah dimengerti.
Saya juga tidak akan memperdebatkan mengenai hukum agama terkait boleh-tidaknya melakukan praktik poligami, baik secara hukum negara ataupun agama. Bagi yang hendak melakukan poligami karena alasan hendak meniru praktik yang pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad sebagai Rasulullah, saya merekomendasikan untuk membaca buku kecil ini. Ia telah menjelaskan secara gamblang latar belakang, alasan dan praktik pernikahan yang adil yang dilakukan oleh Nabi. Semoga pandangan para pembaca buku ini bisa semakin terlengkapi hingga syukur-syukur bisa tercerahkan setelah membacanya.
Kesimpulan akhir yang saya amini setelah membaca buku ini adalah, bahwa praktik pernikahan Rasulullah bukan untuk menyalurkan syahwat yang jauh dari maslahat. Selamat membaca!