Kasus pernikahan anak mengundang keprihatinkan semua pihak di berbagai negara. Bisa jadi ini karena pernikahan anak bukan saja dinilai merampas hak-hak dasar anak perempuan untuk belajar, berkembang dan menjadi anak-anak seutuhnya, tetapi juga berpotensi membuka pintu bagi terjadinya berbagai tindak kekerasan (Boyce, Brouwer, Triplett, Servin, Magis-Rodriguez, & Silverman, 2018). Anak perempuan yang menikah di usia dini sering kali tidak dapat melanjutkan sekolah, lebih mungkin menghadapi kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan, dan bahkan tindak pemerkosaan (marital rape).
Studi Suyanto dan Sugihartati (2020) menemukan ada banyak faktor yang mendorong anak perempuan menikah di usia dini. Dari 300 anak perempuan yang menikah di usia dini di Provinsi Jawa Timur, hampir semua (91,3%) menyatakan mereka memilih menikah di usia dini karena sudah telanjur cinta. Studi ini menemukan sebanyak 61,7% responden memilih menikah di usia dini dengan pertimbangan ingin mandiri dan tidak membebani orang tua.
Yang menarik, studi ini menemukan ada 42% responden yang mengaku memilih menikah di usia dini karena ingin lari dari kekangan orang tua. Sebanyak 23% responden memilih menikah dini karena tidak ingin menjadi perawan tua. Selain itu, sebanyak 31,7% responden memilih menikah diri karena teman-teman mereka yang lain juga sudah melakukan hal yang sama, yakni menikah dalam usia dini. Habitus yang masih sering diwarnai kasus pernikahan dini tampaknya menjadi salah satu faktor pendorong anak perempuan akhirnya memilih melakukan hal yang sama.
Dalam berbagai kasus pernikahan dini, sering terjadi perempuan yang sebetulnya masih belum dewasa tiba-tiba harus beradaptasi dengan situasi baru tatkala mereka hamil dan memiliki anak. Bisa dibayangkan, pada saat anak perempuan masih belum dewasa tiba-tiba mereka hamil dan harus mengasuh anak yang dilahirkannya, tentu hal ini bukan tanpa risiko. Tidak sedikit kasus memperlihatkan, keluarga-keluarga muda yang masih belum siap secara psikologis untuk menikah dan memiliki anak akhirnya kesulitan ketika harus mengasuh anak dalam usia muda. Anak yang dilahirkan, yang seharusnya disayangi, bukan tidak mungkin justru dianggap sebagai perintang dan beban tersendiri (Lo Camilla et al., 2017).
Berbeda dengan gambaran pernikahan seperti dalam film atau novel remaja yang penuh percintaan dan kebahagian, dalam kehidupan nyata menikah di usia dini dan memiliki anak sering menuntut kemampuan dan kesediaan bagi orang tua untuk berkorban. Bagi anak perempuan yang telanjur menjadi ibu, namun tidak siap dengan status barunya, jangan heran jika memperlakukan keliru anak yang dilahirkannya. Beberapa kasus yang ditengarai terjadi dan dialami ibu-ibu muda ketika harus mengasuh anak adalah penelantaran, kurangnya cinta-kasih, gagap ketika harus membesarkan anak, dan lain sebagainya. Orang tua yang batas kesabarannya pendek, bukan tidak mungkin memilih melakukan cara-cara jalan pintas dan tindak kekerasan tatkala menghadapi anak mereka yang rewel.
Bagi pasangan remaja yang memiliki orang tua yang ikut membantu mengasuh anak mereka, mungkin tidak terlalu menjadi masalah ibu-ibu yang sebetulnya masih anak-anak itu mengasuh anaknya. Tetapi, lain soal jika keluarga muda itu ternyata tinggal sendiri dan hidup mandiri. Kasus-kasus tindak kekerasan dan penelantaran terhadap anak yang dilakukan ibu-ibu muda, biasanya terjadi karena mereka merasa kehadiran anak lebih sebagai beban daripada sebagai berkah.
Meski pernikahan usia anak (child marriage) secara kultural dan agama dianggap bagian dari kebiasaan masyarakat, dalam praktiknya sesungguhnya adalah bentuk pernikahan paksa (forced marriage) karena anak masih belum mampu mengambil dan memberikan keputusan yang berhubungan dengan pasangan dan pernikahan. Dalam hal ini anak kurang memiliki pengetahuan terhadap pilihan hidup yang mereka miliki, sehingga menerima pernikahan sebagai bagian dari nasib mereka.
Studi Suyanto dan Sugihartati (2020-2021) dalam dua tahun terakhir menemukan bahwa praktik pernikahan usia anak sering kali sarat dengan isu-isu kesetaraan dan keadilan gender, serta isu perlindungan anak. Anak perempuan yang menikah dalam usia dini, kemudian melahirkan anak, sering harus berhadapan dengan situasi baru yang membebani. Tidak jarang terjadi anak yang yang dilahirkan oleh seorang anak yang menikah dini akhirnya mengalami masa pengasuhan yang tidak sepenuhnya sesuai dengan kaidah perlindungan anak. Akibat ketidakmengertian dan kurangnya kesiapan psikologis ibu-ibu belia yang tiba-tiba harus dibebani mengasuh anaknya, maka dalam beberapa kasus anak akhirnya menjadi korban tindak kekerasan yang dilakukan ibunya sendiri.
Untuk mencegah agar praktik pernikahan dini tidak makin meluas, dan anak-anak dari hasil pernikahan dini tidak menjadi korban tindak kekerasan, selain dibutuhkan perlindungan hukum untuk memastikan pendewasaan usia perkawinan, yang tidak kalah penting adalah program-program yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak anak secara keseluruhan. Berikut beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam upaya perlindungan anak:
Pertama, untuk mencegah agar tidak terjadi tindak penelantaran dan tindak kekerasan pada anak-anak yang lahir di lingkungan keluarga yang menikah dini perlu ditangani dari hulunya, yakni bagaimana mencegah agar praktik pernikahan dini dapat dieliminasi.
Meski telah tersedia payung hukum yang mengatur kenaikan batas usia menikah menjadi 19 tahun, di tingkat operasional yang dibutuhkan adalah kesadaran dan tindakan nyata di tingkat pemerintah daerah untuk mewujudkan desa tanpa pernikahan usia anak (child marriage free vilages). Anak-anak perempuan bukan hanya perlu dididik pengetahuan reproduksi sehat, tetapi juga perlu diberikan pendidikan keterampilan hidup–termasuk kemampuan dalam hal keuangan dan berwirausaha. Selain itu, anak perempuan juga dibekali dengan pengetahuan mengenai kesehatan dan isu gender.
Melalui program ini diharapkan akan dapat meningkatkan kepercayaan diri anak dalam membuat keputusan mengenai hidupnya, meningkatkan pemahaman anak mengenai praktik pernikahan usia anak, dan sekaligus mampu mengubah norma sosial yang ada di masyarakat. Kegiatan-kegiatan yang perlu dikembangkan dalam program tersebut meliputi: peningkatan kesadaran masyarakat dan anak, proses pendidikan yang melibatkan peran teman sebaya, pembentukan kader-kader di desa untuk mendukung program pencegahan pernikahan usia anak, program beasiswa untuk anak perempuan, dan kerja sama dengan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) maupun pihak swasta agar tidak menyediakan layanan pernikahan untuk pernikahan usia anak.
Kedua, untuk mencegah agar praktik pernikahan dini anak dapat dikurangi dan masyarakat tidak mendukung kelangsungan praktik yang merugikan kelangsungan hidup anak-anak perempuan ini, salah satu upaya yang penting adalah bagaimana membangun narasi yang mengcounter narasi yang membenarkan praktik pernikahan dini di masyarakat.
Dengan keterbatasan jumlah personel dan dana yang dimiliki, pemerintah niscaya tidak mungkin mampu setiap waktu mengawasi anggota masyarakat yang menikah di usia dini. Pemerintah dalam hal ini perlu menggandeng mitra dari kalangan masyarakat, LSM, dan CBO (community based organizations), seperti kelompok pengajian, pondok pesantren, dan lain–lain agar bersedia terlibat ikut mensosialisaikan nilai-nilai baru yang pro pada penundaan usia pernikahan minimal 19 tahun, atau bahkan lebih.