Deddy itu aktivis senior yang tumbuh dan besar di lapangan. Membangun kesadaran hak-hak warga negara yang sering diabaikan. Dia mengorganisasir kelompok-kelompok masyarakat dan menggalang perlawanan terhadap ketidakadilan yang dilakukan kekuasaan, baik negara maupun perusahaan. Kerja dia dan jaringannya banyak membuahkan hasil.
“Kupadahi bubuhannya itu, tarus aja lawan perusahaan. Sampai ada tawaran nang jelas. Aku malihat kadada usulan konkret penyelesaian konflik dari perusahaan. Jadi, biar haja bubuhannya (LSM) menyerang tarus-manarus.”
Begitulah Deddy Ratih. Meskipun beberapa tahun ini sering bekerja menjadi konsultan dan peneliti, dia tidak akan tahan melihat perusahaan yang “ngaco” menjalankan operasinya dan berpotensi merusak lingkungan dan merugikan masyarakat.
Kritiknya kepada kawan-kawan LSM juga bukan sesuatu yang disembunyikan. Dia mengecam lemahnya riset dan data yang dipakai, sehingga tidak jarang kampanye advokasi kawan-kawan berisi informasi keliru dan cenderung fitnah.
Dia juga mengkritik sejawatnya yang masuk ke politik, baik pada blok kekuasaan atau oposisi, tetapi ujung-ujungnya tergoda kuasa juga. Kecaman keras pasti terlontar kepada mereka yang tidak konsisten dan tidak bersikap adil.
Deddy kalau bercerita sejarah, tradisi, atau keajaiban-keajaiban yang dimiliki suku-suku di Indonesia sangat antusias, kadang sulit dihentikan, tapi mengasyikan memang. Dia, bagaimanapun, dihargai dan disegani di beberapa kalangan suku Dayak dan kelompok-kelompok masyarakat di banyak wilayah.
Ketika suatu saat tim kami diancam kekerasan oleh sekelompok orang dalam suatu pekerjaan, misalnya, malam harinya dia memanggil “pasukan hantu” yang mengancam akan “menghancurkan” desa itu jika yang berbuat onar tidak meminta maaf. Aku membujuknya untuk menenangkan “pasukannya”.
Hal yang sama dilakukan ketika dia melindungi tim enumerator kami yang disandera sekelompok masyarakat. Dia mengontak jaringannya untuk memastikan keamanan anak-anak dan memaksa pihak yang mengganggu meminta maaf. Kemarahannya bisa membuat sulit orang lain.
Deddy orang yang baik. Suka menolong tanpa pamrih. Sikapnya itu kadang dimanfaatkan orang lain untuk mencari keuntungan tanpa memikirkan jasanya. Kapok? Tidak pernah. Deddy seperti memiliki gen kebaikan untuk peduli dengan orang lain.
Kami berteman sejak kecil di Banjarbaru, SD-SMA. Terpisah lama dan bertemu lagi di Bogor.
Aku meminta untuk membantu beberapa pekerjaan yang membutuhkan keahliannya. Sejak itulah dia bergabung dalam tim kami sebagai peneliti senior. Dalam bekerja dia kadang memiliki pikiran yang berbeda.
Pada masa Covid-19, dalam pekerjaan Proyek Restorasi Ekosistem di Jambi, dia lebih memilih menyetir mobil sendirian dari Jakarta ke Jambi pergi-pulang ketimbang naik pesawat. “Ribet, Mang Novi, naik pesawat. Harus tes ini-itu,” katanya. Deddy memang selalu memanggilku juga dengan sebutan “Mang”. Bukannya lebih ribet menyetir dari Jakarta ke Jambi, kataku. Dia tertawa. Dua kali dia memilih cara yang sama untuk pergi ke Jambi.
Banyak orang mungkin tidak tahu kalau Deddy merupakan family-man. Sangat perhatian dengan keluarganya. Jika istrinya ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan, dia membawa anaknya ke kantor, bahkan sejak masih bayi.
Di kantor Deddy mengasuh anaknya dengan tekun dan sabar. Menyuapi, membersihkan anak, mengajak bermain, dan menidurkannya. Hingga sore hari dia pulang dari kantorku.
Februari tahun lalu malam hari menjelang keberangkatan kami ke Jambi dia meneleponku. “Mang, besok begitu sampai di Jambi, kita ke rumah sakit dulu,” katanya. Kenapa, kataku. “Aku mau scan kepala, minggu lalu kecelakaan mobil.”
Aku melarang dia ikut ke lapangan dan segera fokus memeriksa kesehatannya. Seminggu kemudian dia didiagnosa ada tumor otak dan harus segera operasi. Operasi berhasil, namun dokter mencurigai ada kanker lain. Ternyata benar dia mengidap kanker paru-paru.
Deddy melakukan pengobatan kanker di Rumah Sakit Dharmais sejak itu. Keinginan sembuhnya sangat besar. Dia selalu sangat bersemangat menceritakan pengobatannya.
Meski masih dalam penyembuhan kadang Deddy memberikan saran terhadap pekerjaan kami. Tidak banyak bicara, tapi komentarnya menohok. “Itu yang punya proyek seperti orang bingung, Mang. Mereka tidak paham apa-apa tentang proyek itu”, katanya mengomentari sebuah proyek Carbon. Aku tertawa mendengarnya.
Hal yang tak terlupakan adalah ini: Deddy pembenci duren di tengah-tengah kawan-kawan penggila duren. Cerita legendaris dia tentang duren adalah ketika naik travel dari Palangkaraya ke Banjarbaru. Dia “rela” turun dan ganti mobil travel lain karena ada penumpang yang baru naik bawa duren di mobil travelnya pas di daerah Tamiyang Layang, perbatasan Kalteng-Kalsel. Daripada pusing sepanjang jalan, katanya. Pasca operasi dia bilang sudah mulai suka duren dan meninggalkan rokok.
Sejak pengobatan setahun yang lalu, Deddy sudah beberapa kali ke kantor. Kadang naik KRL ke Bogor, pulangnya kami sewakan mobil.
Dua bulan lalu dia sudah berani menyetir mobil sendiri ke kantor. Sambil belajar dan melatih refleks kembali, katanya. Kelihatan dia seperti orang yang sudah sehat dan sembuh.
Dua minggu lalu aku mengirimkan pesan ke hpnya, “Gimana kondisi, Ded?” Beberapa saat kemudian dia menjawab, “Agak drop.” Kemudian dia menceritakan tentang kondisinya. Aku menanyakan apa yang bisa kubantu untuk dia dan keluarganya.
Deddy masih sempat mengirimkan analisis suatu masalah. “Daripada gabut aku tulis tentang ini,” katanya sambil meminta maaf bahwa tulisannya belum lengkap.
Senin lalu kami menjenguk Deddy di RS Dharmais. Dia mengepalkan tangan dan mengajakku “TOS”. Aku banyak mendengarkan cerita dari istri dan kakaknya yang sedang jaga di sana. Kami mendoakannya kesembuhan dan segera pulang. Seminggu ini kami di kantor mencemaskan kondisinya.
Kemarin siang (Sabtu) berita duka kami terima. Kabar yang menghancurkan hati kami. Mang Deddy telah berpulang kembali kepada Tuhan Yang Maha Kasih.
Beberapa teman konsultan internasional yang pernah bekerja dengan kami menyampaikan keterkejutan dan kesedihannya:
“This must be so hard and painful for you Pak Novi. I know that Pak Deddy was your one of your dearest friends from way back. I see how great you are when you’re together. I was privileged to have worked with him and learned so much from him.”
“Thank you for sharing this tragic news. Deddy was great to work with and he would have been so helpful on this assignment. My condolences to you and the team. RIP.”
“Dear, Pak Novi, I am so, so sorry about Pak Deddy. This is such a huge loss for humanity. I am just heart broken.”
Selamat jalan, Mang Ded! Kenangan baik bersama Pian tak terlupakan.
Bogor, 10 Agustus 2024.