Keuntungan Menikah
Terdapat lima keuntungan dan manfaat yang didapat dari pernikahan, yaitu: (1) didapatkannya anak, (2) meredam syahwat, (3) mengurus rumah tangga, (4) bercengkrama dengan pasangan, dan (5) berjihad melawan hawa nafsu saat melakukan keempat hal tersebut.
Manfaat Pertama: Anak
Ini adalah manfaat sekaligus tujuan utama dari pernikahan, yaitu mempertahankan keturunan. Untuk itu, Allah menciptakan syahwat pada diri manusia. Ini disimbolkan dengan keluarnya benih dari laki-laki dan ladang rahim pada perempuan bertugas mengelola benih itu.Inilah bentuk kasih sayang Allah yang ditunjukkan kepada keduanya dalam mengatur tatanan kehidupan, dengan menjaga keturunan mereka melalui hubungan intim. Sebagaimana kasih saying-Nya terhadap burung ketika terbang mencari biji-bijian untuk dibawa ke sarangnya.
Kekuasaan Allah yang tanpa batas dalam menciptakan manusia itu pada dasarnya tidak terbatas pada proses perkawinan saja, bahkan tanpa proses itu pun Allah swt. mampu menciptakan makhluk apa pun. Akan tetapi, Allah telah menjadikan segala sesuatu harus berdasarkan pada prinsip sebab akibat.
Prinsip ini Allah berlakukan pada semua makhluk-Nya dalam rangka menunjukkan kebijaksanaan-Nya dalam mengatur, menyempurnakan keajaiban-keajaiban ciptaan-Nya, dan melaksanakan seluruh kehendak yang sudah Dia tetapkan sendiri. Hingga firman Allah menjadi kebenaran yang mutlak, dan al-Qalam” berjalan sesuai kehendak-Nya.
Dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah dengat bertawasul melalui anak, ada empat sisi yang perlu dihadapi seseorang—keempat sisi ini merupakan pokok yang melandasi dianjurkannya menikah, khususnya saat pernikahan itu telah aman dari unsur-unsur syahwat sampai pada titik saat seseorang merasa enggan bertemu Allah dalam keadaad pembujang.
Pertama: Keinginan mendapatkan anak harus diselaraskan dengan kecintaan kepada Allah, dalam rangka menjaga kelangsungan manusia.
Kedua: Diniatkan mendapatkan kecintaan Rasulullah saw. dalam rangka memperbanyak umat yang akan menjadi kebanggaan beliau di hadapan umat-umat lain.
Ketiga: Mencari keberkahan melalui doa anak saleh setelah dirinya meninggal dunia. .
Keempat: Mencari syafa’at dengan kematian anaknya jika mati saat masih kecil.
Sisi pertama merupakan sisi yang paling detail dan umumnya sulit dimengerti. Selain itu, sisi ini memiliki argumentasi paling kokoh, terutama bagi mereka yang ber-wawasan luas tentang keajaiban ciptaan Allah swt. dan ketetapanNya yang sarat kebijaksanaan.
Penjelasannya ialah sebagai berikut.
“Seorang tuan, jika ia memasrahkan benih dan perkakas menanam kepada budaknya, dan ia juga memberinya sebidang tanah untuk ditanami, sedang kondisi budak itu sendiri adalah orang yang berkemampuan—dan, demi memudahkan, ia diperbantukan dengan seorang pembantu, maka apabila budak itu enggan menggunakan perkakasnya, lalu dia biarkan saja benih-benih titipan tuannya itu rusak, dan ia juga menolak pembantu yang disediakan untuknya dengan berbagai alasan, tentu budak seperti itu patut mendapat murka dan cercaan dari tuannya.”
Allah swt. menciptakan segala sesuatu berpasangpasangan. Dia menciptakan laki-laki dan perempuan. Dia menciptakan air mani yang ada pada tulang sulbi laki-laki dan menyediakan tempatnya untuk ditumpahkan pada rahim perempuan dalam bentuk cairan yang mengalir. Dia juga membuat suatu ruangan di dalam rahim sebagai tempat penyimpanan air mani.
Dia juga telah menjadikan setiap laki-laki dan perempuan memiliki syahwat. Semua ini menjadi saksi nyata yang bisa disaksikan setiap manusia untuk meyakini dan menyatakan dengan lisannya, apa yang dihendaki oleh Sang Maha Pencipta, Sekaligus menjadi seruan kepada orang-orang yang berakal untuk mengetahui apa yang telah Allah persiapkan baginya.
Demikianlah, jika memang maksud hal ini belum diterangkan maksudnya secara gamblang oleh Allah swt. melalui sabda Rasul-Nya saw., “Saling menikahlah kalian, maka kalian akan memiliki keturunan.” Lantas bagaimana mungkin beliau memerintahkan menikah secara terang-terangan bukan secara diam-diam?!
Oleh sebab itu, orang yang memilih melajang sejatinya sedang menghalangi dirinya untuk ”bercocok tanam”. Ia menyia-nyiakan benih yang telah Allah berikan kepadanya, dan tidak menggunakan alat-alat yang Allah persiapkan baginya. Artinya, ia telah melakukan kejahatan terhadap tujuan aguag ini. Padahal rahasia-rahasia hikmahnya dapat diketahui dari berbagai macam isyarat dalam penciptaan-Nya, dan semua tertulis di setiap organ tubuh yang telah terpahat dengan kalimat ilahiah.
Kalimat ilahiah ini bukanlah angka-angka, huruf, dan suara-suara; kalimat ilahiah itu hanya bisa dibaca oleh orang yang berpandangan rabban, yang dapat melihat setiap detail hikmah tanpa batas yang terkandung pada ciptaan Allah.
Oleh sebab itu, syariat mengancam keras setiap orang yang membunuh anak-anak dan yang mengubur mereka hidup-hidup, karena itu berarti menghalangi langgengnya keberadaan manusia. Ancaman itulah yang juga diisyaratkan oleh mereka yang berpendapat bahwa tindakan ’azl termasuk dalam perbuatan membunuh anak.
Dengan demikian, orang yang menikah adalah orang yang berusaha menyempurnakan sesuatu yang Allah swt. cintai, sedangkan orang yang melajang adalah orang yang menghilangkan sesuatu yang Allah benci jika sesuatu itu dihilangkan.
Dalam rangka untuk mendapatkan kecintaan Allah swt. dan mempertahankan kehidupan manusia, Allah memerintahkan pemberian nafkah terhadap keluarga dan menganjurkan perbuatan ini. Allah menganalogikan perbuatan itu dengan kata ‘pinjaman’, seperti dalam firman-Nya,
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah berupa pinjaman yang baik, maka Allah akan melipat gandakan pembayarannya dengan lipat ganda yang banyak.” (QS. al-Baqarah [2]: 245)
Jika langgengnya keturunan dan jiwa adalah hal yang Allah sukai, sehingga muncul sangkaan musnahnya keturunan adalah perkara yang Allah benci. Padahal Dialah yang memisahkan antara kematian dan kehidupan, sudah diatur oleh-Nya. Sebagaimana diketahui, segala sesuatu terjadi atas kehendak-Nya dan Dia Mahakaya. Lalu bagaimana membedakan antara mereka yang hidup dan yang mati, atau mereka yang kekal dan yang fana di sisi-Nya?”
Perlu dipahami, pernyataan tersebut dimaksudkan untuk kebatilan. Yang telah kami sebutkan tidak menafikan keyakinan adanya segala sesuatu adalah bagian dari kehendak Allah swt., berkenaan dengan baik-buruknya, serta manfaat-bahayanya.
Namun, kecintaan dan kebencian merupakan dua hal yang saling bertentangan, tetapi keduanya tidak saling bertentangan dengan kehendak Allah. Banyak hal yang dikehendaki justru dibenci, dan banyak pula sesuatu yang dikehendaki sekaligus disukai. Perbuatan maksiat adalah sesuatu yang dibenci, tetapi perbuatan ini adalah perkara yang telah dikehendaki oleh-Nya.
Begitu juga dengan bentuk-bentuk ketaatan yang juga bagian dari kehendak-Nya. Walaupun di bawah kehendak-Nya, semua ketaatan ini merupakan perkara yang dicintai dan di ridhai oleh-Nya. Begitu pun dengan kekufuran dan kejahatat kita tidak bisa mengklasifikasikannya menjadi perkara yang dicintai dan disukai, melainkan perkara itu hanya dikehendaki Allah.
Allah swt. berfirman,
“Dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya” (QS. Az.Zumar [39]:7)
Lalu bagaimana mungkin kefanaan yang dinisbatkan kepada kecintaan Allah dan kebencian-Nya dapat disamakan dengan kekekalan? Allah swt. telah berfirman (dalam hadis qudsi),
“Tidaklah aku ragu pada sesuatu sebagaimana keraguanku dalam mengambil nyawa hamba-Ku yang Muslim; dia membenci kematian dan Aku benci untuk menyakitinya, sedang kematian adalah sesuatu yang pasti baginya.” (HR. al-Bukhari)
Perkataan-Nya, “Sedang kematian adalah sesuatu yang pasti baginya” merupakan isyarat yang menunjuk pada kehendak dan takdir Allah yang telah disebutkan dalam firman-Nya,
“Kami telah menentukan kematian masing-masing kamu.” (QS. al-WAqi’ah [56]: 60)
Dan dalam firman-Nya,
“Yang menjadikan mati dan hidup…” (QS. al-Mulk [67]: 2)
Tidak ada pertentangan antara firman-Nya, “Kami telah menentukan kematian di antara kamu” dengan perkataan-Nya, “…dan Aku benci untuk menyakitinya.” Akan tetapj untuk menjelaskan kebenaran dalam perkara ini, perlu pengkajian lebih dalam atas makna dari kata kehendak, kecintaan, dan kebencian, serta penjelasan tentang hakikat-hakikatnya,
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa hubungan antara kehendak makhluk, kecintaan mereka, dan kebencian mereka yang jauh, dengan berbedanya sifat-sifat Allah dan sifat-sifat makhluk, sebagaimana jauhnya perbedaan Dzat Allah Mahamulia dan dzat mereka.
Sebagaimana diketahui, dzat tiap-tiap makhluk merpakan sekumpulan substansi dan aksiden, sedangkan Dzat Allah suci dari semua itu. Dan sesuatu yang bukan bersifat substansial dan aksidental pasti tidak sama dengan sesuatu yang berupa substansi dan aksiden. Maka dari itu, sifat-sifat Allah tidak sama dengan sifat-sifat makhluk.
Semua hakikat ini tercakup dalam Ilmu Mukasyafah” yang menyingkap rahasia qadar, yang terlarang untuk dise barluaskan, dan tidak akan kami sebutkan. Mari fokus pada perkara-perkara yang menjadi perhatian kita sekarang, yaitu hal-hal yang mendorong untuk dilakukannya pernikahan dan hal-hal yang menghalangi dilakukannya pernikahan. Sebab salah satu dari keduanya akan memutus keturunan manusia yang telah Allah telah pertahankan wujudnya sejak zaman Adam as., generasi demi generasi hingga semuanya berakhir kepada-Nya.
Orang yang menghalangi dirinya menikah berarti ia telah memutus kelanggengan manusia. Dengan tidak menikah, seseorang mati dalam keadaan terputus garis keturunannya karena tidak ada penerusnya. Jika hasrat untuk menikah hanya didasari untuk meredam syahwat, pada saat ditimpa taun tidak mungkin Mu’adz berkata, “Nikahkanlah aku. Aku tidak mau bertemu Allah dalam keadaan melajang.”
Jika ada yang berkata, “Saat itu Mu’adz tidak mengharapkan anak, lalu faktor apa kiranya yang mendorongnya menikah?” Saya akan jawab, “Anak diperoleh dari persetubuhan suami istri. Sementara persetubuhan terjadi karena dorongan syahwat. Hal itu merupakan perkara yang tidak termasuk dalam kategori ikhtiar (pilihan). Yang termasuk kategori ikhtiarnya seorang hamba ialah mendatangkan dorongan syahwat itu, dan ini dapat dilakukan di setiap keadaan.”
Dengan menikah, berarti seseorang berniat melakukan perbuatan-perbuatan yang mengiringi pernikahan itu. Urusan selebihnya, tentu di luar jangkauan ikhtiarnya.
Itulah sebabnya mengapa menikah bagi orang impoten tetap disunahkan meskipun syahwatnya sangat lemah dan hampir tidak terasa olehnya. Begitu juga dengan orang mandul yang mustahil mendapat keturunan, tetap disunahkan untuk menikah.
Sebagaimana diharuskannya seseorang yang berhaji dan berkepala botak untuk tetap menggerakkan pisau di kepalanya’”? demi mengikuti rukun haji dan demi mengikuti
Salafusshalih. Demikian juga dengan disunahkannya berjalan cepat dan Idhthiba dalam berhaji saat ini.
Tujuan utama dari semua manasik haji itu adalah untuk membedakan orang muslim dari orang kafir. Karena mencontoh dan mengikuti umat muslim masa lalu yang menyelisi orang-orang kafir merupakan sunah bagi orang-orang muslin yang hidup di masa setelah mereka.
Dalam pernikahan, kesunahannya menjadi berlipat ganda bagi orang yang “mampu menanam benih” (maksudnya, tidak impoten, penj.). Hukum sunah itu akan berkurang bahkan berubah menjadi makruh jika diiringi tindakan menyia-nyiakan wanita dalam hal penyaluran hasrat berahi,” karena perbuatan seperti itu mengandung mudarat. Inilah maksud dari peringatan keras atas mereka yang tidak mau menikah, termasuk terhadap orang yang lemah syahwatnya.
Sisi kedua, berusaha mendapatkan cinta dan ridha Rasulullah saw. dengan memperbanyak umat yang kelak akan beliau banggakan. Rasul telah menyatakan secara gamblang tentang ini. Ini juga menunjukkan agar kita memperhatika semua hal terkait soal anak secara menyeluruh. Sebagaimam Umar ra. menikahi banyak wanita dengan beralasan, “Aku menikah untuk mendapatkan anak.” Dalam suatu riwayat, Nabi pernah menyebutkan cela atas wanita mandul,
“Sungguh tikar yang ada di sudut rumah lebih baik daripada seorang wanita yang tidak beranak.” (HR. Abu Umar at-Tuqani, mauquf)
Beliau juga bersabda,
“Sebaik-baik istri-istri kalian adalah yang banyak anak dan yang penyayang.” (HR. al-Baihagqi)
Dan beliau bersabda lagi,
“Wanita-wanita hitam yang beranak lebih baik dari pada wanita-wanita cantik yang tidak beranak.” (HR. Tbnu Hibban)
Hadis di atas menerangkan bahwa berusaha mendapatkan anak merupakan perkara yang lebih prioritas dalam pernikahan, dibanding sekadar menghindari bahaya syahwat. Dengan beristrikan wanita-wanita cantik, laki-laki lebih bisa menjaga kehormatan, lebih bisa menundukkan pandangan, serta lebih mampu untuk meredakan gejolak syahwat.
Sisi ketiga, akan ada seorang anak saleh yang akan mendoakannya setelah ia mati. Terdapat hadis yang menyatakan bahwa amalan anak Adam terputus kecuali tiga, dan salah satunya adalah anak saleh. Dalam hadis lain dijelaskan,
“Doa-doa akan ditunjukkan pada orang-orang yang telah mati di atas pinggan-pinggan dari cahaya.” (HR, an-Nawawi)
Seseorang berkata, “Bisa jadi seorang anak tidak menjg di anak saleh, sehingga tidak berpengaruh apa pun padanya meski ia seorang mukmin. Sementara kesalehan biasanya ada pada anak-anak yang orang tuanya taat, apalagi jika ketaatan itu disertai dengan kemauan keras untuk membinanya dan membawanya pada kesalehan.”
Intinya doa seorang mukmin untuk kedua orang tuanya bermanfaat, terlepas dari anak itu baik atau sering berbuat dosa. Orang tua akan mendapatkan pahala dari doa juga kebaikan anaknya. Bagaimana pun perbuatan anak merupakat hasil jerih payah orang tuanya. Namun, perbuatan-perbuatan jahat anak, tidak akan dipikul oleh orang lain. Untuk ini Allah swt. berfirman,
“Kami hubungkan mereka dengan anak cucu mereka, dan Kami tidak mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka.” (QS. ath-Thar [52]: 21)
Artinya “Kami tidak mengurangi amalan-amalan mereka, meski di sisi lain kami tambahkan pahala berlimpah atas mereka dari perbuatan anak mereka.”
Sisi keempat, ketika seorang anak kecil meninggal mendahului orang tuanya, kematian anak itu dapat menjadi syafaat bagi orang tua. Rasulullah saw. pernah bersabda,
“Sesungguhnya anak kecil akan menarik kedua orang tuanya ke surga.”
Dalam riwayat lain milik Abu Hurairah ditambahkan, ”… ia akan menarik pakaian mereka sebagaimana saya sekarang menarik bajumu.”
Rasulullah saw. juga bersabda,
“Sesungguhnya anak yang baru dilahirkan (lalu mati) akan diberi tahu, ‘Masuklah engkau ke surga.‘ Anak itu berhenti di depan pintu surga, berdiam di sana dalam keadaan marah dan menahan gejolak hatinya, lalu ia berkata, ‘Aku tidak akan masuk surga kecuali jika kedua orang tuaku bersamaku.’ Maka dikatakanlah, ‘Masukkanlah kedua orang tuanya bersamanya ke surga.’” (HR. Bahz bin Haki)
Penasaran dengan kelanjutan penjelasannya? Tenang, Kamu bisa mendapatkan bukunya di Jakarta Book Review Store. Untuk pembelian buku bisa klik di sini.
Jakarta Book Review memiliki banyak koleksi buku bermutu lain yang tentunya dengan harga terjangkau, penuh diskon, penuh promo, dan yang jelas ada hadiah menariknya. Tidak percaya? Buktikan saja.