Ekspansi tentara muslim ke Asia Tengah menjadi salah satu penaklukan paling berpengaruh yang mengubah wajah Asia. Tokohnya adalah Qutaibah bin Muslim, Gubernur Khurasan (Iran) dari Dinasti Umayah. Dalam buku “Penaklukan Muslim yang Mengubah Dunia” perang ini dianggap berperan penting pada peta agama di Asia Tengah, termasuk populasi 30 juta muslim di Cina dan 25 juta muslim di bekas wilayah Uni Soviet.
Asia Tengah adalah jantung Asia yang saat itu sudah menjadi melting pot bangsa-bangsa Asia, Eropa, dan Arab. Kawasan ini sudah lama diincar oleh para penguasa besar karena menjadi jalur perdagangan penting, termasuk jalur sutera yang sangat menghasilkan.
Dalam setiap ekspansinya Qutaibah menggunakan pendekatan menarik, yaitu “hidup dan biarkan hidup” (h 324). Ia mudah bekerja sama apabila itu menimbulkan keuntungan strategis bagi muslim. Maka dari itu Qutaibah memiliki sekitar 12 persen tentara lokal yang digabung dengan 54 ribu tentara organiknya (h 323).
Pada tahun 705 M daulah Bani Umayah telah menguasai hampir seluruh Khurasan (Iran) sampai wilayah-wilayah kecil di sepanjang sungai Oxus yang membentang di Uzbekistan, Afghanistan, Turkmenistan, dan Tajikistan. Tetapi menaklukkan Transoxania adalah misi yang terberat. Transoxania merupakan istilah abad ke-7 untuk wilayah yang membentang antara Samarkand hingga Bukhara.
Selain amat jauh dari basisnya, yaitu Merv dan Balkh, sepanjang lintasan dipenuhi kerajaan-kerajaan yang dapat berkoalisi sewaktu-waktu. Perjalanan berbulan-bulan dengan kuda, sebagian berjalan kaki, ditambah beban logistik dan senjata tentu saja bukan hal mudah bagi pasukan muslim.
Namun ekspedisi ini penuh keberuntungan. Di fase-fase awal, pasukan muslim banyak membuat hasil tanpa keluar keringat, dan hal itu sangat meningkatkan motivasi. Prinsip penaklukan muslim adalah penyebaran agama, maka dari itu ia feksibel terhadap bentuk kompromi politik, asal agama Islam diberi ruang.
Wilayah yang pertama kali ditaklukkan adalah Shagania. Ketika Qutaibah dan tentaranya baru saja menginjakkan kaki di seberang sungai, ia menemui raja Shaganian, Tisy al-A’war. Ia menyerahkan berbagai hadiah dan sebuah kunci emas. Melalui diplomasi yang mulus, Qutaibah sukses menjalin koalisi dengan Shaganian.
Mendengar ini, raja Kaftan juga datang menemui Qutaibah dengan membawa hadiah dan harta serta mengundangnya singgah. Langkah ini disusul Ghasytasiban, Shauman dan Akharun, yang langung menawarkan damai. Alhasil tentara muslim sukses mendapatkan Tukharistan tanpa perang.
Beberapa daerah di tepi sungai Oxus ini sebelumnya tidak begitu kondusif bagi kaum muslimin selama bertahun-tahun semenjak pertama kali ditaklukkan oleh al-Ahnaf bin Qais di era Khalifah Utsman bin Affan. Hal ini membuat Qutaibah harus menundukkannya kembali.
Menaklukkan Naizak
Pasukan muslim mendapat reaksi tak bersahabat pertama kali dari Naizak, Raja Tarakhan yang menguasai pegunungan Badghis. Qutaibah mengirim surat bernada mengancam, yang ternyata sukses meruntuhkan mental Naizak, hingga setuju berdamai dan menjalin kesepakatan.
Ekspedisi Asia Tengah ini tidak nonstop, tetapi terbagi dalam empat fase. Setiap usai mencatat skor, pasukan muslim pulang ke markas untuk kemudian melanjutkan misi ke utara. Di musim semi tahun 706 M, pasukan muslim bergerak lagi dari Merv menuju Bikand di lembah Zarafshan. Ini adalah fase kedua ekspedisi yang berlangsung hampir 10 tahun itu.
Penguasa Bikand telah berkoalisi dengan Ash-Shaghad dan wilayah-wilayah di sekitarnya. Mereka memiliki pasukan sangat banyak hingga berhasil mengepung pasukan muslim dan memutus semua akses jalan. Pasukan muslim terkepung selama dua bulan, tidak bisa maju atau mundur dan tak bisa mengirim pesan. Qutaibah akhirnya memutuskan keluar dari isolasi, meskipun secara geografis kurang menguntungkan.
Pihak muslim menginisiasi penyerangan terlebih dahulu. Pertempuran pecah di pagi hari hingga matahari terbenam. Kualitas pasukan muslim terlihat lebih baik dan mulai memegang kendali. Menjelang malam, musuh mulai terdesak dan bergerak kembali ke kota. Aksi itu dihadang pasukan muslim hingga mereka kocar-kacir. Ditutupnya akses ke kota membuat musuh sulit memulihkan kondisi dan tak mudah berkonsolidasi, hingga mereka meminta damai.
Kemenangan ini dirasa cukup untuk sementara dan pasukan muslim kembali pulang ke Merv. Namun sebelum jauh, penduduk Bikand melanggar perjanjian, bahkan membunuh pemimpin muslim yang ditunjuk. Dengan cara sadis, mereka memotong hidung, telinga, dan memperlakukan jasad pemimpin transisi itu secara keji.
Pasukan muslim pun kembali, tetapi tentara Bikand berlindung di dalam kota. Maka kota itu dikepung selama sebulan sehingga musuh meminta damai untuk kedua kali, namun Qutaibah menolak. Pasukan muslim menghajar mereka hingga luluh lantak dan mendapat harta rampasan yang sangat banyak.
Ekspedisi Asia Tengah dilanjutkan tahun berikutnya, 707 M. Qutaibah kini ditemani Naizak yang sudah menjadi bagian dari pasukannya. Mereka merasuk jauh ke wilayah Amel menuju Bukhara, hingga sampai di Numusykat lalu Ramitsanah. Penduduk di wilayah ini tidak melakukan perlawanan sama sekali.
Pasukan terus berjalan menuju utara hingga Soghdia, yang rupanya telah bersekutu dengan pasukan Turki dan Ferghana. Pasukan mereka sebanyak 200 ribu mencegat di jalan menuju Bukhara. Meski berjumlah besar, ternyata mudah dipatahkan. Sebenarnya pasukan muslim tidak menang jumlah dan tidak pula lebih hebat peralatan tempurnya. Tetapi mereka lebih bagus secara strategi dan mobilitas serta kepemimpinan yang baik sehingga dapat menaikkan motivasi dan moral bertarung.
Saat itu sudah musim dingin dan pasukan muslim pulang ke Merv. Pada tahun berikutnya tekanan dilanjutkan. Pertempuran dengan pasukan Kush dan Nasaf terjadi dua hari dua malam tanpa henti di Kharqanah dan berhasil dimenangkan.
Bersiap Menyerang Bukhara
Seperti biasa, ketika musim dingin akan tiba, pasukan muslim pulang kampung. Tahun berikutnya mereka akan menyerang Bukhara. Bukhara adalah tujuan penting yang mungkin akan jadi tempat peperangan yang sebenarnya. Untuk itu Qutaibah menugaskan beberapa pelukis untuk menggambar peta wilayah. Demi persiapan yang matang, pergerakan pasukan muslim dalam kurun waktu antara tahun 706 M hingga 708 M, banyak digunakan untuk pengintaian dan mempelajari target operasi, termasuk mempelajari karakter penduduk.
Ketika tiba saat penyerangan, tahun 709 M, di Bukhara pasukan setempat sudah bersiap-siap. Mereka juga telah meminta bantuan sekutunya, Sughd, Turki dan suku-suku sekitar. Namun tentara muslim mendahului datang sebelum dukungan itu tiba. Tentara muslim mengepung Bukhara dan menggempurnya habis-habisan.
Korban cukup banyak, termasuk raja Turki dan anaknya. Raja Samarkand, Tarkhun, yang mengambil alih komando terdesak hingga tepi sungai Jihun dan akhirnya menawarkan perdamaian. Bukhara jatuh ke tangan muslim untuk pertama kalinya tahun 709 M. Tetapi ekspedisi masih terus berlanjut ke Shahs dan Ferghana, sebelum mengubah arah ke timur.
Cina adalah tahapan terakhir. Pada tahun 714 M, muslim berhasil mengusai daerah Sungai Seihan dan kota-kota di sekitarnya, lalu ke Kota Kashgar. Orang-orang Kashgar yang sebelumnya memeluk agama Zoroaster dan Budha menerima Islam dengan senang hati.
Mencapai Masa Gemilang
Dalam kekuasaan Islam, Asia Tengah mencapai kegemilangannya dalam ekonomi dan budaya. Secara kultural, bahasa Arab mulai menggantikan bahasa Persia dan budaya Islam menjadi dominan. Hingga abad 9 M, Transoxiana menjadi mercusuar peradaban yang hebatnya sebanding dengan Baghdad, Kairo, dan Kordoba (Spanyol).
Dunia pendidikan sangat maju, sehingga kawasan itu menghasilkan ilmuwan-ilmuwan kelas dunia, seperti Muhammad bin Musa Al-Khawarizmi (ahli matematika, geografi, dan astronomi), Abu Raihan Al-Biruni (ahli matematika dan antropolog), Al-Farabi (filsuf), Ibnu Sina (filsuf dan ahli kedokteran), Imam Bukhari (ahli hadis), Imam Nasa’i (ahli hadis), dan banyak lagi.
Buku “Penaklukan Muslim yang Mengubah Dunia” terbitan Alvabet setebal 490 halaman ini dengan rinci mengisahkan kembali peperangan strategis dan peristiwa penaklukan muslim pada abad pertama sejarah Islam. Tentu saja tidak hanya penaklukan Asia Tengah. Ada pula kisah epik tentang penaklukan Damaskus, Konsantinopel, Yerussalem, Spanyol, Afrika Utara, dan sebagainya.
Di seratus tahun pertama setelah risalah Nabi Muhammad, Islam sukses menaklukkan pusat-pusat peradaban Timur dan Barat, seperti menggulingkan Kekaisaran Persia, menggulingkan Dinasti Tang di Cina, Menguasai Spanyol, mencabik-cabik Romawi, bahkan merebut Byzantium.
Penaklukan muslim juga membuat mereka menguasai mata rantai niaga, budaya, politik, dan tentu saja agama. Peristiwa-peristiwa itu mengubah sejarah dunia secara keseluruhan, karena membawa masyarakat tradisional kepada tradisi keilmuan dan teknologi maju. Meskipun sebagian wilayah yang ditaklukkan itu sudah lepas kembali, tetapi masyarakat setempat telah berhasil keluar dari kegelapan budaya dan tak pernah kembali lagi.
Penulis buku ini, Hugh Kennedy, adalah guru besar fakultas kajian Asia dan Afrika, Universitas London, Inggris. Ia juga mengajar di fakultas sejarah Universitas St. Andrews, Skotlandia. Sebagai pakar sejarah Islam, karyanya cukup banyak, seperti When Baghdad Ruled The Muslim World (2006), The Courts of Caliph (2004), Crusader Castles (1994), dan The Prophet and The Age of Caliphates (1986).
Judul: Penaklukan Muslim yang Mengubah Dunia
Judul Asli: The Great Arab Conquest
Penulis: Hugh Kennedy
Penerbit: Pustaka Alvabet
Genre: Sejarah
Edisi: Cet 5, Januari 2015
Tebal: 490 halaman
ISBN: 978-602-9193-72-5