Sungguh menarik membaca ulasan Kompas bertajuk “Anak Muda China Lelah Cari Kerja” edisi 12 Maret 2024. Saya tertegun dibuatnya. Bagaimana dengan Indonesia? Saya pikir, Indonesia tidak lebih baik dari China, malah mungkin lebih buruk. Yang pantas menjadi renungan adalah bahwa di China, gen Z menjadi generasi paling pesimis tentang masa depan pekerjaan mereka. Padahal, pertumbuhan ekonomi China lebih baik daripada kita, bahkan negara maju lainnya. Untuk itu, dunia pendidikan kita yang keseluruhan siswanya adalah gen Z harus berbuat sesuatu supaya mereka tidak menjadi kelompok usia paling pesimis. Tentu, bukan hal mudah untuk melakukan itu.
Pasalnya, tantangan kehidupan semakin kompleks dan perubahan semakin eksponensial. Mengutip Yuval Noah Harari, kita belum tahu bakal seperti apa pasar kerja pada tahun 2030 atau 2040. Melalui bukunya 21 Lessons for the 21 Century, Yuval Noah Harari juga menjelaskan betapa eksploitasi tidak lagi hantu yang menakutkan. “Jauh lebih menakutkan ketidakrelevanan daripada eksploitasi,” katanya. Ketidakrelevanan itulah hantu yang paling menakutkan karena membuat banyak cabang pekerjaan menghilang. Menurut World Economic Forum (2023), sebanyak 69 juta pekerjaan baru akan muncul pada 2027 sebagai sebuah potensi baru.
Namun, di sisi lain, 83 juta posisi pekerjaan lainnya justru bisa hilang. Artinya, sebanyak 14 juta cabang pekerjaan di masa dekat ini akan berkurang. Muncullah kemudian pengangguran massal. Dalam konteks India, Mohandas Pai sudah sempat meramalkan bahwa pada 2025 akan ada 200 juta pemuda India yang menganggur dan belum ada yang tahu bagaimana solusinya. Dalam hal ini, jika pendidikan tidak cepat tanggap, kita akan memproduksi siswa-siswa pengangguran. Perlu diketahui, siswa kita tak lagi bersaing dengan sesama siswa atau manusia saja. Mereka akan bersaing dengan kecerdasan buatan yang kian masif.
Kelas “Tidak Berguna”
Banyak keterampilan khas manusia yang sudah bisa direplikasi oleh kecerdasan buatan. Teknologi AI, misalnya, sudah bisa membuat ilustrasi yang, konon, lebih dinikmati manusia. Masifnya perkembangan kecerdasan buatan yang sepertinya tak akan berhenti ini tentu akan membuat persaingan semakin tinggi. Lahirlah kemudian kelas manusia baru, meniru gaya bahasa Harari, yaitu kelas “tidak berguna”. Kelas “tidak berguna” ini akan menjadi korban dari berkurangnya cabang pekerjaan dan tidak siapnya manusia bekerja pada cabang pekerjaan baru. Sebab, lagi-lagi, dalam konteks India, dikutip dari dokumen ”Future of Jobs and Its Implications on Indian Higher Education” diperkirakan 65 persen pelajar SD (2016) akan berkarier dalam jenis pekerjaan benar-benar baru (Kompas, 1 Februari 2017).
Pertanyaannya, apakah kita sudah mempersiapkan gen Z untuk sigap bekerja pada cabang pekerjaan baru ini? Pertanyaan ini tentu harus menjadi inti pendidikan kita. Kita harus sadar, tantangan hidup saat ini tidak lagi sesimpel dahulu kala. Saat ini segala sesuatu sudah sangat cepat kehilangan momentum. Nokia, misalnya, pernah merajai pasar sebelum akhirnya tergusur oleh Blackberry. Namun, kemewahan Blackberry juga cepat tergusur. Artinya, pelajaran teoretis di sekolah kemungkinan besar tak lagi aplikatif dalam kehidupan mereka. Dalam hal ini, jikalau pendidikan melulu teoretis, pada dasarnya kita sedang mengonstruksikan generasi “tidak berguna”.
Mereka akan jadi pengangguran. Jangan keliru, masalah tidak hanya terjadi pada kecepatan berlalunya momentum saja. Masalah juga terletak pada rapuhnya pendidikan karakter. Arti karakter di sini tidak lagi melulu moral: baik tak baik atau pantas tak pantas. Arti karakter di sini lebih pada kegigihan, ketekunan, dan resiliensi (kelentingan). Sudah bukan rahasia lagi, kegigihan, ketekunan, dan kelentingan gen Z mulai rapuh. Hal itu buntut dari teknologi. Generasi terdahulu masih berjalan kaki ke sekolah, bahkan masih harus bekerja sebelum ke sekolah. Ditempah dengan berbagai kesulitan membuat mereka tetap gigih mengejar cita-cita dan kokoh bertahan ketika banyak rintangan.
Sebaliknya dengan saat ini, siswa ke sekolah sudah naik kendaraan. Mereka nyaris tidak punya hambatan ke sekolah. Kenyataan ini membuat karakter mereka semakin rapuh. Artinya, akar masalah siswa gen Z saat ini bertumpu pada dua hal: ekstrinsik (kegesitan zaman) sekaligus intrinsik (rapuhnya karakter). Untuk itu, pemerintah harus sigap membuat skema pendidikan penguatan karakter demi mampu beradaptasi terhadap perkembangan zaman. Pembelajaran di kelas tak bisa lagi melulu teoretis, apalagi sebatas mengerjakan soal-soal. Jika masih mengandalkan pembelajaran soal-soal tes, itu artinya pendidikan kita bermuara pada diterimanya anak didik di PTN tertentu.
Padahal, ujian akhir dari pendidikan adalah kemampuan anak didik untuk hidup. Karena itu, alih-alih mengerjakan soal-soal, pendidikan harus lebih pada menyelesaikan persoalan (studi kasus). Ruang kelas harus menjadi ruang berdebat, bukan ruang sepi membahas teori dan teori. Hal seperti itu dilakukan untuk memicu dan memacu perkembangan akal anak didik. Kita sudah harus fokus pada keterampilan-keterampilan yang lebih dibutuhkan. Hal itu sebagai buntut dari pergeseran pola kerja, dari otomasi ke kreasi. Dikutip dari Willy Bactiar, konon menurut analisis McKinsey Global Institute (2023), sekitar 2.000 aktivitas kerja akan difokuskan pada 20 keterampilan inti paling penting pada 2030 (Kompas, 9 Maret 2024).
Mari Berefleksi
Tiga keterampilan teratas yang diharapkan adalah keterampilan teknologi, sosial-emosional, serta kognitif tingkat tinggi. Keterampilan teknologi tentu erat kaitannya dengan kreativitas. Bagaimanapun, dengan kreativitas, teknologi jadi peluang masa depan. Kita sudah memanen generasi hebat dari teknologi. Globe Asia pernah mengeluarkan hasil temuannya di mana empat orang pegiat start up Indonesia berhasil masuk menjadi orang-muda kaya baru dalam jajaran 150 orang terkaya di Indonesia, seperti Ferry Unardi (Traveloka), William Tanuwijaya (Tokopedia), Achmad Zaky (Bukalapak), dan Nadiem Makarim (Go-Jek).
Banyak juga influencer yang mengandalkan hidupnya dari kreasi teknologi. Namun, di saat yang sama, kita tak bisa mengabaikan bahwa masih sangat banyak generasi kita yang terlena pada teknologi. Periksalah studi Digital Civility Index dari Microsoft: kita berada pada peringkat 29 dari 32 negara. Keterampilan lainnya adalah terkait sosial-emosional. Di zaman yang makin “edan”, keterampilan mengontrol sosial-emosional juga sangat urgen. Untunglah pada modul Program Guru Penggerak, pendekatan pembelajaran diferensiasi plus sosial-emosional dipelajari. Hal ini agar siswa terampil mengasah dan merawat sosial-emosional. Kiranya, siswa bisa dilatih untuk tidak gampang depresi berlebihan.
Sayangnya, melalui survei lingkungan belajar, masih ada siswa yang berniat bunuh diri karena kasus-kasus kecil di sekolah. Sementara itu, kompetensi lainnya adalah menyangkut kognitif tingkat tinggi. Kurikulum Merdeka sudah merumuskannya melalui profil pelajar Pancasila: berpikir kritis. Hal ini mengingat bahwa kecakapan rutin dan nonrutin semakin beroposisi biner. Tantangannya, siswa ternyata masih kurang berpikir kritis. Dalam Asesmen Nasional terekam bahwa mereka belum mampu mengkritisi wacana sederhana. Karena itu, kita menjadi patut untuk was-was: akan jadi seperti apa mereka setelah lulus sekolah? Apakah mereka akan menjadi generasi depresi, seperti yang mulai dialami China? Mari berefleksi dengan cermat!
Ulasan Pembaca 1