Teori Evolusi telah menjadi isu yang nampaknya tak pernah habis diperdebatkan di kalangan umat Islam. Mayoritas muslim telah memahami Evolusi dengan sentimen dan pemahaman yang keliru. Akibatnya respons yang muncul dalam ‘mengkritisi’ teori ini sering kali tidak tepat sasaran dan terkesan menutup pintu untuk dialog. Lalu bagaimana seharusnya kita mendudukkan dialog antara Islam dan Evolusi?
Saya akan mencoba meringkas presentasi Dr. Shoaib Malik tentang buku karyanya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul “Islam & Evolusi: Imam al-Ghazali dan Paradigma Evolusi Modern”. Dr. Shoaib adalah seorang saintis yang kemudian beralih menaruh minat pada kajian teologi dan mengambil Master di bidang Filsafat Sains dan Agama di University of Edinburgh, bahkan saat ini sedang mengambil doktoral kedunya di bidang teologi. Ia tertarik menulis sebuah buku dengan tema ini dan mulai menelusuri jejak-jejak perdebatan tersebut untuk mencoba mengidentifikasi apa yang menjadi keberatan Muslim terhadap teori ini.
Ia, yang mempunyai ketertarikan khusus pada sosok al-Ghazali, kemudian mencoba meminjam paradigma al-Ghazali untuk menimbang diskusi antara Islam dan Evolusi tersebut. Dalam bukunya yang berjudul asli “Islam and Evolution: al-Ghazali and The Modern Evolutionary Paradigm” tersebut, Shoaib Malik mula-mula menjelaskan mengenai definisi teori evolusi sesuai dengan yang dipahami di dalam disiplin ilmu terkait (Biologi). Evolusi, ungkapnya, merupakan sebuah ajuan teori untuk menjelaskan asal-usul keragaman makhluk hidup (biodiversitas) yang ada di bumi saat ini.
Teori ini menjelaskan bahwa biodiversitas–yang mana unit terkecil klasifikasinya disebut spesies–yang ada saat ini dipengaruhi oleh rangkaian proses seleksi alam dan mutasi genetik acak yang telah berlangsung selama jutaan tahun, sehingga masing-masing spesies dengan spesies lainnya pernah memiliki leluhur bersama (common ancestor) di rentang waktu tertentu, yang terhubung dalam garis kekerabatan biologis. Berdasarkan teori ini, manusia tidaklah serta-merta diciptakan begitu saja, ia merupakan bagian dari keragaman spesies yang muncul melalui mekanisme evolusi.

Sehubungan dengan adanya teori ini, muncul respons yang sangat beragam dari dunia Islam. Shoaib mengklasifikasikan beragam respons tersebut secara umum ke dalam empat posisi besar: (1) kalangan yang sepenuhnya menolak teori Evolusi dan meyakini semua makhluk diciptakan secara serta-merta (Creationism), (2) kalangan yang menerima namun mengecualikan manusia dari proses evolusi (Human Exceptionalism), (3) kalangan yang hanya mengecualikan sosok Adam dan Hawa (Adamic Exceptionalism), dan (4) kalangan yang sepenuhnya menerima teori Evolusi tanpa mengecualikan entitas biologis apa pun (No Exception). Masing-masing dari posisi yang ada membawakan argumentasi tertentu dalam mendukung sikapnya.
Melihat respons yang sangat beragam tersebut, Shoaib tertarik untuk meninjau kembali dan mencari kejelasan tentang sejauh mana Islam mengakomodasi teori Evolusi. Hal ini dirasa perlu mengingat, di satu sisi, teori evolusi merupakan inti dari ilmu Biologi yang didukung dengan bukti-bukti yang kuat dan melimpah, namun, di sisi lain, dunia Islam sudah sejak lama meyakini bahwa Adam merupakan sosok manusia pertama di bumi.
Buku ini mendasarkan analisisnya pada aspek teologis Islam Sunni dan secara spesisifik melalui kacamata Asy’ariyyah. Untuk itu, Shoaib mencoba menilik paradigma teologis al-Ghazali–yang ia asumsikan sebagai representasi dari teologi Asy’ariyyah–untuk kemudian ia jadikan sebagai instrumen dalam menganalisis sejauh mana Islam mengakomodasi teori Evolusi.
Dari tinjauannya tersebut, ia menemukan bahwa paradigma al-Ghazali–utamanya bila dikaitkan dengan isu ini–dapat disarikan ke dalam beberapa prinsip kunci, yaitu: (1) Seorang muslim wajib meyakini tiga unsur utama dari iman (Tuhan, Nabi Muhammad, dan Hari Akhir), (2) Tuhan mampu melakukan apapun yang secara logika mungkin terjadi, (3) Ayat-ayat al-Quran harus dipahami secara literal kecuali ada alasan memadai yang mengharuskan interpretasi, (4) Hadits-hadits ahad tidak mengikat secara aqidah.

Berangkat dari hasil tinjauannya terhadap paradigma al-Ghazali tersebut, Shoaib mencoba mengintrumentalisasikannya untuk menganalisis ragam posisi yang ada. Dalam analisisnya, ia mencoba untuk menimbang ragam posisi tersebut melalui dua aspek: (1) Metafisik, dan (2) Kitab suci. Secara metafisik, semua posisi yang ada (creationism, human exceptionalism, adamic exceptionalism, dan no exception) sama-sama mungkin dan diakomodasi oleh Islam. Hal ini lantaran, sebagaimana prinsip yang kedua, Tuhan mampu menciptakan manusia dengan cara apapun selama hal itu mungkin (possible) secara logika.
Sedangkan melalui tinjauan kitab suci, ada dua hal yang perlu diperhatikan terlebih dahulu, yakni: (1) Hadits-hadits yang terkait dengan isu ini merupakan hadits ahad. Karenanya, tinjauan dari aspek kitab suci akan sepenuhnya fokus pada ayat-ayat al-Quran saja yang relevan dengan isu ini. (2) Peristiwa mukjizat harus tetap dipahami secara literal, karena mempertimbangkan bahwa Tuhan mampu saja melakukan apapun selama hal itu mungkin secara logika. Memaksakan peristiwa mukjizat untuk dibaca melalui kacamata sains yang mengacu pada regularitas hanya akan membawa kita pada saintisme.
Di dalam al-Quran terdapat beberapa ayat yang relevan dengan isu ini. Namun, dalam presentasinya yang singkat tentang gambaran isi bukunya tersebut, Shoaib hanya mengetengahkan beberapa ayat tentang penciptaan Adam. Pertama, bahwa Tuhan menciptakan Adam dari tanah (al-Quran 32: 7-8). Kedua, bahwa umat manusia diciptakan Tuhan melalui satu sosok -merujuk ke Adam- (al-Quran 4: 1). Ketiga, bahwa penciptaan Isa sama halnya dengan penciptaan Adam, yakni diciptakan dari tanah.
Beberapa ayat di atas menunjukkan indikasi bahwa Adam diciptakan tanpa orang tua. Tentu ini merupakan sebuah peristiwa mukjizat, yang dalam paradigma Asy’ariyyah adalah hal yang mungkin saja terjadi, sehingga tidak ada alasan yang memadai untuk menginterpretasikannya dalam arti lain. Satu hal yang dapat dipastikan dari sini adalah bahwa Adam dan Hawa diciptakan secara mukjizat, dengan kata lain posisi no exception tidak diakomodasi oleh kitab suci.
Namun bagaimana halnya dengan tiga posisi yang tersisa (creationism, human exceptionalism, dan adamic exceptionalism)? Creationism tentu terakomodasi dengan baik. Ayat-ayat tentang penciptaan Adam dapat dijadikan indikasi bahwa Tuhan juga menciptakan makhluk hidup lainnya secara serta-merta. Hal itu adalah sesuatu yang mungkin saja terjadi dan tidak mustahil bagi Tuhan.
Namun, kedua posisi yang tersisa juga sama-sama terakomodasi. Human exceptionalism bisa terakomodasi lantaran tidak ada ayat yang secara eksplisit menjelaskan tentang penciptaan tumbuhan dan hewan (dan/atau entitas biologis lainnya selain manusia). Adamic exceptionalism juga bisa terakomodasi mengingat ayat-ayat yang ada secara eksplisit hanya menjelaskan tentang proses penciptaan Adam, bukan manusia secara umum dan tidak sama sekali menyebutkan bahwa ia merupakan sosok manusia pertama, sehingga hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa sudah ada manusia lain di bumi saat Adam diciptakan secara mukjizat.
Kesimpulannya, posisi paling jauh bagi Islam untuk mengakomodasi teori Evolusi, melalui pertimbangan kedua aspek: Metafisis dan Kitab suci, adalah posisi Adamic Exceptionalism. Meskipun demikian, pengecualian akan sosok Adam sama sekali tidak akan mengurangi penerimaan kita terhadap teori Evolusi sebagai penjelasan akan biodiversitas di bumi. Hal ini dikarenakan penciptaan Adam secara mukjizat tidak akan mempengaruhi nilai fungsionalitas dan objektifitas dari teori tersebut. Wallaahu a’lam
Mantap sekali, terjemahannya sangat bagus. Covernya keren! Sangat cocok buat yang ingin tahu lebih jauh kemungkinan titik temu antara Islam dengan teori evolusi.