Tidak ada satu pun agama yang tidak berangkat dari sebuah respons sosial. Semua bertolak dan bergumul dari, untuk, dan dengannya. Ketika agama yang merupakan titah suci Tuhan berdialektika dengan realitas sosial, berarti ia menyejarah. Sejarah, ruang, dan waktu adalah penguji kebenaran serta kekokohan eksistensi agama. Sebagai penguji, sejarah tentu memliki seperangkat bahan ujian. Bahan itu adalah unsur-unsur budaya setempat, fenomena dan budaya baru, serta rasionalitas.
Dalam sejarahnya, agama tidak luput dari unsur-unsur budaya lokal di mana ia turun. Agama Islam hadir saat tradisi paganisme merajalela. Tradisi paganisme adalah sebuah tradisi turun-menurun yang lahir dari penyelewengan ajaran Ibrahim As. Maka, tak heran, jika Nabi Muhammad Saw hanya membenahi ajaran pendahulunya dan membubuhinya dengan syariat yang klop dengan umat yang dihadapi di masa-masa yang akan datang. Beliau tidaklah membawa agama baru. Purifikasi agama yang dilakoni beliau tidak lain hanya menegaskan kembali esensi ajaran Ibrahim As.
Namun, Islam tidaklah antipati terhadap seluruh tradisi Arab ketika itu. Sebagian tradisi ditanggalkan, sebagian lagi dibenahi lantas dilestarikan. Dalam ungkapan al-Asymawi, mantan Hakim Agung Mesir, Islam tidak luput dari jeratan tradisi Arab. Islam dinilainya mengadopsi beberapa unsur kebudayaan tersebut.
Ambivalensi
Hingga kini, hubungan antara Islam dengan isu-isu lokal menjadi kegairahan yang tak pernah usai. Hubungan intim antara keduanya dipicu oleh kegairahan pengikut Islam yang mengimani agamanya shalihun li kulli zaman wa makan, selalu selaras untuk setiap waktu dan tempat. Islam akan senatiasa dihadirkan dan diajak bersentuhan dengan keanekaragaman konteks. Kehadiran Islam tak nihil dari muatan-muatan lokal yang mendahului kehadiran Islam.
Proses adaptasi antara ajaran Islam (wahyu) dengan kondisi masyarakat dapat dilihat dengan banyaknya ayat yang memiliki asbab al-nuzul. Asbab al-nuzul merupakan penjelasan tentang sebab atau kausalitas sebuah ajaran yang diintegrasikan dan ditetapkan berlakunya dalam lingkungan sosial masyarakat. Asbab al-nuzul juga merupakan bukti adanya negosiasi antara teks Al-Quran dengan konteks masyarakat sebagai sasaran atau tujuan wahyu.
Hubungan antara agama dengan kebudayaan tampak sebagai sesuatu yang ambivalen. Agama (Islam) dan budaya mempunyai independensi masing-masing, tetapi keduanya memiliki wilayah yang tumpang-tindih. Di sisi lain, kenyataan tersebut tidak menghalangi kemungkinan manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk budaya.
Pada perkembangan selanjutnya, terdapat perbedaan pendapat di kalangan umat Islam tentang hasil dari proses dialog tersebut. Sebagian berpendapat rumusan ketetapan dianggap sebagai ajaran final yang harus diterapkan di semua lapisan umat Islam, sedangkan pendapat lain mengemukakan bahwa yang final bukanlah hasil dari proses dialog, tetapi nilai dasar yang ingin disampaikan dari ayat yang bersangkutan. Sehingga sangat mungkin terjadi perbedaan aplikasi dari ketentuan yang sudah ada. Hal ini karena masing-masing umat Islam memiliki budaya yang berbeda, hasil akhirnya ditentukan oleh kreativitas masyarakat dalam mendialogkan kebudayaan mereka dengan ajaran agama yang diyakininya.
Di sisi lain, ada pendapat bahwa Islam tidak identik dengan Arab, sehingga tidak semua yang berbau Arab adalah Islam. Harus dibedakan antara Islam sebagai agama dan Arab sebagai budaya. Di sinilah perlunya memilah antara mana yang merupakan ajaran dasar Islam dan mana yang telah berakulturasi dengan budaya Arab.
Dalam ranah ini, hubungan antara Islam dengan anasis-anasir lokal mengikuti model keberlangsungan (al-namudzat al-tawashuli), ibarat manusia yang turun-temurun lintas generasi, demikian juga kawin-mawin antara Islam dengan muatan-muatan lokal.
Inovasi
“Perselingkuhan” antara agama dan tradisi adalah sunnatullah. Maka, sangat naif jika ada sebagian pihak menyatakan bahwa agama menafikan eksistensi tradisi sebagai khazanah hasil pencapaian manusia. Tapi, bukan berarti agama tunduk dan patuh pada konteks yang ada. Ia memadukan dengan seimbang (well balanced) antara teks dan konteks tersebut guna melahirkan suatu aturan atau hukum demi kemaslahatan.
Dalam beberapa karya ulama fikih klasik dan kontemporer, sangatlah mungkin satu kaidah fikih yang menyebutkan al’adah muhakkamah (suatu adat yang menjadi hukum) tidak luput dari jangkauan pembahasan mereka. Kaidah familiar ini sudah tentu merupakan buah dari jerih payah para ulama klasik dalam memahami relasi antara karakter tipikal Islam dan tradisi.
Tradisi Islam-Arab bermula sejak dimulainya masa perwahyuan Al-Quran dan Hadist. Dari masa itu, umat Islam mulai meracik dan menumbuhkembangkan peradaban Islam yang kelak menjadi peradaban raksasa dunia. Peradaban Islam banyak dipengaruhi pada tradisi itu sendiri. Adapun tradisi (turats) adalah hasil dari pembacaan, pemahaman, serta interpretasi seseorang terhadap teks-teks keagamaan sesuai situasi, kondisi, dan kadar kapabilitas orang tersebut.
Tradisi adalah pemikiran manusia yang profan atas teks-teks keagamaan yang sakral. Hasil pertautan antara yang sakral dengan profal adalah profan. Jadi, jika Islam hadir sebagai respons atas realitas sosial, maka tradisi tak ubahnya merupakan “anak” hasil dari “perselingkuhan” agama.
Dari sini dapat ditarik kesimpulan, bahwa relasi antara Islam dan tradisi (turats) dalam pemikiran umat Islam sangatlah erat. Memahami Islam tanpa sokongan penguasaan warisan intelektual para pendahulu amat sulit mencapai titik kesempurnaan.
Metode Baru
Memahami tradisi tidak cukup hanya dengan menggunakan metode konvensional yang tidak memberikan kontribusi pemikiran yang berarti, mengutip Abed Al-Jabiri, hanya merupakan repetisi pemikiran orang-orang terdahulu. Maka, perlu kiranya mencari sebuah metode baru untuk memahaminya guna melahirkan dan menciptakan genre pemikiran baru. Karena, diakui atau tidak, pengaruh tradisi tersebut amat signifikan terhadap umat Islam.
Metode baru itu haruslah sebuah metode yang berusaha mengembalikan citra dari otoritas tratdisi kepada otoritas pembaca. Metode yang dimaksud adalah metode pemahaman modern dan visi kontemporer atas tradisi (al-fahm al-hadatsi li al-turats wa ru’yah jadidah lahu), sebuah metode yang diajukan oleh Al-Jabiri.
Hal ini bukanlah hal sepele, melainkan problem krusial umat Islam. Karena, menurut Hasan Hanafi, hingga detik ini “penampakan” tradisi masa lalu masih sangat kentara terlihat dari tindak-tanduk kita di masa kini. Tapi, tidaklah bijaksana jika tradisi tersebut dibumihanguskan hingga tak tersisa sama sekali.
Sikap akomodatif bagi masyarakat Muslim Indonesia merupakan keniscayaan sejarah sebagai akumulasi dari dialog dan sapaan antarbudaya yang dibawa oleh para pedagang Muslim yang memiliki karakteristik hidup lebih dinamis dibandingkan dengan masyarakat agraris atau petani. Dinamika kehidupan para pedagang dari berbagai daerah (Arab, India, Cina, dan Persia) ini membuka keragaman budaya Islam Indonesia yang kemudian terbangun kuat lewat interaksi perdagangan, perkawinan, dan pewarisan kekuasaan politik di Indonesia. Tanpa sikap akomodatif seperti ini gesekan dan benturan dalam interaksi sosial di Indonesia akan terasakan begitu kuat.
Sikap kontradiktif terhadap budaya lokal akan bertentangan dengan watak sosiologis dan geografis yang lebih memberikan peluang dan potensi besar terhadap terbentuknya sikap yang akomodatif. Islam di Indonesia akan tetap berkembang selama masih membawakan kesejukan bagi kehidupan masyarakatnya.
Sebaliknya, pembacaan terhadap teks kitab suci yang skripturalis-literalis dan sikap ekstrem dalam berislam akan membawa kemunduran dalam memperjuangkan nilai Islam. Sikap akomodatif dalam artinya yang positif menjadi pra-syarat untuk memajukan Islam di Indonesia.
Bacaan terkait
Kitab Kuning dan Jalan Moderasi
Melanjutkan Wacana Post-Caknurian
Meramaikan Maulid Nabi, Membaca Ulang Pancasila
Wasathiyah Islam: Menggali Makna dan Relevansi Moderasi dalam Islam
Kritik Hujjatul Islam terhadap Filsafat dalam “Maqashid al-Falasifah”