Ramadan kembali tiba. Bulan suci, bulan berkah, bulan menahan hawa nafsu—kecuali mungkin, nafsu belanja. Ini bulan di mana umat Islam diajarkan kesabaran, keikhlasan, dan hidup sederhana. Ironisnya, harga-harga barang justru naik, antrean di kasir lebih panjang dari biasanya, dan transaksi tunai maupun digital cenderung melonjak.
Sejak awal bulan, pengingat tentang Ramadan sudah menghiasi layar televisi, spanduk di jalan, dan iklan di media sosial. Para ustaz mengingatkan bahwa Ramadan adalah waktu terbaik untuk menahan diri dari godaan duniawi. Umat mengangguk paham, lalu dengan sigap membuka aplikasi marketplace, mencari promo “THR Ramadan: Cashback Tanpa Batas Pembelian.”
Inflasi dan Dompet yang Berpuasa
Puasa, secara ideal harusnya mengurangi konsumsi. Makan besar hanya dua kali sehari, dengan porsi yang lebih sedikit. Logikanya, biaya belanja bulanan juga turun. Namun, realitas berkata lain. Data dari lembaga statistik menunjukkan bahwa setiap Ramadan, konsumsi rumah tangga justru melonjak. Pasar dan aneka pusat perbelanjaan lebih ramai daripada hari-hari biasa. “Ini, kan, bulan menahan diri,” ujar seorang ibu rumah tangga sambil mendorong troli penuh daging, susu, dan lima botol sirup merek terkenal.
Bahkan pemerintah pun sampai turun tangan, memantau harga bahan pokok agar inflasi tidak meroket terlalu tinggi. Ramadan telah menjadi fenomena ekonomi tersendiri, sebuah siklus tahunan di mana masyarakat yang tadinya mengeluh harga naik justru berbondong-bondong membeli lebih banyak. Ini semacam puasa finansial: menahan uang di dompet hanya sampai awal bulan, lalu dilepaskan tanpa ragu saat melihat spanduk “Diskon Spesial Ramadan.”
Puasa bukan sekadar menahan lapar dan haus, kata para ulama. Puasa juga menahan diri dari keserakahan, dari kerakusan duniawi. Karena itulah, kita berbuka dengan tiga jenis takjil, sepiring besar nasi kebuli, irisan paha kambing, es buah, dan segelas susu kurma. Makan secukupnya memang dianjurkan, tetapi “cukup” itu kata yang fleksibel. Tergantung seberapa besar piringnya.
Sementara di dapur, lemari es penuh sesak dengan stok makanan yang cukup untuk menghadapi musim paceklik. Setiap malam meja makan berubah seperti pesta perjamuan kerajaan. Lalu setelah makan besar, muncul fenomena mendadak—kantuk yang luar biasa. Tak perlu heran, ini efek kombinasi antara perut kenyang dan lampu kamar yang terlalu redup.
Produktivitas dan Efisiensi ala Ramadan
Dalam ceramah-ceramah Ramadan, sering ditekankan bahwa puasa tidak boleh menurunkan produktivitas. Sejarah bahkan mencatat banyak peperangan besar terjadi saat umat Islam berpuasa, dan mereka tetap menang. Namun, ini tampaknya hanya berlaku untuk pasukan perang zaman dulu, bukan untuk pegawai kantoran yang harus menghadapi rapat bulanan.
Di kantor-kantor, Ramadan menjadi bulan efisiensi— tanpa kudapan yang bisa dikonsumsi. Rapat yang biasanya berlangsung satu jam, dipangkas jadi lima belas menit. Alasan resmi: agar tidak menguras tenaga. Hasilnya? Keputusan yang biasanya butuh diskusi panjang, kini diselesaikan dengan cepat—dan tentu saja, dengan tingkat ketidakjelasan yang lebih tinggi.
Beberapa kantor bahkan menerapkan kebijakan jam kerja lebih pendek. Ini tentu kabar baik bagi pegawai. Dalam kondisi normal, bekerja sudah cukup melelahkan. Apalagi kalau harus bekerja sambil menahan lapar dan haus? Maka, dengan penuh pengertian, banyak yang memilih mengurangi aktivitas berat. Lebih banyak duduk, lebih sedikit bergerak. Jika memungkinkan, kerja sambil rebahan.
Di jam istirahat, musala (mushola) kantor berubah fungsi. Biasanya hanya dipakai untuk salat, kini menjadi tempat bertapa, dengan suara dengkur bersahut-sahutan tanpa irama. Tidur di bulan puasa itu berpahala, kata sebuah hadis. Dengan pemahaman ini, sebagian pegawai memilih memaksimalkan pahala dengan waktu tidur yang lebih lama.
Di dunia pendidikan, para siswa mengalami hal serupa. Guru-guru yang biasanya aktif menjelaskan materi, kini lebih banyak memberikan tugas. Siswa-siswa yang biasanya aktif mencatat, kini lebih banyak melamun. “Kenapa kalian diam saja?” tanya pak guru. “Kami sedang menghemat energi, pak,” jawab murid-murid dengan penuh kebijaksanaan.
Namun, ada satu momen di mana energi masyarakat kembali melonjak: satu jam sebelum berbuka. Entah dari mana datangnya kekuatan itu, tiba-tiba semua orang menjadi lebih gesit. Masjid penuh, jalanan macet, antrean di warung makan mengular. Azan Maghrib seperti lonceng pembebasan, dan dalam hitungan detik, sendok-sendok mulai beraksi. Puasa seolah hanya mengubah jadwal makan. Tak lebih.
Tradisi Lebaran: Saat Menahan Diri Berakhir
Jelang Ramadan berakhir, jumlah barisan di masjid dan musala semakin berkurang. Sepertinya para penghuni barisan itu pindah ke antrian di pusat-pusat perbelanjaan. Mereka berbelanja seolah uangnya sudah tidak laku lagi di esok hari.
Setelah sebulan penuh menahan diri—atau lebih tepatnya menunda konsumsi sampai matahari terbenam—tibalah di puncak perayaan: Idul Fitri. Hari kemenangan. Hari di mana semua pengendalian diri dicabut, dan manusia kembali ke kebiasaan lama.
Di hari ini, meja makan kembali penuh dengan ketupat, opor, rendang, dan berbagai hidangan lain yang jumlah kalorinya cukup untuk bekal mendaki gunung. Hari di mana diet yang sempat berjalan selama sebulan dilupakan begitu saja.
Di hari Lebaran, dompet yang sudah terkuras untuk belanja Ramadan semakin menipis karena angpao THR. Tahun lalu kita berjanji untuk lebih bijak dalam mengelola keuangan. Tahun ini janji itu kembali diulangi, dengan keyakinan bahwa mungkin tahun depan kita akan lebih baik—walaupun kemungkinan besar, pola yang sama akan terulang.
Begitulah siklus Ramadan kita. Bulan latihan kesabaran, bulan mengendalikan diri, bulan untuk menjadi lebih baik—dengan catatan, hanya sejak beduk Subuh hingga awal azan Maghrib dikumandangkan.
Selamat menunaikan ibadah puasa. Semoga kita semua kuat menahan lapar, haus, dan yang terpenting—godaan diskon besar-besaran.
Bacaan terkait
Kitab Puasa: Melihat Ramadan dari Bumi dan Langit
“Puasa Diet” Ulil dan Hidup Sehat
Ulasan Pembaca 2