Agama bukan urusan sembahyang dan doa saja. Karena itu, agama—melalui kelembagaannya—boleh dan perlu terlibat dalam bidang pendidikan (bikin sekolah); sosial, dan kesehatan (bikin rumah sakit misal), dan lain-lain—di berbagai tempat dan di berbagai zaman. Demikianlah yang dilakukan agama, tapi tidak untuk terlibat dalam soal tambang. Mengapa?
Berbeda dengan sekolah (pendidikan); rumah yatim (sosial); kesehatan (RS), misalnya, yang merupakan pengabdian dan pelayanan, tambang adalah bagian dari industri ekstraktif, yang mengolah dan menguras sumber daya alam. Ia bisa menimbulkan penghancuran habitat, mengakibatkan polusi, dan penipisan sumber daya, serta bencana alam lainnya. Masak agama menjadi penghancur alam dan lingkungan?
Karena daya rusak tambang, orang banyak mulai meninggalkannya dan mulai mencari alternatif-alternatif baru yang lebih ramah dan memberikan pada kehidupan yang lebih sehat dan beradab. Kalangan agama semestinya mendukung dan bahkan terlibat dalam pencarian energi alternatif ini.
Selain itu, industri ekstratif ini lebih banyak menguntungkan negara-negara besar, dan makin memerosotkan negara asal, dan terutama komunitas tempat tambang itu dikuras, bukan hanya alam, tapi sistem sosialnya juga hancur.
Dalam keadaan seperti itu, agama semestinya menjadi pengkritik industri ekstraktif, bukan malah menjadi pelaku perusakannya. Lebih dari itu, ketika terjadi konflik antara komunitas dan perusahaan tambang (seperti banyak terjadi di berbagai tempat), maka betapa ironisnya jika ormas keagamaan berdiri bersisian dengan perusahaan industri ekstraktif tersebut vis a vis dengan komunitas. Ia bukan lagi pengabsah industri tambang, tapi telah menjadi salah satu pelakunya. Menyedihkan, Mas Bro!
Jika ormas keagamaan ikut cawe-cawe dalam industri tambang, maka ia kehilangan legitimasi moralnya untuk mengkritik bukan hanya dampak tambang, juga yang lainnya. Karena ia kehilangan keberpihakan dan komitmen sosialnya kepada masyarakat. Pada kenyataan, penyertaan ormas agama ini mungkin semacam pola penjinakan saja. Dalam praktiknya, nama ormas agama dipakai sebagai “atas nama” saja dengan “sedikit pembagian”, pembagian terbesarnya tetap para investor kawakan tersebut.
Industri tambang memang menggiurkan karena bisa menghasilkan banyak fulus. Benar-benar bikin ngiler. Tak bisa dibantah bahwa di kalangan masyarakat di mana ada tambang, kelimpahan uang ini telah mengakibatkan demoralisasi. Yang kaya makin kaya (di Kalimantan Selatan, hanya dalam 30 tahun terakhir ada rumah seperti istana [setelah era tambang], sebelumnya tidak pernah ada). Agama, kalau mau omong moral, mau gimana lagi, lha wong ia sudah mengabsahkan salah satu sumber demoralisasi tersebut. Bahkan kalangan agama yang terlibat dalam tambang itu, terutama karena rendahnya tradisi akuntabilitas dan transparansi, mungkin akan menjadi korban utama demoralisasi tersebut, rebutan jatah di kalangan elite pimpinannya dan korupsi merajalela di dalamnya. Benar-benar mengkhawatirkan.
“Kita” (saya ajak kalian yang sepaham) bukan hanya perlu khawatir dengan ide menyertakan ormas ikut industri tambang, tapi juga harus menolaknya.
Sumber: Facebook Hairus Salim
Ulasan Pembaca 1