Fenomena perubahan iklim yang berdampak pada kerentanan dan krisis lingkungan telah berada di titik nadir yang sangat memprihatinkan. Berdasarkan data lembaga Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), setiap tahun bencana ekologis semakin meningkat. Namun, kondisi krisis lingkungan yang sudah melampaui ambang batas ini tak disikapi dengan waspada. Bahkan, seolah tak mau acuh dengan kondisi lingkungan yang semakin rentan, merujuk pada pandangan Sony Keraf dalam buku Etika Lingkungan Hidup, justru perilaku masyarakat kian menunjukkan sikap abainya.
Padahal, berbagai seruan moral dan pernyataan sikap bersama yang melibatkan lintas sektor telah dilakukan oleh berbagai komunitas pencinta lingkungan. Di tingkat global, juga pemerintah, telah menetapkan tanggal-tanggal tertentu sebagai momen refleksi atas isu-isu lingkungan. Dua di antaranya, Hari Air Sedunia (22 Maret) dan Hari Bumi (22 April) sebagai momen renungan untuk menjaga kelestarian lingkungan dan Bumi demi menyelamatkan masa depan planet dan umat manusia.
Bahkan, genderang peringatan terkait nasib lingkungan sudah diserukan dengan keras melalui berbagai forum dunia. Pada tahun 1972 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menggelar konferensi tentang lingkungan hidup di Stockholm, Swedia. Pada tahun 2002 ada World Summit on Sustainable Development di Johannesburg, Afrika Selatan. Forum-forum ini mengajak semua negara di seluruh dunia agar sama-sama berkomitmen untuk membangun masyarakat global yang humanis dan menjunjung tinggi pembangunan yang berkelanjutan.
Demikian pula pada tahun 2007 PBB menggelar Konferensi Perubahan Iklim di Nusa Dua, Bali, untuk menegaskan kembali pentingnya gerakan bersama menyelamatkan lingkungan. Sebagai puncak seruan moral dari pentingnya penumbuhan sikap ramah lingkungan, PBB menetapkan 5 Juni sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Momen ini direfleksikan sebagai cara kita untuk menyoroti isu perlindungan dan kesehatan lingkungan.
Di tengah masifnya berbagai pihak yang menegaskan pentingnya menyelamatkan lingkungan, bagaimana posisi umat Islam agar bisa turut ambil bagian dalam menjaga lingkungan? Bagaimana umat Islam menderivasi berbagai perangkat pengetahuan teologisnya, baik yang bersumber dari dalil naqly (Qur’an, hadis, fatwa) maupun dalil ‘aqly (nalar) sebagai panduan reflektif-implementatif dalam merawat lingkungan?
Semangat Theo-Antropomorfis
Fikih lingkungan (al-fiqh al-bi’ah) merupakan metode keilmuan yang di satu sisi memadukan pesan moral yang tertuang dalam dalil naqly (al- Qur’an, hadis, fatwa) dengan dalil ‘aqly (ijtihad), dan di sisi lain dapat dikembangkan sebagai pendekatan reflektif-implementatif dalam menyikapi lingkungan. Fikih lingkungan juga merupakan konsep keagamaan yang menjelaskan pola hubungan sinergis antara dogma agama dengan alam, terutama yang berhubungan dengan isu-isu lingkungan.
Merujuk pada pandangan Kiai Ali Yafie lewat karyanya, Merintis Fiqh Lingkungan Hidup (2006), ada tiga pendekatan yang patut direalisasikan dalam melestarikan lingkungan. Pertama, ta’abbudi, menjadikan pelestarian lingkungan tidak hanya dimaknai sebagai tindakan kebersihan fisikal semata. Lebih dari itu, tindakan ini untuk menciptakan kesucian spiritual. Dengan demikian, di satu sisi, aksi nyata pelestarian lingkungan menghubungkan emosi kemanusiaan secara horisontal (hablun minan nas) dan, di sisi lain, meneguhkan emosi ketuhanan secara vertikal (hablun minallah).
- Fiqih lingkungan terinspirasi dari Surah ar-Rum ayat 41
- Pelestarian lingkungan hidup dari kerusakannya adalah bagian dari Iman
- Penanggung jawab utama pemeliharaan lingkungan adalah Ulil amri
Pada titik ini, ketika pendekatan theo-antropomorfis dijadikan sebagai pijakan utama dalam menyikapi lingkungan, maka menjaga lingkungan (hifdz al-bi’ah) menjadi kewajiban setiap orang (fardlu ‘ain) yang harus ditegakkan.
Dalam rumusan fikih, ketika suatu hukum ditentukan sebagai sebuah kewajiban, sejatinya perlakuan ramah terhadap lingkungan menjadi keniscayaan yang bersifat sine qua none. Konsekuensinya, bila ada seseorang yang melanggar kewajiban untuk melestarikan lingkungan, tidak menutup kemungkinan dia akan diganjar dosa. Dan, penimpaan dosa atas pelanggaran tersebut bisa saja ditetapkan sebagai dosa besar (minal kabair al-dzunub) yang serupa dengan tindakan kemaksiatan tak terampuni lainnya sebagaimana ditentukan dalam Qur’an dan hadis.
Oleh karena itu, formulasi fikih lingkungan yang dilandasi dengan semangat theo-antropomorfis sesungguhnya ingin menegaskan cara pandang komprehensif dalam menyikapi lingkungan. Yakni, perlakuan baik terhadap lingkungan meniscayakan perjalinan emosional antara hablun minan nas dan hablun minallah sekaligus. Dengan cara ini, pendekatan ta’abbudi tidak hanya disadari sebagai penghayatan yang seremonialistik, namun juga sebagai cara kerja mengartikulasikan spiritualitas lingkungan dalam keseharian kita.
Kedua, ta’aqquli, setiap upaya pelestarian lingkungan harus dilandasi dengan nalar humanis. Semangat pelestarian lingkungan yang dilakukan tidak hanya berdasarkan pada kepentingan sesaat, melainkan menjangkau masa depan generasi mendatang. Prinsip humanitas ini menjadi tonggak kebersahajaan untuk saling menghargai hak asasi yang dimiliki masing-masing orang, agar setiap pengelolaan lingkungan turut memikirkan nilai-nilai keberlanjutan dan prinsip keramahan.
Terlebih kehidupan kita sudah dilingkupi oleh semangat sustainable development goals (SDGs) yang “menuntut” kita harus tunduk pada kesepakatan (ijma’) global. Dalam SDGs terdapat 17 langkah, 169 program, dan 300 indikator yang berhubungan erat dengan terpeliharanya manusia dari potensi kerentanan lingkungan dan kemelaratan sosial. Oleh karena itu, pendekatan ta’aqquli harus didudukkan sebagai strategi keilmuan dalam menderivasi nalar humanis dan menyikapi lingkungan yang baik (maslahah).
Ketiga, akhalluqi, yaitu menumbuhkan etika sosial dalam melestarikan lingkungan. Etika sosial ini sangat membantu bagi penumbuhan kesadaran personal dalam menciptakan suasana keramahan lingkungan melalui sikap saling memelihara, saling menjaga, dan saling mengingatkan antar satu dengan yang lain. Dengan demikian, suasana interaktif yang tumbuh dalam pelestarian lingkungan secara koletikf dan partisipatoris akan melahirkan akhlak mulia terhadap lingkungan.
Di samping itu, menumbuhkan akhlak mulia (akhlaqul karimah) terhadap lingkungan merupakan modal utama bagi kita untuk menciptakan peradaban kehidupan yang lebih baik. Kita bisa berkaca pada beberapa negara maju yang menaruh perhatian dan kepedulian sangat tinggi terhadap lingkungan. Bahkan, dapat dikatakan pula, semakin tinggi kepekaan sosialnya terhadap lestarinya lingkungan, akan semakin tinggi pula tingkat derajat peradabannya.
Ketiga unsur tersebut perlu diinternalisasi ke dalam keseharian kita, agar setiap tindak-tanduk yang kita lakukan mencerminkan sebuah tanggung jawab untuk mensyukuri nikmat Tuhan melalui pelestarian lingkungan secara sinergis, penanganan bencana yang proaktif, dan menghindarkan diri dari sikap reaktif atas penanggulangan sesaat yang selalu surut bila kepentingan lain hadir dalam ruang lingkup kita.
Di samping itu, melalui ketiga argumen tersebut, fikih lingkungan harus diberdayakan kembali sebagai cara pandang kritis agar kita bisa menerapkan berbagai pesan moral yang ditegaskan dalam dalil naqly maupun dalil ‘aqly demi kelestarian lingkungan. Jadi, fikih lingkungan beneran bertaring di lapangan, bukan sekadar nyaring di toa-toa.
Dengan begitu, kita menjadi orang saleh yang tidak sekadar memanifestasikan keimanan kita untuk pelestarian ibadah di masjid, gereja, pura, vihara, dan semacamnya. Lebih dari itu, kita juga bisa memosisikan keramahan lingkungan sebagai semangat transendentalitas ketuhanan yang sama-sama hadir dalam ibadah di jalan, hutan, sungai, dan ruang hulu dan hilirnya kebersihan lingkungan.