Suasana kelas mendadak sunyi ketika Kiki, remaja perempuan yang paling aktif dan cerdas, terisak menceritakan kejadian di rumahnya tadi pagi. “Kak, tadi pagi Mama pukul saya, Mama usir saya. Katanya, ‘Gue bunuh Lu! Pergi Lu dari rumah gue!”
Air mata Kiki menetes, membentuk jalur-jalur kecil di antara lapisan bedak tipis di pipinya.
“Saya nggak tahu salah apa. Dari kecil, Mama sering kayak gitu. Pernah, rambut saya diseret dari bawah sampai lantai dua. Saya takut, Kak. Saya enggak tahu harus ngapain,” isaknya. Suaranya terputus-putus.
Kelas yang tadinya ceria dan bersemangat kini terasa berat, dipenuhi aroma ketakutan dan kesedihan.
Rini, teman dekat Kiki, segera memeluk, berusaha menenangkan Kiki. Ita, yang duduk di samping Kiki, dengan wajah penuh empati, memegang erat tangan Kiki. Sekilas aku melihat mata Ita berkaca-kaca.
Yang lain tertunduk, sebagian menampakkan wajah memelas. Di udara, terasa beratnya beban emosi yang mereka rasakan bersama.
Di antara suara tangisan Kiki yang belum juga berakhir, Ita memecah kesunyian, “Aku juga pernah digituin, Kak, sama Mama.” “Aku juga, Kak, tapi sama Bapak”, sahut Mita. Lalu yang lain sambung-menyambung seperti gerbong kereta yang tak putus-putus.
Kisah Kiki, Ita, dan remaja perempuan lain yang tergabung dalam Kelas Perempuan Muda Tangguh, bukan cerita baru. Ia seperti kisah klasik yang terus berulang. Pernah juga, di pelatihan lain yang saya fasilitasi, seorang remaja yang tampak ceria dan aktif, tiba-tiba curhat mengungkapkan kepedihannya yang mendalam. Ia mengalami bullying di sekolah, oleh teman, juga gurunya.
Tekanan akademik dan sosial yang begitu tinggi telah menjeratnya dalam lingkaran kecemasan dan depresi.
Di kesempatan lain, peserta pelatihan bercerita bagaimana mereka menggunakan dua akun WhatsApp untuk berbicara kepada dirinya sendiri, sebuah strategi koping yang, walau terlihat unik, menunjukkan betapa besar kebutuhan mereka untuk didengarkan, dipahami, dan didukung.
Ini mengingatkan saya pada karakter-karakter dalam “The Catcher in the Rye” karya J.D. Salinger, yang mencoba mencari arti dan tempat, di dunia yang terasa asing dan penuh tekanan. Mereka merasa terasing, dan mencari tempat untuk mengungkapkan emosi dan pikiran mereka.
Sebagai trainer pengembangan diri, di kelas-kelas yang aku fasilitasi, sering banget aku ketemu dengan individu yang, di balik penampilan luarnya yang ceria, menyimpan luka batin yang dalam.
Senyum mereka sering kali menjadi topeng yang menyembunyikan pertarungan melawan kecemasan, depresi, atau gangguan mental lainnya.
Dalam pengalamanku memberi training pengembangan diri kepada remaja dan anak muda (Milenial dan gen Z) semakin mempertegas urgensi pembicaraan terbuka tentang kesehatan mental, khususnya di Indonesia.
Data menunjukkan makin tingginya kasus gangguan kesehatan mental di Indonesia, misalnya diungkapkan oleh badan riset kepolisian, angka bunuh diri pada anak muda mencapai ribuan dalam beberapa bulan di tahun 2024.
Angka ini menunjukkan betapa pentingnya upaya pencegahan dan pengobatan yang lebih komprehensif.
Gangguan kesehatan mental bukan hanya masalah individu, tetapi masalah sosial yang memengaruhi produktivitas, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Solusinya enggak hanya terletak pada terapi profesional, tetapi juga pada lingkungan yang suportif dan pemahaman yang lebih baik dari keluarga, teman, dan guru sebagai pendidik di lingkungan sekolah.
Sampai sekarang, aku masih meyakini, idealnya keluarga menjadi rumah pertama dan orang tua adalah guru pertama. Keluarga sebagai sirkel terdekat remaja sangat penting dalam proses penyembuhan, memberikan dukungan tanpa menghakimi, dan membantu menghidupkan kembali proses pertumbuhan remaja yang lebih sehat.
Di Indonesia, kita juga mulai melihat munculnya kelompok-kelompok dukungan sebaya yang berperan penting menyediakan ruang aman bagi mereka yang membutuhkan. Semua pihak memang perlu menciptakan lingkungan yang aman dan suportif, di mana anak muda merasa nyaman untuk berbagi perasaan, pikiran dan mimpi, tanpa takut dihakimi. Mereka perlu tahu bahwa mereka tidak sendirian, banyak orang yang mau membantu melewati masa-masa sulit itu.
Ini tugas kita bersama, membangun masyarakat yang lebih empati dan mendukung situasi yang dihadapi remaja dan anak muda, supaya mereka enggak lagi menjadi generasi yang terus-terus menyembunyikan senyum di balik luka.
Bacaan terkait
Mencegah Pernikahan Dini Anak: Sebuah Refleksi Hari Anak Nasional 2024
Mengatasi Kegelisahan Masa Depan, Kisah-Kisah Inspiratif Menemukan Kebahagiaan
Kertas Gabut: Kocaknya Kisah Cinta di Masa Remaja