Jika kita hidup di sebuah negara di mana suara dan aspirasi kita tidak berarti apa-apa, setiap kebijakan (pun sudah jelas bertentangan dengan aturan undang-undang dasar) terus dibuat tanpa mendengar suara rakyat, dan undang-undang baru diciptakan hanya untuk memuluskan kepentingan segelitir elite dan oligarki, sebenarnya kita sama-sama sedang berhadapan dengan “bangunan batu” yang bebal dan arogan. Bangunan batu di sini adalah negara yang brutal menerabas semua cita-cita keadilan, mengkriminalisasi para pengkritik dan dengan mudah memenjarakannya.
Kondisi negara demikian ditulis dengan nuansa alegoris oleh Asli Erdoğan sebagai bangunan batu yang mati, penuh jebakan dan penyiksaan. Asli Erdoğan tidak hanya menulis dan menyuarakan (pengalaman) dirinya sendiri, melalui tokoh-tokoh yang diciptakannya, tetapi juga merefleksikan nasib yang sama semua anak bangsa di dunia. Juga, mungkin termasuk kita, yang terjerat dalam ketidakadilan dan ancaman-ancaman sial pemenjaraan.
Bangunan batu adalah simbol yang ingin disampaikan oleh Asli Erdoğan, penulis buku cerita Bangunan Batu dan Lain-Lainnya. Buku ini dibaca sebagai irisan-irisan luka dan kesedihan yang mendalam tentang keterasingan, pengalaman kekerasan, kesunyian, dan penganiayaan yang dilakukan oleh “sistem” yang tidak ditampakkan secara jelas. Tetapi yang pasti, tokoh-tokoh yang dihadirkan dalam cerita-cerita di sini digambarkan sebagai sosok yang pesakitan (baik karena penyakit secara fisik maupun sakit secara psikologis karena pengalaman kekerasan dan konflik).
Secara umum, buku tipis ini terdiri atas tiga cerpen: Tamu Pagi Hari, Burung-Burung Kayu, dan Tahanan, dan satu lagi novela berjudul Bangunan Batu. Cerita dalam novela Bangunan Batu sebenarnya sentral yang menggambarkan secara kelam pengalaman berada dalam sebuah “negara batu” yang kokoh di mana para penghuninya terkekang. Bahkan sejak cerpen pertama burjudul Tamu Pagi Hari, keburaman hidup dan kesunyian tokoh-tokohnya dengan latar yang diciptakan karena konflik, eksil, dan kekerasan sudah kentara.
Seperti cerita-cerita yang lain dalam buku ini, Erdoğan tangkas memainkan alegori dengan sangat cerdas. Retorika yang dibangun sangat mewah dan bahkan nyaris tidak mudah dipahami, dengan bahasa-bahasa berbalut majas dan semua perangkat struktur bahasa yang canggih.
Asli Erdoğan memulai retorika narasinya dengan menghadirkan filosofi tentang HAYAT atau kehidupan. Kehidupan di tangan Erdoğan tampak begitu runyam, bergumul dalam penderitaan dan dipenuhi luka-luka. Semua itu karena dibangun di bawah atau bertautan langsung dengan “negara batu” yang digambarkannya penuh dengan kawat (hal. 64); kebebasan berada dalam pelataran berpagar kawat (hal. 67); dan simbol tentang tembok (baca: penjara) bertaburan dalam buku ini (hal. 9, 71, 84,87, dll) untuk menegaskan keangkuhan, kekangan, batasan dan pengendalian penuh yang menjauhkan manusia dari kebebasan.
Dalam Bangunan Batu, narator “aku” dengan sangat bebas menceritakan tokoh-tokoh lain secara mengalir. Tokoh bernama A. dinarasikan secara kuat dan cukup mendalam oleh Asli Erdoğan dengan aura surealis nan kelam dan kejam, terpenjara di tengah bangunan batu yang kokoh. Kepiluan demi kepiluan dan penyiksaan digambarkan secara benderang. Untuk itu, tak sedikit yang berasumsi bahwa A. adalah alter ego si penulis itu sendiri (?).
Asli Erdoğan sangat sensitif dengan bahasa. Dia merasa seperti tidak cukup hanya dengan cerita tanpa penjelasan bahasa yang kompleks. Pengalaman dirinya sendiri yang penuh luka itu benar-benar dihayati dan dipantulkan ke dalam cerita yang mendalam. Sehingga tidak aneh, bagi pembaca yang mengerti kondisi penulisnya yang sekarang harus eksil ke Jerman itu, rangkaian cerita dalam buku ini ibarat bahan curahan hati yang menyengat begitu kuat.
Melalui buku ini, pengalaman kolektif kelompok yang outspoken terhadap pemerintahan Recep Tayyip Erdoğan benar-benar terwakili, tentang bagaimana mereka terus diburu dan kemudian diringkus dalam penjara dengan beragam tuduhan yang tidak bisa mereka membuat pembelaan, termasuk dirinya yang dituduh berkolaborasi dengan terorisme.
Meskipun bingkai utama cerita-cerita dalam buku ini mengangkat tokoh-tokoh yang terkalahkan, aspek-aspek ekspedisi dan petualangan bisa dinikmati dalam cerpen berjudul Burung-Burung Kayu. Cerpen ini menggambarkan situasi kehidupan di sebuah rumah sakit khusus paru-paru. Para pasien yang menderita TBC, asma kronis, dan pneumonia bercengkrama satu sama lain dengan latar belakang kehidupannya yang kaya. Ada Felicita, Dijana, Martha, Graciella, dan Gerda. Mereka yang “dipenjara” di rumah sakit karena kondisi fisik yang sakit coba menikmati kehidupan mereka dengan cara melakukan ekpedisi yang disebut Ekspedisi Amazon. Perjalanan selama dua jam memasuki sebuah hutan itu penuh dengan suspensi, kepolosan, dan humor yang getir. Namun, ekspedisi mereka tampak sangat menarik karena itulah mereka bisa bersama-sama merasakan kebebasan menikmati keindahan hutan eksotis di sebuah desa T walau sekejap, seperti mimpi dan ketidakmungkinan bagi para penderita penyakit paru-paru seperti mereka.
Buku ini penuh dengan bahasa-bahasa puitis, serangkaian majas yang kompleks sengaja disusun dengan sangat rapi dan penuh perhitungan: Daun-daun yang goyah sedikit membusuk seperti tangan pengemis yang terbuka sia-sia (hal. 3), pelopak matanya perlahan mengatup seperti tutup peti mati (hal. 9), dia membopong kematian di tubuh kanak-kanaknya (hal. 23), seni mendongeng adalah seni mengaduk bara api tanpa membakar jari-jari mereka (hal. 66), matamu seperti dua bintang yang basah dan kesepian (hal. 121), dan sebagainya. Bahasa-bahasa seperti ini membutuhkan ketekunan dan konsentrasi agar dapat menyerap makna terdalam dari semua cerita dalam buku ini.
Secara jujur, saya membaca Asli Erdogan seperti mengurai benang-benang kusut kemanusiaan yang dihempaskan oleh kekuasaan dan negara yang arogan. Kisah-kisah dalam buku ini bisa membentang luas sebagai suara anak manusia melampaui batas bangsa, tidak hanya tentang Turki. Kekuasaan negara yang tanpa batas—atau tidak bisa dikendalikan dan dikoreksi—cenderung akan melumat suara-suara kritis rakyatnya. Pemerintahan Turki hari ini, yang tengah dihantam resesi dan krisis ekonomi yang sangat parah, masih terus menjadi “bangunan batu” bagi para oposan, menjadi penjara massal bagi mereka.
Identitas Buku
Judul Buku | Bangunan Batu dan Lain-Lainnya |
Penulis | Aslı Erdoğan |
---|---|
Penerjemah | Mehmet Hassan |
Cetakan | Pertama, Maret 2024 |
Halaman | 139 |
Dimensi | 14 x 20,3 cm |
Penerbit | Marjin Kiri |
ISBN | 978-602-0788-24-1 |