Tim nasional sepakbola Indonesia kini berisi anak-anak muda keturunan Belanda, berlari gesit dengan nama belakang yang lebih cocok dicetak di kartu identitas Apeldoorn ketimbang KTP Cilandak atau Pondok Indah sekalipun. Mereka ini, ironisnya, mewakili bangsa yang dulu disebut sebagai inlander, sebuah kata ajaib yang dalam kamus kolonial artinya kira-kira “yang nasibnya ditentukan oleh orang yang lebih terang warna kulitnya.”
Tapi zaman sudah berubah. Sekarang, anak-anak ‘londo’ itu justru berdiri tegap di lapangan, menyanyikan “Indonesia Raya” dengan logat yang—meski sedikit bergetar—masih lebih baik daripada sebagian pejabat republiken yang suka lupa lirik.
Di sesi latihan, komunikasi mereka dengan pelatih dan ofisial menjadi tontonan tersendiri. Maklum saja, pelatih dan sebagian asistennya juga Meneer van Holland. Salah satu pemain, sebut saja van Depok, menerima instruksi dalam bahasa Indonesia, tapi otaknya masih mengira ini pengumuman keterlambatan kereta di Stasiun Utrecht.
“Van Depok, ambil bola, oper ke tengah!” teriak seorang temannya, pemain lokal.
“Verdomme, ik begrijp het niet!” (Sialan, saya nggak ngerti!) balasnya dengan frustrasi, sambil menyeka keringat.
Di sisi lapangan, seorang ofisial mencoba mengingat pelajaran bahasa Belanda dari film-film tempo dulu. Dengan percaya diri, dia menepuk pundak Van Depok dan berkata, “Jangan seperti itu, Tuan! Kamu ini kan bukan inlander!”
Van Depok menatapnya dengan bingung. “Inlander?” katanya. “Wat is dat?”
Tiba-tiba suasana menjadi canggung. Ofisial itu sadar, ini tahun 2025, bukan 1925.
Di sesi wawancara, para pemain keturunan ini sering ditanya apakah mereka merasa lebih Belanda atau lebih Indonesia. Salah satu dari mereka menjawab dengan santai, “Saya Belanda kalau soal keju, tapi Indonesia kalau soal sambal.”
Lalu, apakah kehadiran mereka akan membawa Indonesia ke Piala Dunia? Itu pertanyaan berat. Yang jelas, kini kita punya tim yang bisa bertukar taktik dalam tiga bahasa: Indonesia, Belanda, dan bahasa tubuh universal yang berarti “Sial, itu harusnya offside!”
Sementara itu, para pemain lawas yang dulu dituduh sebagai inlander sepakbola kini hanya bisa tersenyum di bangku cadangan. Mungkin, dalam hati mereka bergumam: “Dulu kita dipanggil inlander, sekarang mereka yang datang untuk jadi bagian dari kita. Ironi ini, verdomme, sungguh indah!”
Semoga Oom Douwes Dekker tersenyum melihat tontonan nanti malam. Terlebih jika timnas Indonesia bisa meluluhlantakkan timnas Australia di kandangnya sendiri.