Mengagetkan! Sama sekali tak terbayang akan terjadi sebuah karya ditolak toko buku besar untuk didistribusikan di jaringannya. Ceritanya, saya yang punya penerbitan kecil-kecilan diminta menerbitkan buku sekaligus memasarkannya ke berbagai toko buku di pelosok negeri. Buku itu bertutur tentang argumen melawan ISIS. Tentu dimaksudkan sebagai kontra narasi terhadap ISIS.
Setelah beres urusan cetak, tibalah waktu untuk memasok ke toko buku. Yang dituju toko buku besar dan ternama yang punya jaringan maha luas. Buku-buku terbitan penerbit saya yang jumlahnya belasan selama ini sudah biasa konsinyasi ke toko buku besar dan mulus-mulus saja. Namun kali ini, eit, ya nasib, apa dikata, setelah bertemu dengan manajer produksinya, dan buku itu dibaca secara cukup seksama, jawabannya mengejutkan. Mereka tidak berani menjualkan buku tersebut. Alasannya muter-muter tidak jelas. Tapi saya yakin, kalau mereka takut hal-hal yang tidak diinginkan lantaran di buku tersebut tercantum nama ‘ISIS’.
Argumen saya bahwa buku tersebut untuk melawan pemahaman ISIS tidak digubris. Namanya fobia terhadap tindakan ekstrem, ya mau apalagi.
Saya ternyata tidak sendirian punya nasib naas. Teman saya yang punya penerbitan cukup besar, punya cerita yang sama. Buku terbitannya yang membahas tentang sebuah aliran dalam Islam ditolak oleh toko buku ternama tersebut. Tepar-lah teman saya itu. Puluhan juta sudah dia keluarkan untuk membiayai produksi buku tersebut, kali ini harus rela bukunya tidak bisa tersebarkan di toko buku.
Alasannya sama. Takut terhadap tindakan ekstrem atas buku tersebut karena dipandang bagi kalangan tertentu menyebarkan paham sesat. Padahal, kajian di buku tersebut sangat ilmiah, tidak tendensius atau menambah friksi. Ya, sepertinya ada kekuatiran kolektif akan terjadinya bibliosida atau librisida, yaitu penghancuran dan pembunuhan terhadap buku sebagai karya intelektual.
Sekelumit pengalaman di atas bisa untuk menggambarkan cuaca intelektualitas di negeri kita saat ini. Dulu, intelektualitas menjadi panglima sehingga negeri ini mampu berdiri tegak yang dilambar oleh riuhnya diskusi saling lontar gagasan. Artikel dan buku-buku para ‘raja nalar’ menghambur di khalayak yang memberikan pemahaman secara ilmiah. Pergolakan ide terus bergolak tanpa harus rikuh dengan ‘palu godam’ ke langitan produk penafsiran literal. Karena apa yang ‘di langit’ perlu dibumikan dengan tafsir-tafsir jenial untuk memberikan pemahaman yang menukik. Bukan hanya permukaan, tapi hingga yang paling dasar, orang harus dicerahkan tanpa tercerabut dari akar.
Kala Nalar Kekar
Ahmad Wahib, sosok intelektual di tahun 1970-an menuangkan dalam bukunya Pergolakan Pemikiran Islam. Ditulis dengan gaya catatan harian, Wahib terang-terangkan menumpahkan kegelisahan yang menggilas-gilas pikiran dan jiwanya. Dia semburkan semua yang membatin. Baginya, meragukan apa yang selama ini diajarkan adalah suatu keniscayaan bagi manusia. Hak bagi manusia untuk mempertanyakan segala hal yang datang mendoktrin. Wahib sendiri berasal dari keluarga santri yang sangat teguh dalam beragama. Ayah Wahib bahkan seorang kiai yang memimpin pondok pesantren dan amat disegani masyarakat di Sampang, Madura.
Di Yogyakarta, Wahib tak hanya kuliah. ia juga kerap terlibat dalam forum diskusi, salah satunya yang digagas pada 1967, yakni “Lingkaran Diskusi Limited Group”. Selain Wahib, anggota intinya ada Muhammad Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, Mukti Ali, dan lainnya. Saban Jumat sore, Lingkaran Diskusi menggelar acara, biasanya bertempat di rumah Mukti Ali. Tak hanya kalangan internal saja yang ikut. Tokoh-tokoh macam Kuntowijoyo, Syamsuddin Abdulah, Deliar Noer, Nono Anwar Makarim, W.S. Rendra, Lafran Pane, Niels Mulder, hingga James Peacock, juga pernah diundang dan hadir.
Selama hidupnya yang relatif singkat itu, Ahmad Wahib sudah dikenal sebagai sosok anak muda yang unik. Banyak pemikirannya yang dianggap mengejutkan. Pemikiran Wahib hidup lagi justru beberapa tahun setelah wafatnya, pada 1981. Saat itu, Djohan Effendi, bersama Ismet Nasir selaku editor, menyunting serta menerbitkan catatan harian Wahib yang menghimpun segala pemikirannya, termasuk yang paling menohok.
Seabrek pemikiran Wahib oleh sebagian orang dianggap “menistakan” agamanya sendiri. Namun, Wahib berulang kali juga menegaskan bahwa ia tetaplah beragama Islam, bahwa Allah adalah Tuhan yang Maha Bijaksana dan sayang kepadanya. Simaklah apa yang ditulis Wahib,“Kalau betul-betul Islam itu membatasi kebebasan berpikir, sebaiknya saya berpikir lagi tentang anutan saya terhadap Islam ini. Maka, hanya ada dua alternatif, yaitu menjadi muslim sebagian atau setengah-setengah, atau malah menjadi kafir”. “Namun,” tambahnya, ”sampai sekarang saya masih berpendapat bahwa Tuhan tidak membatasi, dan Tuhan akan bangga dengan otak saya yang selalu bertanya tentang Dia. Saya percaya bahwa Tuhan itu segar, hidup, tidak beku. Dia tak akan mau dibekukan.”
Berikutnya Nurcholish Majid, salah satu raksasa pemikir yang pernah dimiliki negeri ini. Gagasannya tentang desakralisasi dan jargonnya ‘Islam Yes, Partai Islam No’ meruap bagai banjir yang membasahi ketandusan. Ketika umat Islam masih sibuk dan ribut dengan ‘ideologi’ masing-masing serta begitu mendewakan hal-hal yang seharusnya profan. Tiba-tiba menghujam gagasan yang menukik itu.
Kendati tak sedikit yang menolak dan berpolemik, seperti Prof HM Rasyidi dan Daud Rasyid, gagasan Cak Nur itu faktanya telah membuat umat Islam kala itu menjadi lebih ‘leluasa’ dalam mengekspresikan keagamannya. Hotel-hotel menjadi semarak di bulan Ramadan dengan diadakannya salat tarawih. Orang tak malu-malu lagi untuk menunjukkan kemuslimannya dan itu tanpa perlu simbol-simbol yang verbal. Kesadaran beragama secara substansi bangkit menjasad khususnya di kalangan Muslim perkotaan. Dampak gagasan Cak Nur ini begitu terasa dan menjadi ‘tonggak’ bagi bangkitnya kesadaran Islam substansialis.
Raksasa intelektual Indonesia lainnya adalah Gus Dur. Dengan konsep ‘pribumisasi Islam’, kembali umat Islam dibangunkan kesadaran keberagamaannya. Gagasan ”pribumisasi Islam” dimaksudkan Gus Dur sebagai jawaban atas problema yang dihadapi umat Islam sepanjang sejarahnya, yakni bagaimana mempertemukan budaya (adah) dengan norma (syariah), sebagaimana juga menjadi persoalan dalam ushul fiqh.
Bagi Gus Dur, keragaman konteks historis Islam meniscayakan adanya kontekstualisasi Islam, bukan untuk mengubah doktrin Islam, tapi untuk membumikan ajarannya agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat Muslim itu sendiri. Karena itulah ia dengan tegak menolak pengidentikan Islam dengan Arab. Gagasan Gus Dur tentang pribumisasi Islam, nota bene merupakan manifesto bagi Islam Nusantara.
Ulil Abshar Abdalla, mungkin bisa disebut intelektual paling bontot yang berani mengumbar gagasan liberalisasinya. Ulil yang menggagas dan menindaki berdirinya Jaringan Islam Liberal (JIL) awalnya begitu menggebu untuk mendorong pemikiran bebas dan tidak terpagut oleh mitos-mitos keberhalaan pikir. Diskusi dan penerbitan buku yang dihelanya dari sebuah tempat di Utan Kayu, Jakarta Timur, cukup menarik minat kalangan muda khususnya. Kendati tidak melahirkan pemikiran baru, dengan gagasan liberasinya cukup berhasil membuka mata terhadap keberagamaan kita.
Liberal yang sudah kadung ditafsirkan negatif oleh kalangan tertentu membuat gerak langkah komunitas Ulil tidak bisa bebas. Ketika Ulil menulis artikel di Kompas yang berjudul ‘Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam’ tak dinyana telah menimbulkan kehebohan dan kegaduhan. Sontak KH Athian Ali dari FUI langsung menfatwakan hukuman mati terhadap Ulil.
Tahun 2011 silam, terjadi ‘Bom Buku’. Kantor Komunitas Utan Kayu digegerkan dengan sebuah paket misterius. Paket berisi buku itu ditujukan kepada aktivis pendiri Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla. Bungkusan paket di dalamnya ada sebuah buku berjudul ‘Mereka Harus Dibunuh karena Dosa-Dosa Mereka terhadap Islam dan Kaum Muslim’, karangan Sulaiman Azhar Lc. Namun setelah diamati ternyata berisi bom. Saat seorang polisi mencongkel baterai yang terselip di dalam buku tiba-tiba, bom itu meledak. Polisi yang bernama Kompol Dodi Rahmawan tersungkur, tangan kirinya bersimbah darah. Pergelangan tangan Dodi putus.
Saya sendiri beberapa waktu lalu mendapati pengakuan jujur seorang eks napiter yang cukup lama berkawan dengan saya. Dia dulunya yang mendapat mandat untuk mengesekusi Ulil Abshar Abdalla. Saya tanya alasannya, lagi-lagi soal ulah JIL yang dianggap telah merusak ajaran Islam. Untung saja tidak sampai terjadi. Sekarang, eks napiter itu sudah kembali normal dan bergabung dalam paguyuban literasi yang saya dirikan bersama teman-teman.
Sekarang, saya hanya bertanya-tanya, mengapa Ulil tidak lagi ‘garang’ dan malah keburu ‘menjadi manusia rohani’ dengan mengajar kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Ghazali yang sufi. Apakah ini gara-gara fobia terhadap ulah ekstremis atau ‘mampet’ lantaran iklim yang tidak kondusif untuk pengembangan gagasan intelektual.
Mungkin menarik apa yang terjadi di Mesir. Di Mesir, penghujatan bahkan pembunuhan terhadap intelektual kritis menjadi catatan sejarah kelam. Bahkan hingga kini pembantaian dan pemboman terhadap mereka yang berbeda masih berlangsung dengan munculnya kelompok pro ISIS. Kita catat seorang intelektual Mesir harus meregang nyawa di tangan kelompok radikal hanya karena gagasan yang berbeda. Farag Fauda adalah contoh dari sekian intelektual Mesir yang harus mengalami nasib tragis.
Dalam kesehariannya, Farag Fouda merupakan politisi, aktivis sosial, dan HAM yang selalu menyuarakan tentang kebebasan berfikir dan berekspresi. Seumur hidupnya juga digunakan untuk menolak formalisasi hukum Islam dan pendirian khilafah yang dilakukan oleh kelompok Islam fundamentalis di Mesir waktu itu. Keberanian Farag Fouda melontarkan kritik dan mengungkap sisi kelam dunia politik Islam dianggap oleh para ulama kelompok Islam Fundamental sebagai sebuah pelecehan terhadap Islam.
Akibatnya, pada tahun 1992, Farag Fouda ditembak oleh dua orang bertopeng yang merupakan simpatisan Jamaah Islamiyah. Sehari sebelum dibunuh, Jamaah Islamiyah telah menyatakan bahwa Farag Fouda telah murtad, karena pemikirannya dan mendukung sistem hukum yang sudah ada di Mesir daripada menerapkan syariat Islam. Sebelumnya, sekelompok ulama di Mesir telah mengeluarkan pernyataan bahwa Farag Fouda telah menghujat, bahkan dianggap telah keluar dari Islam.
Kasus lain menimpa Menteri Urusan Wakaf Mesir kala itu, yaitu Syeikh al-Dzahabi, yang pada tahun 1977 dibunuh oleh Jamaah Islamiyyah. Padahal Syekh al-Dzahabi adalah salah seorang ulama terkemuka di Mesir. Beliau dibunuh oleh mereka, hanya karena beliau menganggap bahwa gerakan-gerakan organisasi ekstrem tersebut adalah bagian dari usaha terselubung dari mereka yang menamakan diri gerakan pembebasan Islam (al-tahrir al-Islami). Mereka adalah pentolan dari gerakan bernama “Hizb al-Tahrir al-Islami” yang muncul sekitar 70 tahun lalu yang dipelopori oleh Taqiyuddin al-Nabhani tahun 1952 di Mesir.
Kasus lain menimpa pada Syekih Muhammad al-Syami yang dibunuh oleh Jamaah Islamiyah di sebuah masjid saat tengah berdiri salat di mihrab, hanya karena beliau bekerja sama dengan orang-orang pemerintahan dalam berkhidmah dan mengurus kebutuhan masyarakat. Juga Nashr Hamid Abu Zayd yang dikenal sangat liberal dengan pemikiran dekonstruksinya terhadap teks wahyu harus menerima nasib hijrah ke Belanda. Lepas dari pemikirannya yang kontroversial, iklim kebebasan berfikir di Mesir diguyah oleh vonis murtad dan wajib mentalak istrinya. Dengan catatan, jika yang bersangkutan tidak mau, maka harus dihukum mati.
“Cuaca Ekstrem”
Jagat ‘Imperium Intelektual’ saat ini di negeri kita tampaknya mengalami ketergerusan, tiarap dan semaput akibat kuatnya arus ‘Kerajaan Militan’ yang kian hari kian membiak. Belum lagi, bangkitnya mistisime melalui munculnya imperium-imperium primodial kedaerahaan yang masing-masing mendaku sebagai ‘pewaris’ dan ‘pencerah’ yang mampu menyelesaikan persoalan negeri ini.
Cerita berbanjar-banjar tentang militansi dan mitos terus menayang hingga membentuk—pinjam istilah Baudrillard—hiperrealitas. Akibatnya, masyarakat yang mudah terhipnosa akan berpaling dari ‘akal sehat’ menuju ‘buta nalar’. Ada banyak fakta mereka yang tadinya ‘planga-plongo’ tiba-tiba menjadi ‘kombatan’ yang bertindak kalap demi ideologi yang kerap tak mereka pahami.
Otokritik perlu dilayangkan untuk kalangan intelektual kita, bilamana ingin membangun kembali ‘kerajaan intelektual’ yang berpengaruh dan mencerdaskan. Selama ini produk-produk intelektual seperti buku, jurnal atau artikel di lingkungan intelektual sepertinya hanya ‘daur ulang’. Kalau tidak begitu, hanya mengkaji tema-tema yang ‘nyaman’ , tidak lagi berani menyentuh yang ‘sensitif’. Mereka kaum intelektual, terutama para akademisi, lebih memilih zona nyaman daripada harus berpeluh-peluh dan bergalang-gulung untuk menghasilkan gagasan dan karya orisinil yang mampu menyodok kesadaran intelektualitas bangsa kita.
Seminar dan diskusi yang digelar lebih nampak sebagai ‘akrobatik intelektual’. Kaum intelektual bahkan larut dalam kepentingan praktis dan jerat-jerat komunal demi membangun ‘kerajaan pribadi’ yang tak jarang beratasnama wangsit keilmuan. Sedangkan mereka intelektual organis yang masih ‘waras’ hanya mampu mojok di kamar-kamar pengap bersama buku-buku, menulis untuk sekadar pelampiasan.
Adapun kalangan militan terus bergerak memproduksi karya-karya puritannya. Mereka bersigap menebar dan menyebarkan gagasan militannya melalui berbagai jalur, klandestin maupun terbuka. Penerbitan buku dan situs-situs mereka kreasi sedemikian rupa sehingga bagi kalangan yang ‘cekak pikir’ atau tengah berapi-apinya belajar agama akan mudah terkesiap, lalu menjadi pengikut dan simpatisan yang militan.
Coba lihat di toko-toko buku atau pada saat ada pameran buku. Buku-buku produk mereka tampak ‘menguasai’ di rak-rak display. Selajur itu mereka membentuk halaqoh, talaqi atau majlis-majlis taklim yang dengan cekatan dan penuh semangat jihad menghimpun masyarakat untuk kemudian didoktrinasi dengan ajaran yang bagi mereka ada ‘dalilnya’ . Penceramah mereka juga bergerak dan menyebar di Youtub dan lainnya untuk meriwayatkan dan mewartakan seperti tentang ‘akhir zaman’ atau pentingnya jihad melawan apa yang mereka sebut kezaliman dan kemaksiatan. Masyarakat dididik untuk mengabaikan nalar dan berpegang pada rujukan dalil yang bagi mereka harus sahih.
Satu catatan lagi, kelompok radikal justru berhasil menciptakan iklim horor sehingga masyarakat tak mampu melepas rasa panik. Seperti halnya toko buku yang menolak mendistribusikan buku-buku yang dipandang ‘peka’ lantaran kuatir vandalisme kelompok militan. Aksi-aksi teror yang pernah terjadi di negeri ini menimbulkan ‘cuaca ekstrem’ yang patut diwaspadai masyarakat karena sewaktu-waktu bisa menerjang dan menjadi bencana.
Kini tiada lagi hiruk pikuk gagasan yang melayang selaksa layar terkembang. Hidup terasa hambar. Hari-hari berjalan datar, tanpa entakan dan pencerahan. Yang terpampang adalah pekik-pekik militansi yang menghamburkan larva kemarahan caci maki. Mereka lantang bilang, inilah jihad sejati! Banalitas lewat penampakan ritualitas yang simbolis bergahar-gahar yang bak banjir bandang. Pendangkalan keberagamaan lewat doktrin-doktrin kaku terus bergelinjang mencari mangsa. Para pengikut ‘mazhab pengumpat’ terus beraksi menggempur ‘mazhab nalar’. Mereka yang tak bernyali hanya bisa termangu, mencari enclave yang nyaman. Daya nalar menjadi mati tak lagi bertaji.
Ulasan Pembaca 2