Seorang teman yang bekerja untuk proyek-proyek pemerintah sedang risau dengan pendapatan bulanan yang ia terima. Pasalnya, uang yang ia terima untuk memenuhi kebutuhan keluarganya berasal dari negara. Berarti, uang itu pasti berasal dari pungutan pajak yang tidak jelas muasalnya. Bagaimana jika uang pajak itu berasal dari aktivitas ilegal yang tidak sesuai dengan aturan agama? Misalnya, hasil dari pungutan pajak penjualan minuman keras, perjudian, atau prostitusi.
Menurutnya, seharusnya negara memiliki aturan main yang bisa memisahkan pendapatannya berdasarkan sumber yang halal. Bahkan, dia bersikap lebih ekstrem lagi, berharap agar uang yang ia terima bersumber dari hasil pajak hanya dari orang yang memiliki satu keimanan dengan dirinya. Dengan demikian, uang yang diterimanya benar-benar bersih dari noda keharaman menurut persepsinya.
Saya bingung saat mendengar keluhannya karena tidak mampu berkomentar. Saya memberinya gambaran tentang sebuah pembangunan Masjid Raya milik pemerintah, kampus negeri yang terafiliasi dengan agama tempat kawan ini dulu berkuliah. Bukankah pembangunan semua fasilitas tersebut berasal dari uang negara? Begitu pula dengan jalan raya, rumah sakit, stadion, tempat wisata, jembatan, sekolah, kendaraan umum, hingga kapal laut dan pesawat terbang yang akan ia gunakan untuk berangkat ke tanah suci.
Apakah dia juga merasa risau saat menggunakan semua fasilitas tersebut? Mengingat semua fasilitas itu juga dibangun dari uang pajak rakyat, apa pun agama yang dianut mereka dan aktivitas yang mereka lakukan. Apakah uang pajak yang mereka bayarkan itu tetap harus dipilah berdasarkan identitas keagamaan penyetor pajak? Bagaimana petugas pajak menentukan halal-haramnya? Bisa dibayangkan betapa sulitnya hal itu dilakukan.
Belajar dari Pasar
Mengherankan, dia ternyata tidak risau saat menggunakan segala macam fasilitas yang disediakan oleh negara tersebut. Namun, dia tidak peduli dan tetap berharap para petugas pajak perlu memilah-milah sumber pendapatan negara, sehingga halal-haramnya jelas bisa diidentifikasi.
Saya memberinya contoh lain terkait pembangunan Masjid Al Jabbar Bandung yang dibangun oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Masjid megah itu dibangun atas biaya negara dengan skema hutang. Konon, biaya cicilannya sebesar Rp 500 miliar per tahun, selama delapan tahun. Sumber uangnya tentu tidak dipungut hanya dari umat Islam yang tinggal di Jawa Barat. Ia akan didapat dari sumber pajak yang dipungut berdasarkan aktivitas yang tidak diketahui dengan pasti halal-haramnya. Warga Jawa Barat, apa pun agama, suku, ras, warna kulit, profesi, serta aktivitas kesehariannya, telah berkontribusi dalam pembangunan masjid megah, meski hanya diperuntukkan bagi satu penganut agama.
Sebagai usulan terakhir, jika tetap merasa risau, saya mengusulkan agar dia keluar dari pekerjaannya saat ini, lalu mulai merintis usaha sendiri. Dengan begitu, ia akan terbebas dari keragu-raguan terhadap uang yang ia terima. Dia menolak, alasannya upaya yang sedang dia perjuangkan itu bukan hanya untuk dirinya sendiri saja, tetapi juga untuk jutaan orang lain yang menurutnya harus diselamatkan akidahnya.
Saya masih berusaha mengajaknya untuk belajar dari logika dunia pasar. Dalam aktivitas perdagangan di sebuah pasar, uang yang beredar tidak mengenal identitas agama. Transaksi antara pedagang dengan pedagang, antara pembeli dengan pedagang juga melampaui perbedaan agama. Orang tidak akan bertanya terlebih dahulu kepada pembeli tentang agama yang dipilihnya. Begitupun juga sikap pembeli terhadap pedagang. Selama masing-masing merasa nyaman dan ada kesepakatan, maka transaksi bisa langsung terjadi. Mengapa hal itu tidak bisa jadi contoh?
Saya tidak akan berani meragukan kebajikan ajaran agama (apa pun). Agama selalu mengajarkan pemeluknya menjadi individu yang lebih baik bagi dirinya sendiri dan orang lain. Namun demikian, tafsir dan pemahaman seseorang terhadap ajaran agama bisa sangat beragam hasilnya. Baik dalam pemikiran ataupun perilakunya. Seorang pemeluk agama bisa berubah menjadi pribadi yang eksklusif, membatasi kebenaran hanya untuk menguatkan karakter individualismenya. Akibatnya, ia menjadi pribadi yang kurang ramah terhadap perbedaan yang juga diyakini kebenarannya oleh orang lain.
Pemahaman keagamaan seseorang juga bisa menuntun penganutnya menjadi pribadi yang keras, gahar, seperti memendam amarah. Ia akan selalu merasa dikalahkan oleh orang lain, sehingga harus bersiaga untuk melawan hingga berperang. Agama yang sarat kebajikan dan kemuliaan ini faktanya memang bisa digunakan sebagai kendaraan untuk memenuhi beragam keinginan. Ada yang mengkapitalisasi fanatisme keagamaan seseorang untuk memuluskan pemenuhan agenda pribadi. Bisa untuk kepentingan mendapatkan dukungan dalam sebuah kompetisi memperebutkan kekuasaan, hingga jabatan. Menggunakan sentimen agama bisa efektif untuk menggerakkan emosi massa dan membangkitkan perlawanan.
Di sisi yang berbeda, tafsir dari ajaran agama juga mampu menjadikan penganutnya menjadi pribadi yang santun, lembut, penuh cinta, dan kasih sayang terhadap kemanusiaan. Tumbuh menjadi individu yang gemar membantu orang lain yang sedang ada dalam kesulitan, mengangkat derajat anak-anak yatim, memperjuangkan pemenuhan hak orang lain yang sedang dalam keadaan miskin papa dan terzalimi. Mereka juga bisa bersikap ramah dan menghargai perbedaan, mau menemani kelompok kecil dan minoritas agar bisa hidup bersama secara damai penuh kasih sayang.
Saya ingin terus belajar memahami makna dari sebuah kenyataan, bahwa manusia tidak sekadar hidup di bawah kolong langit dan berkah sinar rembulan dan matahari yang sama. Sebagai warga negara, mereka juga dilayani dengan berbagai fasilitas dari uang pajak yang sama. Sekarang saatnya para pemeluk agama untuk tidak lagi menggunakan agama sebagai alasan pertikaian antar pemeluknya.
Bacaan terkait
Hijrah Muharam: Dari Radikalisasi ke Jihad Literasi
Inspiratif memberikan pencerahan akan hidup