Ingin tahu, kok, namanya “Rudalku”? Kesannya seram dan sangar. Ups, nama Rudalku ternyata punya makna “filosofis”. Kata “Rudalku” terasa memiliki ‘kemistri’ dengan apa yang pernah dialami oleh eks napiter yang bergabung di Rudalku. Ada memori yang bisa ‘dialihkan’; dari yang dulunya apa yang ada di benak mereka hanya soal ‘kekerasan’, sekarang diarahkan untuk ‘merudal’ demi mewujudkan kemanfaatan bagi sesama anak bangsa.
Dulu mereka ‘benci’ NKRI. Sekarang dibalik supaya, dengan ‘merudal’, mereka akan mencintai NKRI. Tidak perlu pakai bom panci, atau pistol atau apalah. Sekarang, langsung pakai rudal yang menghasilkan sesuatu kebaikan. Rudal melalui buku. Kalau sedang Whatsapp-an di grup Rudalku, pengelola dan para ikhwan suka bilang, ayo kita rudal buku di sana. Pengelolanya, yang juga pendiri lembaga ini, tak lain adalah Soffa Ihsan (53 tahun).
Demi melengkapi identitas Rudalku, pengelola Rudalku membuatkan bendera. Bendera berlatar hitam, di sebelah kiri berlogo bulat dengan gambar rudal siap meluncur ke angkasa dan dikelilingi buku-buku yang ikut terbang. Tertulis di bendera “Rudalku, Jihadis Literasi” untuk mempertegas semangat gerakan literasi yang hendak digerakkan bagai rudal yang meluncur di medan tempur.
Pada awal September 2017, pengelola Rudalku blusukan di sebuah desa di Palembang. Namanya desa Bumiarjo, perbatasan dengan Mesuji. Sekitar 5 jaman ditempuh dengan naik kendaraan dari Palembang kota. Di desa itu pengelola bertemu dengan Ustadz Kiagus Muhammad Toni, orang asli Palembang. Dia eks napiter dari jaringan Jamaah Islamiyah (JI) dalam beberapa kasus teror di Palembang dan sekitarnya.
Toni, begitu sapaannya, hidup di sebuah rumah sederhana di desa Bumiarjo. Dia tinggal bersama istri dan kedua anaknya. Sehari-harinya, dia bekerja sebagai petani karet. Rumahnya yang begitu pelosok sekitarnya dirimbuni oleh ilalang dan perkebunan karet. Di situ, sempat menginap semalam. Dalam obrolan yang mengasyikkan, tibalah pendiri Rudalku menawarkan untuk mendirikan Rudalku. Awalnya agak canggung dan ragu apakah Toni bersedia atau tidak.
Di tempat yang terpencil seperti ini, ditambah kehidupan ekonomi Toni yang pas-pasan, apakah mungkin dan mau mendirikan perpustakaan yang tampak tidak ‘nendang’ untuk menunjang kehidupan ekonominya. Tak dinyana, sambutan Toni di luar dugaan. Toni siap mendirikan Rudalku. Toni mengaku sebenarnya dia suka baca buku, cuma, karena keterbatasan akses, dia tak banyak bisa mewujudkan.
Sepulang dari Palembang, pendiri Rudalku mengirim paket buku dan banner ke Toni. Begitu buku tiba di rumah Toni, beberapa hari kemudian Toni mengirim foto ke Soffa lewat Whasapp. Di foto itu terlihat Toni bersama anak-anak kecil sekitar rumahnya tengah berkumpul dan membaca. “Melihat foto itu saya amat terharu, bahkan sempat meneteskan air mata,” kata pendiri Rudalku.
Ya, berawal dari Palembang 2017, Rudalku bergerak. Selanjutnya, 2 ikhwan lain dari Palembang, Ani Sugandhi dan Abdurrahman Taib, ikut bergabung di Rudalku. Keduanya sama-sama eks napiter dan satu jaringan dengan Toni di JI. Toni dan Ani Sugandi dalam satu kesempatan ke Jakarta mampir ke markas Rudalku di kawasan Pasar Minggu. Dari pertemuan yang dilanjut di Jakarta itu, komitmen untuk berjejaring dengan Rudalku semakin menguat.

Layar perjuangan terus terkembang. Soffa Ihsan secara mandiri dan mengendap-ngendap terus berusaha mendekati para eks napiter. Perlu kesabaran dan ketelatenan mengajak mereka yang dulu tidak pernah bersentuhan dengan dunia literasi. Beruntung, pendiri Rudalku banyak berkawan dengan eks napiter dari berbagai daerah. Perlahan tapi pasti, terbukalah “kran” jaringan para ikhwan untuk diajak ke Rudalku.
Para ‘Ikhwan Rudaller’ yang ikut di Rudalku ini adalah eks napiter dengan berbagai kasus terorisme. Ada kasus bom buku, Bom Mapolsek Cirebon, Bom Myanmar, Bom Kampung Melayu, Kerusuhan Mako Brimob, Bom Marriot, kasus Ambon dan Poso, kasus pelatihan di Jantho Aceh, kelompok Taliban Melayu, dan beberapa lainnya. Kebanyakan mereka ini dulu masuk jaringan Al-Qaedah dan Jamaah Islamiyah. Walau peran mereka dalam terorisme juga beragam, ada yang sebagai pelaku dan ada yang keterlibatannya karena mendukung rencana aksi teror atau ikut dalam jaringan.
Untuk urusan ekonomi, para ‘Ikhwan Rudaller” ini kebanyakan bekerja serabutan. Ada yang jualan obat herbal, buka warung kelontong kecil-kecilan, gojek, dan beberapa lainnya.
Mengelola komunitas literasi seperti Rudalku tentu membutuhkan konsistensi, kesabaran, dan ketelatenan. Sebenarnya banyak agenda kegiatan yang ingin mereka wujudkan. Namun, saat ini, menurut Soffa Ihsan, yang bisa diwujudkan baru pengiriman buku secara berkala, pengajian bulanan untuk “ikhwan Rudaller’ dari awal luring dan sekarang daring lewat zoom.
Pengajian ini sudah digelar sejak April 2018. Pengajian dengan menggunakan kitab berbahasa Arab, al-Waroqot dan al-Mustasfa tentang ushul fikih, yaitu disiplin filsafat hukum Islam. Pengajarnya Ustadz Mukti Ali yang juga pengurus Rudalku. Begitupun kegiatan literasi; ustaz mendatangi rumah masing-masing. Mereka diminta mengumpulkan anak-anak dan remaja sekitar rumah mereka sebanyak 10 orang hingga 20 orang. Lalu diisi dengan kegiatan literasi seperti dorongan gemar membaca dan diselipi dengan penanaman pemahaman keagamaan moderat dan kebangsaan.
Ada juga program ALIM (Amaliyat Literasi Moderat) melalui Youtube dengan kanal Rudalkutv. Di kanal ini tampil para ‘ Ikhwan Rudaller’ untuk bicara masalah pentingnya literasi. Sudah ada puluhan ikhwan yang tampil.
Agenda terpenting dalam pendirian rumah buku ini, sejatinya, adalah hendak mendorong para eks napiter yang mendirikannya untuk menjadi “agen perubahan” bagi masyarakat, minimal masyarakat sekitar rumah tinggalnya. Dengan rumah buku ini, mereka didorong untuk mampu menebarkan budaya baca dan menaburkan pikiran moderat pada warga sekitar. Tujuan ini sekaligus bermanfaat di dua ranah, yaitu deradikalisasi dan pencegahan masyarakat dari bujuk rayu radikalisme.
Beberapa agenda kegiatan yang belum bisa dilaksanakan lebih disebabkan oleh minimnya dana. Selama ini pendanaan dari kemandirian dan kadang melalui sinergitas dengan lembaga lain. Tidak seperti LSM lain yang mendapat dukungan dari pendana, Rudalku berjalan secara mandiri-berdikari. Soffa mengaku, ini menjadi tantangan yang mengasyikkan. “Rudalku memang dilatari oleh keterpanggilan, ujar Soffa. “Jadi, niatnya jihad-lah. Bagi kami, kemandirian itu indah.”
Dia lantas bercerita, bantuan memang ada. Tapi lebih banyak berupa buku-buku. Tentu ini sangat membantu. Pernah beberapa kali ada bantuan ribuan buku yang diangkut dengan gobox. Bantuan buku juga datang dari perseorangan, lembaga, dan penerbit. Buku-buku ini lalu didistribusikan ke ‘Ikhwan Rudaller” untuk mengisi perpustakaan dan taman baca mereka. Bagi mereka yang di Jabodetabek, buku diserahkan saat pengajian bulanan. Atau juga saat mereka mampir di markas Rudalku. Sedangkan yang berada di luar Jabodetabek, buku dikirim via pos.
Bacaan terkait:
Radikalisme dan Pola Interaksi Sosial
Ulasan Pembaca 1