Kehidupan dunia ini selalu diwarnai masalah dan kesulitan. Allah mengubah-ubah keadaan manusia dari lapang menjadi sempit, dari terhormat menjadi hina, dan dari sedih menjadi gembira, agar manusia bergantung kepada Allah.
Kepada hamba-hambanya yang saleh, Allah tidak menjanjikan bebas dari masalah, tetapi selalu diberi solusi dalam menghadapinya. Semakin tinggi derajat seseorang di mata Allah, bukan berarti semakin mulus grafik hidupnya. Sebaliknya, semakin tinggi ujian baginya.
Allah tahu kapasitas hambanya dan tidak memberi beban hidup melebihi kemampuannya. Namun orang-orang yang lemah iman menyikapi problematika hidup dengan kepanikan, seolah-olah semua itu datangnya bukan dari Allah.
Kitab Izhatun Nasyi’in karya Syekh Musthafa al-Ghalayain (1885-1944 M) ini penuh nasihat bagi kaum muda agar mereka menjadi pribadi-pribadi yang tangguh. Buku ini didesain sebagai pegangan bagi anak-anak muda agar tidak salah memilih jalan hidup. Pada kurun waktu akhir perang dunia kedua, saat kitab ini ditulis, penyakit sosial dan dekadensi moral tengah menjadi masalah di mana-mana.
Dengan narasi yang rasional, Syeh Musthafa mengetengahkan poin-poin kepribadian unggul dengan persuasi agama. Jatuhnya jadi motivasi bergaya religius yang menggugah semangat lagi meningkatkan iman. Di antara yang ditekankan dalam buku ini adalah berani menghadapi tantangan, pantang menyerah, jujur dan bersahaja, solidaritas dan kepekaan sosial, berpegang teguh pada agama, menghormati wanita, dan membangkitkan kebahagiaan dari dalam jiwa.
Alumni Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir yang mengajar di berbagai universitas di Beirut, Lebanon ini juga menandai berbagai problem potensial yang sering dialami anak muda dan memberikan jurus preventifnya.
Orang-orang yang berjiwa lemah umumnya memandang dirinya dari sudut pandang sempit dan subyektif. Dia tak pernah mencoba memakai kaca mata orang lain untuk melihat terbalik. Orang seperti ini dengan jumawa membuat rencana-rencana dan bertendensi sukses, seolah-olah dia yang mengatur takdir. Orang yang seperti ini tidak berilmu, egois, dan berhalusinasi tentang masa depan.
Karena melihat diri sendiri dari sudut yang sempit, orang ini selalu merasa lebih mulia, istimewa, dan menjadi pusat perhatian. Akibatnya, ia bisa kecewa, stress, bahkan frustrasi dengan keadaannya. Padahal di luar sana banyak individu lain yang nasibnya jauh lebih buruk, tetapi baik-baik saja.
Orang yang memiliki cara pandang sempit, dunianya akan gelap seperti kondisi bumi yang terselubungi awan tebal. Dengan watak ini dia menghilangkan kemuliaan yang ada pada dirinya dan menafikan keagungan dan kemahakuasaan Allah. Sifat ini merupakan perangai yang hina.
Segmen yang disasar Syekh Musthafa Al-Ghalayain adalah anak-anak muda yang tengah membangun jati diri. Namun buku ini relevan dibaca siapapun yang membutuhkan rasionalisasi nalar dan asupan dogmatis untuk bisa berdiri tegak di tengah gelombang cobaan. Syekh Musthafa meminta generasi muda tidak mengejar sukses atau prestasi sempurna, tetapi cukup menjadi diri sendiri yang tangguh secara mental.
Petuah-petuahnya penuh dengan semangat dan motivasi yang inspiratif, sekaligus heroik. Kitab ini disebut-sebut sebagai salah satu pemberi inspirasi pendiri jamiyah Nahdlatul Ulama KH. Hasyim Asy’ari pada saat mencetuskan Resolusi Jihad, yakni seruan mengangkat senjata melawan penjajah. Karena berimpliasi menggelorakan semangat kaum muda, kitab ini dianggap membahayakan penguasa kolonial dan untuk itu pernah dilarang diajarkan di pesantren-pesantren oleh pemerintah Hindia Belanda.
Di dalam kitab ini memang ada bab-bab yang secara eksplisit membahas revolusi, meskipun konteksnya moral dan budaya, bukan politik. Di halaman 55 misalnya, “Mereka yang menggugah bangsa untuk bangkit serta mendorongnya untuk meninggalkan kebiasaan- kebiasaan buruk dan moral-moral yang bobrok. Mereka itu harus terus menerus bergerak memotivasi bangsa hingga tercapai apa yang dicita-citakan”.
Secara umum pembaca selalu bahwa hidup ini sering kali tidak baik-baik saja, tetapi kita bisa menghadapinya. Masalah demi masalah akan datang silih berganti menjadi problematika yang dinamis. Itu semua harus dihadapi, bukan ditakuti, disingkiri, atau bahkan lari dari kenyataan.
Terkadang masalah bisa datang dari imajinasi diri yang tidak relevan dengan keadaan faktual. Contohnya orang yang mengaitkan kebahagiaan dengan karier yang bagus, pendidikan tinggi, dan materi yang melimpah. Akibatnya seseorang menjadi jumawa karena sukses secara materiil dan terpuruk apabila gagal secara ekonomi.
Watak hedonis dan budaya meritokrasi di era modern telah menyeret manusia pada ideologi materialistik. Syekh Musthafa mengingatkan, kebahagiaan itu bukan dicari tetapi diciptakan (h136). Kebahagiaan dapat didefinisikan secara subyektif dan itu terserah yang merasakannya. Jadi jangan menunggu pencapaian tertentu baru bahagia, karena keduanya tidak ada kaitan.
Syekh Musthafa bernama lengkap Musthafa bin Muhammad Salim al-Ghalayain. Sebagaimana para pembaharu Islam kontemporer, ia berguru kepada Muhammad Abduh dan banyak mengadopsi semangat dan pikirannya. Dalam segi lain, misalnya dalam hal membangun mental anak-anak muda, narasi yang dibangun Syekh Musthafa ada miripnya dengan Imam al-Ghazali dalam kitab Ayyuha la-Walad.
Untuk mendapatkan buku ini dengan harga terbaik, klik di sini
Judul: Hidup Sering Kali Tidak Baik-Baik Saja, Tapi Kita Bisa Menghadapinya
Judul Asli: Izhatun Nasyi’in: Kitab Akhlaq wa Adab wa al-Ijtima
Penulis: Syekh Musthafa al-Ghalayain
Penerbit: Turos Pustaka
Genre: Spiritual/ Religi
Edisi: Cetakan 1, Februari 2022
Tebal: 369 Halaman
ISBN: 978-623-7327-653